Penegakan aturan lingkungan lewat sarana manajemen merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk meraih penataan peraturan. Ada kelebihan penegakan hukum lingkungan manajemen ketimbang penegakan hukum lainnya (perdata dan pidana), sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Santoso selaku berikut :
-
Penegakan aturan manajemen di bidang lingkungan hidup dapat dioptimalkan selaku perangkat pencegahan (preventive);
-
Penegakan aturan manajemen (yang bersifta pencegahan) mampu lebih efisien dari sudut pembiayannya dibandingkan penegakan aturan pidana dan perdata. Pembiayaan untuk penegakan aturan manajemen mencakup ongkos pengawasan lapangan yang dilakukan secara berkala dan pengujian laboratorium, lebih murah dibandingkan upaya pengumpulan alat bukti, pemeriksaan lapangan, memperkerjakan saksi andal untuk menunjukan kausalitas dalam masalah pidana dan perdata;
-
Penegakan aturan manajemen lebih mempunyai kesanggupan mengundang partisipasi masyarakat. Partisipasi penduduk dilaksanakan mulai dari proses perizinan, pemantauan penataan/pengawasan, dan partisipasi dalam mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata perjuangan negara untuk memberlakukan sanksi administrasi.
Ahmad Santoso menyertakan perangkat penegakan aturan administrasi dalam sebuah tata cara hukum dan pemerintahan paling tidak mesti meliputi : (1) izin, yang didayagunakan selaku perangkat pengawas dan pengandalian; (2) patokan dalam izin dengan merujuk pada Amdal, standar baku lingkungan, peraturan perundang-ajakan; (3) prosedur pengawasan penataan; (4) keberadaan pejabat pengawas yang mencukupi; (5) sanksi manajemen. Kelima perangkat ini merupakan prasayarat permulaan demi efektivitas dari penegakan aturan manajemen di bidang lingkungan hidup.
J. Ten Berge mengemukakan ada dua fasilitas penegakan aturan administrasi, yakni pengawasan dan sanksi manajemen. Selain itu semenjak berlakunya UU No. 5 Tahun 1986 wacana Peradilan Tata Usaha Negara, maka sarana penegakan aturan administrasi mampu dijalankan melalui somasi ke pengadilan tata perjuangan negara. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan, ketiga sarana tersebut diuraikan lebih lanjut dibawah ini.
A. Pengawasan
Ada prinsip umum dalam aturan lingkungan administrasi, bahwa pejabat yang berwenang memberi izin bertanggungjawab terhadap penegakan aturan lingkungan manajemen. Dengan demikian pejabat yang berwenang memberi izin bertanggungjawab dalam melaksanakan pengawasan. Pejabat atau instansi mana yang bertanggungjawab dalam pengawasan sungguh tergantung pada jenis dan kewenangan perizinan. Semakin banyak jenis dan berbedanya kewenangan perizinan, kian banyak pula pejabat atau instasi yang bertanggung jawab dalam pengawasan.
Saat ini wewenang pengawasan dikontrol dalam Pasal 71-75 UUPPLH 2009. Menurut Pasal 71 UUPPLH, wewenang pengawasan ada pada menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Kewenangan tersebut mampu didelegasikan terhadap pejabat atau instansi teknis yang bertanggungjawab di bidang derma dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara biasa yang diawasi dalam Pasal 72 UUPPLH 2009 yakni ketaatan penaggungjawab usaha dan/atau acara kepada izin lingkungan. Untuk itu pejabat pengawas lingkungan hidup menurut pasal 74 diberi wewenang berikut ini :
-
melakukan pemantauan;
-
meminta keterangan;
-
menciptakan salinan dari dokumen dan/atau menciptakan catatan yang diperlukan;
-
memasuki daerah tertentu;
-
memotret;
-
menciptakan rekaman audio visual;
-
mengambil sampel;
-
memeriksa peralatan;
-
menyelidiki instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
-
menghentikan pelanggaran tertentu.
B. Sanksi Administrasi
Sanksi manajemen mempunyai fungsi instrumental, yakni pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan khususnya ditujukan terhadap santunan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar.
Sanksi administrasi juga memiliki karakter repartoir, yakni untuk memulihkan pada kondisi sebelum terjadi pelanggaran. Dengan demikian melalui fungsi ini repartoir, penerapan sanksi manajemen dalam aturan lingkungan sungguh diharapkan untuk menghalangi dan mengatasi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Karena itu, penerapan sanksi manajemen secara konsisten, utamanya yang bersifat pemulihan kondisi (misalnya paksaan pemerintahan = bestursdwang) sungguh dibutuhkan untuk mendukung terwujudnya pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sebagaiaman tertuang dalam Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio de Jeneiro 1992.
Secara teoritik berbagai jenis sanksi administrasi yang dapat dipakai dalam penegakan aturan lingkungan yaitu :
-
Paksaan pemerintahan (besturrsdwang);
-
Uang paksa (dwangsom);
-
Penutupan tempat usaha;
-
Penghentian sementara aktivitas mesin perusahaan;
-
Pencabutan izin.
Dalam Pasal 76 (2) UUPPLH 2009 diketahui empat jenis sanksi administrasi, ialah :
-
teguran tertulis;
-
paksaan pemerintah;
-
pembekuan izin lingkungan; atau
-
pencabutan izin lingkungan.
Sanksi paksaan pemerintahan maupun duit paksa ialah sanksi manajemen yang cukup efektif untuk mengatur pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Paksaan pemerintahan merupakan langkah-langkah nyata dan amat lansung dari pemerintah untuk menyelesaikan kondisi yang tidak boleh oleh suatu kaidah hukum manajemen contohnya tindakan memerintahkan singkirkan, menghalangi dan mengembalikan mirip keadaan semula.
Paksaan pemerintah ialah wewenang mampu berdiri diatas kaki sendiri pemerintahan, sehingga untuk melaksanakannya tidak perlu perlindungan organ lain. Sifat wewenang mampu berdiri diatas kaki sendiri inilah membedakan antara paksaan pemerintahan dengan hukuman lain yang sejenis dalam hukum perdata dan pidana. Misalnya putusan pengadilan memerintahkan untuk memperbaiki instalasi pengelohaan air limbah atau untuk mengembalikan fungsi lingkungan mirip dengan cara menebar perintah menebar bibit ikan ke sungai dan sebagainya. Sanksi semacam ini diberikan menurut putusan pengadilan sehingga wewenang bukan dari pemerintah.
Sanksi paksaan pemerintahan menurut Pasal 80 UUPPLH 2009, berupa :
-
penghentian sementara acara bikinan;
-
pemindahan sarana bikinan;
-
penutupan akses pembuangan air limbah atau emisi;
-
pembongkaran;
-
penyitaan kepada barang atau alat yang potensial menjadikan pelanggaran;
-
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
-
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan hukuman paksaan pemerintahan intinya bermaksud untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup, oleh alasannya itu dalam Pasal 80 (2) UUPPLH 2009 sanksi paksaan pemerintahan dapat dikenakan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilaksanakan mengakibatkan :
-
bahaya yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
-
imbas yang lebih besar dan lebih luas jikalau tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
-
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup kalau tidak segera tidak boleh pencemaran dan/atau perusakannya.
Dalam hal terdapat sebuah keadaan yang mengakibatkan paksaan pemerintahan sukar dikerjakan selaku sebuah hukuman yang terlalu berat, maka sebagai alternative pengganti terhadap yang berkepentingan dapat dikenakan uang paksa. Sebagai pengganti paksaan pemerintahan, pengenaan duit paksa cuma boleh dibebenkan bila intinya paksaan pemerintahan dapat diterapkan. Uang paksa yang dibebenakan tersebut akan hilang untuk tiap kali pelanggaran atau untuk tiap hari pelanggaran (setelah waktu yang ditetapkan) masih berlanjut. Sebagai hukuman alternative maka pengenaan duit paksa harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang secara tegas menertibkan hukuman ini. Dengan demikian, sanksi ini tidak mampu dipraktekkan, alasannya adalah tidak diatur dalam UUPPLH 2009.
Sanksi admnistrasi berupa pembukan izin lingkungan intinya juga bermaksud untuk menyelesaikan kondisi yang dihentikan oleh sebuah kaidah aturan administrasi, contohnya perusahaan yang diresmikan mencampakkan limbah tanpa lewat proses pembuatan terlebih dahulu, atau melampaui ketentuan baku kualitas lingkungan. Hanya saja yang menjadi pertanyaan bagaimana bentuk positif sanksi seperti ini menjadi tidak terperinci. Lebih riil lagi bila digunakan jenis hukuman berupa penghentian sementara acara atau penutupan daerah usaha sebagaimana dikenal dalam kepustakaan hukum administrasi.
Terakhir aalah mengenai hukuman pencabutan izin lingkungan, hal ini mampu terjadi alasannya penyimpangan perizinan, persepsi kebijakan yang berubah, keadaan kasatmata yang berubah, dan penarikan kembali sebagai sanksi. Penarikan kembali izin selaku hukuman termasuk klasifikasi penegakan hukum, tetapi hendaknya ialah upaya paling simpulan dalam proses penegakan hukum lingkungan administrasi.
Oleh alasannya adalah itu sanksi paksaan pemerintahan (besturdwang) dan uang paksa (dwangsom) harus lebih banyak dimengerti dan diterapkan dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkesinambungan.
C. Gugatan Tata Usaha Negara
Ketentuan mengenai gugatan TUN atau sering juga disebut gugatan administrasi di bidang lingkungan hidup sudah dikelola dalam UUPPLH 2009, Pasal 93 yang menentukan bahwa :
(1) Setiap orang dapat mengajukan somasi kepada keputusan tata perjuangan negara bila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan terhadap perjuangan dan/atau aktivitas yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. tubuh atau pejabat tata perjuangan negara mempublikasikan izin lingkungan terhadap kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. tubuh atau pejabat tata usaha negara yang mempublikasikan izin usaha dan/atau acara yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan somasi terhadap keputusan tata perjuangan negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, bila orang atau tubuh aturan perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh sebuah KTUN berbentukizin lingkungan atau izin usaha yang diterbitkan tanpa dilengkapi kriteria yang diwajibkan mampu mengajukan gugatan ke PTUN. Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN maka isi gugatan tersebut dapat berbentuktuntutan supaya KTUN yang disengketakan itu (berupa izin perjuangan atau izin lingkungan) dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai permintaan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
S. Maronie
sebagai materi kuliah Hukum Lingkungan