close

Pendekatan Teologis Dalam Metodologi Studi Islam

Pendekatan Teologis dalam Metodologi Studi Islam
                                                            
                                                                PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kedatangan agama makin dituntut biar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan aneka macam problem yang dihadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional memperlihatkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan persoalan.
Tuntunan terhadap agama yang demikian itu mampu dijawab manakala pengertian agama yang selama ini banyak memakai pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pengertian agama yang memakai pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, mampu menunjukkan jawaban kepada dilema yang timbul.
Agama selaku objek kajian mampu didekati dengan mempergunakan banyak sekali pendekatan. Pendekatan teologi dalam memandang sebuah agama atau fatwa terkadang masih susah untuk mewujudkan objektivitas, alasannya adalah sering seorang peneliti dalam melakukan observasi, diwarnai dengan contoh pikir berdasarkan dogma yang dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung melahirkan hasil observasi yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan adanya kebenaran anutan-fatwa di luar yang dianutnya.
Dalam mengerti agama banyak pendekatan yang mampu dilakukan. Hal demikian perlu dikerjakan, sebab pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional mampu dinikmati oleh penganutnya, sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi susah difahami oleh masyaraat dan tidak fungsional. Berbagai pendekatan tersebut diantaranya yakni pendekatan teologis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini yaitu cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam sebuah bidang ilmu yang berikutnya dipakai dalam mengerti agama. Dan di sini kami mengajak anda untuk mengetahui lebih lanjut mirip apa itu pendekatan teologis dalam studi agama.
Pendekatan Teologis dalam Metodologi Studi Islam Pendekatan Teologis dalam Metodologi Studi Islam

Pentingnya kajian pendekatan teologis ini dibahas dan dimengerti lewat makalah ini, alasannya di setiap agama memiliki perilaku-perilaku keberagamaan, yang sering kita temui bahwa di antara semua agama terdapat kalaim-klaim kebenaran dan keselamatan masing-masing, yang menganggap agama yang mereka anut dan pahami ialah agama yang benar.
B. Rumusan Masalah
  1. Apakah pemahaman pendekatan Teologis?
  2. Sebutkan dan Jelaskan berbagai macam pendekatan teologis ?
  3. Bagaimanakah Sejarah munculnya teologis ?
  4. Bagaimanakah peta rancangan pendekatan teologis dalam perspektif normatif dan historis ?
C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pemahaman pendekatan Teologis.
  2. Untuk mengetahui aneka macam macam pendekatan teologis.
  3. Untuk mengenali Sejarah munculnya teologis.
  4. Untuk mengenali peta rancangan pendekatan teologis dalam perspektif normatif dan historis.
                                                               PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani ialah “theologia”. Istilah yang berasal dari campuran dua kata “theos, Allah” dan “logos, akal”. Arti dasarnya yaitu sebuah catatan atau ihwal tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut “theologoi”. Syair mereka yang menceritakan tentang para ilahi yang dikategorikan oleh para penulis fatwa Stoa (Stoic) ke dalam “teologi mistis”. Aliran pedoman Stois yang diresmikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki persepsi “teologi natural atau rasional”, yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah “filsafat teologi”, istilah yang merujuk kepada filsafat teologi secara biasa atau metafisika.
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan islam, selaku agama monteisme, ialah sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam yaitu kata-kata. Teologi Islam yang di ajarkan di Indonesia umumnya, ialah Teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid lazimnya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan usulan dan paham dari fatwa-fatwa atau kalangan-golongan lain yang ada dalam Teologi Islam.
Teologi berasal dari kata “ology” dan “theos” dan dijadikan Bahasa Indonesia maka menjadi teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang lalu menjadi “logos” memiliki arti “percakapan”, “pengkajian” dan “observasi”. Tujuan yang terpenting penelitian adalah logos itu sendiri dari pada benda-benda yang menjadi subjeknya. Sedangkan theos dalam bahasa greek berarti “Tuhan” dan atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Kaprikornus Teologi dalam bahasa greek adalah observasi secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan. Makara, Teologi ialah salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan wacana hakekat Tuhan serta eksistensi-Nya.
Oleh sebab itu berbicara ihwal teologi, maka dengan sendirinya kita membicarakan ihwal Tuhan yang dari dahulu sampai kini senantiasa positif untuk dibicarakan. Hal ini menawarkan bahwa manusia memerlukan Tuhan dalam menjawab dan memaknai segala aspek kehidupannya, khususnya sekali yang bekerjasama dengan moral dan imu pengetahuan. Maka pendekatan teologi yakni pembahasan keberadaan Tuhan dan Tuhan-tuhan dalam desain nilai-nilai keTuhanan yang terkonstruksi dengan baik, sehingga pada akhirnya menjadi suatu agama atau ajaran keyakinan.
Pendekatan teologi dalam penelitian agama yang dimaksud disini ialah pembahasan materi perihal ekisistensi Tuhan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan kata theologi, theologi telah ada semenjak bangsa Sumeria yang mulai menjadi perkataan dalam ungkapan yunani ialah theologia dan perumpamaan ini mengacu pada tuhan-ilahi atau yang kuasa, theologi bukan ialah hak prioritas sebuah komunitas tertentu namun theologi merupakan bab dari pendidikan yang umum. Dalam sejarahnya theologi mengacu pada sebuah candi yang dipersembahkan untuk ilahi atau dewa bangsa romawi dan yunani saat itu yang lalu dalam perkembangannya theologi dapat disimpulkan selaku ilmu yang senantiasa berkaitan dengan ketuhanan atau transedensi baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis, kesimpulan yang kedua walaupun theologi mempunyai banyak nuansa, tetapi akidah tetap menjadi unsur yang signifikan dalam memaknainya dan kesimpulan yang ketiga yakni theologi bantu-membantu yaitu suatu aktifitas yang timbul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.
Pendekatan teologi merupakan pendekatan yang cenderung normatif dan subjektif kepada agama. Pendekatan ini umumnya dikerjakan dari dan oleh sebuah penganut agama dalam upaya menilik agama lain. Pendekatan ini sering juga disebut dengan tata cara tekstual, atau pendekatan kitabi. Sebab itu, metode ini seringkali menampakkan sifatnya yang apologetis dan deduktif. Sebab misal, Thomas Aquinas, seorang filosof dan teolog besar pada kurun pertengahan, mengajarkan pada umat kristiani bahwa semua agama di luar Kristen adalah palsu. Demikian juga martin luther, di kala XVI mengajarkan bahwa Agama Yahudi, Islam, dan Roma Katolik yakni agama-agama imitasi.
Di dunia Islam, hal yang sama juga terjadi. Ali ibn Hazm (994-1064) merupakan tokoh Islam pertama yang secara jelas dan panjang lebar wacana ta’rif yang ada di dalam Injil. Hazm beropini bahwa kitab suci Nasrani sudah dipalsukan oleh umat Kristen sendiri dan orang-orang Yahudi. Ia menunjukkan 78 daerah di dalam kitab perjanjian baru yang berisi ayat-ayat yang saling bertentangan antara satu dan lainnya. Hal ini ialah sebuah kemustahilan dalam kitab suci yang berasal dari wahyu dewa. Contoh lain, pada periode modern Muhammad Abduh (1848-1905) melaksanakan kajian serupa. Di dalam majalah Al-Jamiah beliau menyanggah suatu artikel yang ditulis oleh sarjana Kristen. Abduh menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh penulis Kristen tersebut tentang Islam yaitu sebuah kecerobohan alasannya menuduh Islam tanpa bukti-bukti ilmiah. Selanjutnya dia justru menyatakan bahwa pedoman Nasrani yang ada kini lebih mengutamakan hal-hal luar biasa dan ketaknormalan-kecacatan, kekuasaan terhadap kepala agama, meninggalkan dunia, iktikad terhadap hal-hal yang tidak masuk nalar, menentang ilmu wawasan, dan sebagainya.
Pendekatan teologi sering disebut juga sebagai perspektif timur, pendekatan teologi mempunyai arti pendekatan kewahyuan atau pendekatan doktrin peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif Tuhan. Realitas sejati dari agama yaitu sebagaimana yang dibilang oleh masing-masing agama. Pendekatan mirip ini biasanya dikerjakan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran akidah kepada agama yang dipeluknya itu.
Yang tergolong kedalam observasi teologi ini adalah observasi-penelitian yang dilaksanakan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib kepada suatu subjek dilema dalam agama yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang memakai kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu doktrin bahwa wujud empirik dari sebuah keagamaan dianggap selaku yang paling benar dibandingkan dengan yang yang lain. Untuk mengetahui theologi-theologi tertentu dan dari agama tertentu, memakai pendekatan theologis dalam mengetahui theologi agama lain sangatlah sulit sekali karena kita harus berupaya untuk memahami dan melepaskan atau menanggalkan posisi subjektifitas sebagai peneliti biar dapat mengetahui objek yang diteliti dan berempati pada persepsi dunia lain (objek observasi) dan mampu memposisikan diri selaku bagian dari objek observasi tersebut sehingga mampu mengerti keimanan konseptual atau theologi mereka.
B. Macam-Macam Pendekatan Teologis
Ada tiga macam pendekatan Theologis yang kami rangkum dalam makalah ini yakni pendekatan theologis normatif, pendekatan theologis-dialogis dan pendekatan theologis-konvergensi, adapun klarifikasi tentang ketiga pendekatan theologis tersebut yaitu sebagai berikut:
  • 1). Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam mengetahui agama, yakni upaya mengerti agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu akidah bahwa wujud empirik dari sebuah keagamaan dianggap sebagai yang paling benar kalau ketimbang yang yang lain. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut selaku pendekatan teologis-apologis. Sebab condong mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau sekurang-kurangnyakeliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, akad dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yaitu bahasa sebagai pelaku, bukan selaku pengamat yaitu merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.
Dari pedoman tersebut di atas, mampu dikenali bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan yaitu pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya selaku yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan faham lainnya ialah salah, sehingga menatap bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh terhadap pihak lain selaku yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu pedoman dengan aliran yang yang lain tidak terbuka obrolan atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Penelitian kepada agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, mirip yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud menyampaikan bahwa Islam pada mulanya yaitu ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya yakni bab pemikiran ketimuran. Karakteristik pedoman ketimuran menurutnya, ada dua :
  1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
  2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Makara pendekatan teologis normatif dalam agama yaitu melihat agama selaku sebuah kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sungguh prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam contohnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil memperlihatkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam aliran agama yang bersangkutan.
  • 2). Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan yaitu mengkaji agama tertentu dengan memanfaatkan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh M. Natsir Mahmud, dalam aneka macam tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yaitu bertolak dari perspektif teologi Katolik. Kung menyuguhkan pandangan-persepsi teologi Katolik dalam menyaksikan keberadaan Islam, mulai dari persepsi teologis yang intern sampai persepsi yang toleran, yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.
Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung yaitu, bahwa apakah Islam merupakan jalan keamanan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam suatu agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Katolik. Kung mengemukakan persepsi beberapa teolog Kristen, contohnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang populer dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga dipakai oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengganti persepsi antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menetralisir sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lainnya serta menghilangkan aliran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.
  • 3). Pendekatan Teologis-Konvergensi
Berdasarkan pengertian yang sudah dikemukakan terdahulu bahwa “pendekatan teologi konvergensi” yaitu ialah tata cara pendekatan kepada agama dengan menyaksikan unsur-bagian persamaan dari masing-masing agama atau fatwa. Maksudnya dari pendekatan ini yaitu ingin mempersatukan bagian-komponen esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya mampu disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith sebagai penganut pendekatan ini menginginkan semoga penganut agama-agama dapat menyatu, bukan cuma dalam dunia simpel tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu akidah agama-agama itu untuk mencapai suatu konvergensi agama ?. Dalam hal ini Smith terlebih dulu membedakan antara faith (iktikad) dengan belief (keyakinan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak mampu menyatu. Belief acap kali normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berlainan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berlainan-beda, dan dari perbedaan itu akan menciptakan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama mampu menyatu. Makara orang mampu berbeda dalam doktrin (belief), namun menyatu dalam faith. Sebagai pola, dalam masyarakat Islam terdapat aneka macam fatwa teologis maupun pedoman fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy’ariyah atau Mu’tazilah atau pengikut Imam Syafi’i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin mengakibatkan perilaku keagamaan yang berlainan, namun mereka tetap satu dalam faith (doktrin). Demikian pula antara penganut agama, mereka berlawanan dalam belief dan respon keagamaan yang berlainan, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.
Dari ketiga sistem pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan berdasarkan analisa penulis ialah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini sudah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan sistem pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat bagian konvergensi di dalamnya.
C. Sejarah Munculnya Teologis
Para filosof Islam terdahulu menimbulkan Tuhan, alam, dan manusia (Theo, chosmes, and antrophos) sebagai alat untuk mengecek dirinya sendiri yang tidak dimiliki pada makhluk lainnya. Sebab dengan metode ini para jago teologi tidak hanya membahas bagaimana bergotong-royong insan mengatakan ihwal Tuhan; teologi juga mengatakan lebih jauh ihwal bentuk-bentuk ekspresi yang lebih baik dan verbal yang lebih buruk serta mencari definisi yang berimbang perihal obrolan khusus wacana Tuhan. Jan Hendrik Rapar mengungkapkan bahwa, “teologi ialah salah satu cabang filsafat dan mencari hakekat, makna, dan keberadaan Tuhannya, oleh alasannya adalah itu obrolan wacana Tuhan menjadi tetap kasatmata setiap waktu yang tak lesu.”
Sejarah pertumbuhan ilmu teologi ini, mencakup tiga komponen pokok: Tuhan, manusia, dan alam. Dimana ketiga unsur ini saling keterkaitan tidak mampu dipisahkan walaupun mempunyai bagian-unsur yang berbeda.
  • Tuhan
Pengenalan insan dengan Tuhan lewat aneka macam cara, ada yang pribadi berjumpa dengan Tuhannya dan ada yang melalui penggambaran batin. Maka dalam penggambaran dan konferensi tersebut, insan mengenal Tuhannya lewat dualisme teologi: monotheisme dan polytheisme. Monotheisme yakni paham bahwa Tuhan itu satu, Polytheisme yaitu paham bahwa Tuhan itu banyak.
  • Manusia
Kajian ilmu tentang insan disebut antropologi, yang berasal dari Yunani mempunyai arti orang, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi antropologi ialah kajian membicarakan tentang insan serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu kajian ihwal hakekat insan itu sendiri ternyata dari dahulu sampai kini belum habis-habisnya untuk di diskusikan.ini mengambarkan bahwa manusia yakni salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang misterius.
  • Alam
Ilmu wacana alam diketahui kosmologi yang membicarakan tentang hakekat alam semesta serta menyikap wacana ekstensinya yang tersembunyi dibalik bentuk fisiknya.sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan alam, asalnya, tujuannya dan bagaimana ia terjadi dan berevolusi. Kehadiran alam semesta didunia ini memperlihatkan ilham bagi insan itu sendiri wacana hakekat kebenaran Tuhannya.
Diantara aspek-faktor lahirnya teologis atau yang sering disebut juga selaku ilmu kalam dalam Islam, ialah: Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam masalah-kasus doktrin tergolong masalah-kasus yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w. atau zaman para sahabatnya. Berlaku pembahasan tersebut dengan memberi penumpuan agar beliau menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini timbul dan meningkat atas aspek-faktor internal dan eksternal.
A. Faktor Internal
Berikut ini adalah faktor-aspek internal yang menjadi puncak munculnya ilmu Kalam:

  Model Pendekatan Tafsir

1). Al-qur’an sendiri disamping ajakannya kepada tauhid dan memercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada era Nabi Muhammad saw, yang mempunyai dogma-doktrin yang tidak benar. Alquran tidak membenarkan akidah mereka dan membantah alasan-karena, antara lain:

  • Golongan yang mengingkari agama dan adanya yang kuasa dan mereka mengatakan bahwa yang menjadikan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (Q.S. Al-Jatsiyah (45): 24).
  • Golongan -kelompok syirik (Q.S. Al-Maidah (5): 116).
  • Golongan-kalangan kafir (Q.S. Al-Isra’ (17): 94).
  • Golongan -golongan munafik (Q.S. Ali Imran (3): 154)
2). Adanya nash-nash yang tampaknya saling bertentangan, sehingga tiba orang- orang yang menghimpun ayat tersebut dan memfilsafatinya. Contohnya; adanya ayat-ayat yang memperlihatkan adanya paksaan (jabr), (Q.S. Al-Baqarah(2): 6, Al-Muddsir(74):17.
Soal-soal politik, acuan soal khilafat (pimpinan pemerintahan negara). Pergantian pemimpin umat setelah meninggalnya Rasulullah. Awalnya masalah politik tidak mengganggu problem agama, tetapi sesudah kejadian terbunuhnya khalifah Usman, kaum muslimin terpecah menjadi beberapa partai, yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan cuma calon dari padanya yang berhak menduduki pimpinan negara. Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil Agama untuk membela pendiriannya. Dan selanjutnya pertikaian antara mereka menjadi pertikaian agama, dan berkisar pada masalah  dogma dan kafir.
Peristiwa terbunuhnya Usman menjadi titik yang terang dari awal berlarut-larutnya pertikaian bahkan pertempuran antara kaum muslimin. Sebab sejak ketika itu, timbullah orang yang menilai dan menganalisa pembunuhan tersebut di samping menilai tindakan Usman r.a., di saat hidupnya. berdasarkan segolongan kecil, Usman r.a., salah bahkan kafir dan pembunuhnya berada di pihak yang benar, karena perbuatannya yang dianggap salah selama memegang khilafat. Sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan atas Usman r.a. yaitu kejahatan besar dan pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir, alasannya adalah Usman ialah khalifah yang sah dan salah seorang serdadu Islam yang setia. Penilaian yang saling bertentangan lalu menjadi fitnah dan peperangan yang terjadi di saat Ali r.a memegang pemerintahan.
Dari sinilah mulai timbulnya problem besar yang selama ini banyak memenuhi buku-buku ke-Islaman, adalah melakukan kejahatan besar, yang mula-mula dihubungkan dengan kejadian khusus, ialah pembunuhan kepada Usman r.a, lalu berangsur-angsur manjadi persoalan yang umum, lepas dari siapa orangnya. Kemudian timbul soal-soal lainnya, seperti soal Iman dan hakikatnya, bertambah atau berkurangnya, soal Imamah dan lain-lain problem.
Kemudian soal dosa tersebut, dilanjutkan lagi, yaitu sumber kejahatan atau sumber perbuatan dilingkungan insan. Karena dengan adanya penentuan sumber ini mudah diberikan vonis kepada pelakunya itu. Kalau insan itu sendiri sumbernya, maka soalnya telah terperinci, akan tetapi bila sumber bahu-membahu Tuhan sendiri. Dan insan itu selaku pelakunya (alat), maka bantuan keputusan bahwa insan itu berdosa atau kafir masih belum terperinci. Timbullah kalangan Jabbariyah yang mengatakan bahwa semua perbuatan itu dari Tuhan dan golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa manusialah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatannya. Kemudian muncul pula kalangan-golongan lain, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, yang membicarakan dilema tersebut (tindakan insan).
B. Faktor Eksternal
Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Kristen, dan lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang pernah menjadi ulama’nya. Setelah mereka hening dari tekanan kaum muslimin mulailah mereka mengkaji lagi aqidah-aqidah agama mereka dan berbagi ke dalam Islam. Kadangkala mereka menzahirkan pemikiran-pemikiran agama lama mereka berbalutkan busana agama mereka yang baru (Islam).
D. Peta Konsep Pendekatan Teologis Dalam Perspektif Normatif Dan Historis
Ketika Rasul Muhammad SAW wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan pembahasan mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara, sehingga penguburan Nabi yaitu problem kedua. Dari hal ini lahir persoalan khilafah. Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergantian persoalan politik menjadi masalah teologi.
Perseteruan tersebut terselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh golongan Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok Ali diwakili Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn Al-‘As. Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak Muawiyah, alasannya adalah penjatuhan Ali Bin Abi Thalib selaku Khalifah yang Sah dan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As.
Dampak dari peristiwa Tahkim yaitu  Kubu Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua kalangan, yaitu: Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syi’ah sedangkan Golongan yang menyatakan keluar dari golongan Ali, populer dengan nama Khawarij dan Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan kalangan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah.
Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang mendapatkan tipu akal kancil dari Amr Bin As yakni salah, alasannya adalah putusan cuma tiba dari Allah SWT lewat hukum-hukumnya dalam al-Qur’an. Menurut Khawarij “La hukma illa lillah” (tidak ada aturan selain dari Allah).
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase yaitu berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari islam dan harus dibunuh. Pandangan ini bertolak pada Surah Al-Maidah: 44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan  aturan dengan apa yang sudah diturunkan oleh Allah SWT. ialah kafir.”
Persoalan dosa besar mirip persepsi kaum Khawarij di atas, berikutnya bergeser menjadi problem teologi. Dalam perkembangan berikutnya persoalan dosa besar (murtakib al-kabir) memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran teologi dalam islam. Permasalahan terutama yaitu, “bagaimanakah status sesorang yang berdosa besar, apakah mukmin atau kafir?”. Dari persolan murtakib al-kabir lahir beberapa fatwa teologi.
Saat kita mengkaji pengertian, doktrin atau pemikiran yang mereka anut maka ini disebut dalam perspektif normatif. Sedangkan ketika kita mengkaji kenapa pengertian ini timbul, apa yang melandasinya, kapan dan dimana maka ini disebut dalam perspektif historis. Sebagaimana pada ahad yang lalu kita sudah mengkaji dan mengerti ihwal pendekatan normatif dan historis, berdasarkan Amin Abdullah,[12] korelasi kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin duit dengan dua permukaan keduanya tidak bisa dipisahkan namun mampu dibedakan secara tegas dan jelas.
Diantara upaya memahami desain pendekatan teologis dalam sudut pandang normatif dan historis, pemakalah menarik beberapa acuan dari aliran-fatwa teologi dalam agama Islam, sebagai berikut:

No
Aliran Teologi Islam
Doktrin
Sejarah lahirnya
1
Khawarij
Bahwa orang berbuat dosa besar yaitu kafir dan wajib di bunuh.
Pengikut Ali r.a, yang memisahkan diri karena tidak setuju adanya perdamaian antara Ali dan Muawiyah dikala perang shiffin.
2
Murji’ah
Penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang hingga di pengadilan Allah SWT kelak. Makara, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan eksekusi kepada seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT. sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kalangan ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya cita-cita untuk bertobat.
Mula-mula muncul di Damaskus pada akhir kurun pertama hijriah. Golongan ini yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij.
3
Mu’tazilah
Orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin.
Pendirinya yakni Abu Huzdaifah Washil bin ‘Atha Al-Ghazali. Timbul pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam Ibnu Abdul Malik. Dinamakan kalangan mu’tazillah karena Washil memisahkan diri dari gurunya yang berjulukan Al-Hasan Al-Bishry sebab berlainan usulan perihal problem orang Islam yang melakukan maksiat dan dosa besar, yang mati sebelum bertaubat.
4
Qodariyah
Pemikiran Free Will dan Free act (keleluasaan berkehendak dan berbuat).
Disebarkan oleh Ma’bad Al-Jauhani (wafat 80 H) dan Ghilan ad-Dimasyqi. Ma’bad seorang tabi’in yang belajar kepada Hasan Bisri (642-728).
5
Jabariyah
Manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan menentukan kehendak dan perbuatan.
Orang yang pertama kali mengemukakannya ialah Al-Ja’d Ibn Dirham (terbunuh 124 H) dan disebarkan oleh pengikutnya diantaranya di Khurosan, di pimpin oleh Al- Jahm bin Shafwan.
6
Al-Asy’ariyah
Lebih cenderung dengan pendekatan mazhab Imam Syafi’i.
Aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M).
7
Al-Maturidiyah
Cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.
Didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).

                                                               PENUTUP

A. Kesimpulan
1). Teologi mampu disimpulkan selaku ilmu yang senantiasa berhubungan dengan ketuhanan atau transedensi baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis, selain itu teologi juga mempunyai banyak nuansa, namun kepercayaan tetap menjadi unsur yang signifikan dalam memaknainya dan teologi bahwasanya ialah suatu aktifitas yang timbul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan. Jadi pendekatan teologis ialah sebuah pisau analisis untuk mengetahui rancangan ketuhanan dalam agama tertentu yang hendak dijadikan sebagai objek observasi, memakai pendekan teologis ini sangatlah sukar alasannya adalah untuk memahami desain theologi agama lain seorang peneliti dibutuhkan bisa untuk melepaskan pendapatnya yang subjektif semoga dapat memehami betul konsep teologi objek penelitiannya.
2). Ada tiga macam pendekatan teologis ialah pendekatan theologis normatif, pendekatan teologis dialogis dan pendekatan teologis konvergensi yang telah diterangkan di atas.
3). Sejarah perkembangan ilmu teologi ini, mencakup tiga komponen pokok: Tuhan, manusia, dan alam. Dalam Islam teologi sering disebut sebagai ilmu kalam yang kemunculannya meningkat atas aspek-faktor internal dan eksternal.
4). Saat kita mengkaji pengertian, iman atau aliran yang mereka anut maka ini disebut dalam perspektif normatif. Sedangkan ketika kita mengkaji kenapa pemahaman ini timbul, apa yang melandasinya, kapan dan dimana maka ini disebut dalam perspektif historis.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Banyak terdapat kekurangan untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian mampu memberikan kritik dan nasehat yang membangun guna perbaikan di periode yang hendak datang.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam. IAIN IBP Press. Padang: 2001.
Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1978, cet. I.
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta:Lkis.
Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011.
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
———————-, dkk. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.