Pencuri Kopi | Arianto Adipurwanto


Oleh: Arianto Adipurwanto


Suara ranting patah di bawah telapak kaki telanjang Maq Sukiq mengagetkan jangkrik yg tadinya mengkrik nyaring. Kesunyian yg tiba-tiba, mendorong ia untuk menghentikan langkahnya. Lalu melanjutkan lagi sesudah ia rasa seluruhnya aman terkendali.

Golok panjang di tangan kanannya beberapa kali berdenting tatkala berbenturan dgn semak-semak & ranting pepohonan. Senter di tangan kirinya kian lama kian meredup. Beberapa kali ia hampir terperosok ke dlm lubang. Di kejauhan sana, ia mendengar deburan arus sungai Keditan, sungai yg membelah kampung Lelenggo.

Di sebuah pohon besar yg berkembang sedikit miring, ia berhenti. Ia duduk menjengkeng dgn tetap memegang akrab gagang golok di tangan kanannya. Di belakangnya, cuma dibatasi oleh pagar pohon jarak & pohon bantenan, terdapat kebun Maq Tegep, yg ditumbuhi ratusan pohon kopi. Beberapa hari yg lalu, ia mencari kayu bakar di sekeliling kebun ini, & terkaget-kaget saat sepasang matanya disuguhi panorama biji kopi yg begitu ranum. Setelah yakin kondisi kondusif, ia menyelipkan tubuh ringkihnya di antara pagar. Dengan ibu jari kirinya, ia mematikan lampu senter. Gelap kembali utuh, tebal & seram.

Setelah melongo usang, sedikit demi sedikit ia mulai bisa mengenali kawasan itu. Pohon pohon kopi di depannya mulai terlihat meski tak begitu terperinci. Senter di tangan kirinya ia masukkan ke dlm saku. Ia ambil karung di cuilan belakang tubuhnya, yg ia selipkan antara karet celana & punggungnya. Tali yg mengikatnya ia buka, demi kemudahan, belahan atas karung ia gulung ke bawah, hingga yg tersisa hanya sebagian.

Golok ia sandarkan di batang kopi. Dengan sedikit mengangkat tubuhnya, seperti hanya bertopang di telapak kaki depannya, ia menggapai salah satu dahan. Jari tangan kanannya cepat memegang bagian dahan kemudian menariknya turun. Tangan kirinya turut membantu. Tidak terlalu sukar baginya untuk meraih buntutan-buntutan kopi yg terasa cuek di tangannya itu.

Ketika ia nyaris menyelesaikan satu pohon, tak jauh darinya, terdengar bunyi sesuatu menggerisik. Dahan yg tengah ia pegang dgn kedua tangan langsung di lepaskan, yg kemudian menampar keras dahan yg lain. Cepat ia raih goloknya & diam dgn posisi siap menebas. Napasnya terhenti. Lama, tetapi bunyi itu tak terdengar lagi. Ingin sekali ia menjangkau senter di sakunya, tetapi ia masih menahan diri. Semakin ia memicingkan mata, kegelapan di depannya kian pekat. Suasana menjadi begitu hening.

  Kematian Orang yang Dihormati pada Hari Kemerdekaan | Cerpen Musa Ismail

Di seberang sungai, di dlm rumah berdinding bambu, istri Maq Sukiq telentang. Kedua matanya memandang langit-langit rumah. Tangan kanannya memegang akrab salah satu sisi dipan. Jari-jari tangannya berkeringat. Asap terakhir dr ujung sumbu lampu teplok yg gres saja ia matikan bergoyang-goyang di tengah kegelapan. Di belakang rumah tempatnya terbaring, bunyi keroncong sapi mengangetkannya berulang kali.

*****

Tadi sore, Puq Mayu, penjuallauk-pauk, tiba sambil terbungkuk-bungkuk. Plastik hitam menutupi penggalan atas bakul jualannya. Sedang dirinya, sudah berair kuyup. Jari-jari tangannya keriput, berwarna putih kekuningan. Telapak tangannya seperti ditempeli selembar kertas. Tidak tampaksedikitpun ada darah di situ. Wajahnya pun sama. Bibirnya yg sedikit menjorok ke dalam, bergetar mahir. Naq Sukiq cepat mengambilkan kain pengganti, lengkap dgn baju miliknya yg jelas sekali kebesaran di tubuh Puq Mayu.

Jualannya masih banyak. Reraon buatannya masih utuh. Enam ikan panggang pula belum laku satupun. Sambil memeluk dirinya, Puq Mayu menerangkan, bahwa yg laris dr jualannya hanya dua kemasan krupuk sapi seharga seribu rupiah.

Naq Sukiq tanpa pikir panjang lalu memborong semua barang jualan itu. Sepanci reraon yg memperlihatkan potongan-potongan urat berwarna kekuningan, ia tumpahkan ke panci miliknya. Setetespun tak ia biarkan kuah reraon itu tersisa. Ia angkat panci milik Puq Mayu sampai tetesan terakhir yg tak mampu untuk terjatuh, menggantung tak berdaya di tepian panci. Dengan telunjuk kanannya, ia sentuh tetesan yg diam itu kemudian cepat mengisap telunjuknya. Rasa pedas segera menguasai tubuhnya. Enam ikan panggang yg diikat jadi dua, dibelinya juga. Terakhir, ia meraih dua biji terong ungu, yg tergeletak tanpa bungkusan di salah satu ujung bakul. Puq Mayu hampir saja menangis melihat barang jualannya terkuras habis. Ini untuk pertama kali selama ia berjualan.

Di dikala Naq Sukiq melihat serpihan ikan yg pecah & menampilkan dagingnya yg putih higienis, dr arah jebak Maq Sukiq datang berair kuyup. Rambutnya tertidur membuat kepalanya terlihat kecil & bulat. Tangan kanannya yg bergetar kedinginan menggenggam tali kekang dua ekor sapi yg berjalan terantuk-antuk di depannya.

  Jelaga di Langit Jingga | Cerpen Ecep Yuli Sukmara

“Jualan Puq Mayu ndak ada yg beli,” sambut Naq Sukiq tanpa menanti suaminya duduk terlebih dahulu.

“Jualan ke mana saja tadi, Puq?” tanya Maq Sukiq sambil melepas robekan kain yg terikat di pinggangnya.

Dengan semangat Puq Mayu menjawab, “Saya sudah keliling ke mana-mana, namun mereka katanya sudah beli lauk.”

Rasa kasihan menyelinap secara perlahan-lahan ke dlm hati Maq Sukiq. “Beli kek sedikit Nanluh, dr tadi kan ananda tunggu dagang,” katanya ke istrinya, yg menjawab dgn cepat. “Sudah saya beli semua. Kasian Puq Mayu bila bawa pulang lagi. Besok kita ndak perlu sukar-sukar lagi,” katanya.

Maq Sukiq ingin mengatakan namun suaranya tertahan di ujung lidahnya. Kedua matanya melihat tumpukan belanjaan istrinya. Sebenarnya yg ingin ia tanyakan ialah dr mana dapat uang untuk membayar belanjaan yg banyak itu. Tetapi seolah mengerti apa yg ia pikirkan, istrinya berkata, “Nanti kita cari uang untuk bayar, Puq Mayu kasih kita ngutang dahulu hingga besok.”

Berkat keluarga Maq Sukiq, Puq Mayu dgn sangat ringan berlangsung pulang ke rumahnya. Jalan yg tadi ia lewati dgn sulit payah kini tak lagi menyampaikan rintanga apa-apa.

Di rumah, Maq Sukiq mencaci-maki istrinya yg sedang sibuk menghangati reraon belanjaannya di depan tungku.

“Mana kita pakai bayar kini?” katanya sambil duduk di tepian berugaq. Kedua kakinya terjuntai & terayun-ayun.

“Ini untuk kita makan besok juga, besok ndak usah kita beli lauk.”

“Makanya pakai apa kita bayar?” tanya Maq Sukiq sekali lagi.

“Pasti ada besok, tenang,” jawab Naq Sukiq ringan.

“Ya, ananda yg cari sendiri.” Maq Sukiq ketus.

“Kalau ndak mau cari, besok saya yg pergi nyari. Susah sekali,” jawab Naq Sukiq dgn lebih ketus.

Malamnya, bagaimanapun, Maq Sukiq tak akan membiarkan istrinya mencari duit sendiri. Ia tahu istrinya tak akan bisa mendapatkan duit sepeserpun. Sungai sedang besar-besarnya, menyeberang ke tempat tinggal warga yg lain saja tak akan mungkin dijalankan oleh wanita penakut seperti istrinya.

  Kambing-kambing Aminah | Cerpen Puspa Seruni

Ketika ia memperlihatkan penyelesaian untuk mencuri kopi milik Maq Tegep yg belum dipetik sebijipun, Naq Sukiq dgn bergairah mendukung harapan suaminya. “Kita bisa untuk beli kebutuhan yg lain juga,” bujuk istrinya. Maka sesudah mengasah goloknya hingga setajam mungkin, ia melangkah dgn dada bergemuruh. Ia memanjatkan doa dgn sepenuh hati, gampang-mudahan saja Maq Tegep tak ada di kebunnya. Jika ternyata ia ada di kebun, maka tamatlah riwayatnya.

*****

Karung yg tadi kosong kini telah sarat . Bagian ujungnya ia ikat dgn kulit kayu muda sekuat mungkin. Malam sudah larut, tak ada bunyi binatang malam seperti tadi. Hanya terdengar bunyi angin membelai dedaunan berair di sekitarnya.

Dengan karung di atas bahu kanannya, ia berjalan sempoyongan mencari jalan keluar. merasa sudah kondusif, ia keluarkan senter dr sakunya. Karena tak tabah beberapa kali ia hampir terjatuh. Sumpah serapah mendesis dr mulutnya.

Nyala senter ia gerakkan ke sana-ke mari, tetapi yg ia saksikan hanya hamparan pohon kopi. Ia picingkan mata, berharap di kejauhan sana terdapat pagar yg ia tinggalkan tadi, tetapi tak tampakapapun selain kegelapan yg seperti kain hitam tebal.

Dengan kesal ia berbalik, & menuruni kebun itu. Satu anggapan tiba-tiba terlintas di kepalanya: deburan sungai itu. Ya, ia merasa sungguh ndeso alasannya tak menyadari petunjuk itu semenjak tadi. Setelah mengerti itu, maka dgn bersemangat ia menjinjing sekarung hasil curiannya. Dan kegundahan akan tak berhasil keluar hingga besok pagi sungguh-sungguh lenyap tatkala ia mendapatkan dirinya berdiri dlm keadaan berair kuyup di halaman rumahnya.

Anjing menggonggong sebentar, kemudian termangu sehabis mengetahui siapa yg datang. Naq Sukiq cepat keluar. Sepasang matanya langsung tertuju pada sekarung biji kopi yg dibawa oleh suaminya.

“Nah kan, dapat,” katanya bahagia.

Maq Sukiq mengangguk. (*)


Catatan:

Keroncong : Genta kayu yg digantung di leher ternak.
Reraon : Lauk berupa daging yg dimasak dgn santan.
Jebak : Gerbang
Berugaq : Balai-balai
Nanluh : Panggilan pada istri atau perempuan yg telah berkeluarga.