close

Pencarian Bakat | Cerpen Dadang Ari Murtono


Tiga orang, satu wanita & tiga pria, duduk di balik meja panjang menghadap mikropon berbatang kecil berwarna hitam. Melalui mikropon itulah mereka menyalurkan segala komentar pedas kepada siapa saja di panggung seberang meja panjang.

Seorang wanita dgn rok setinggi paha berwarna merah & kemeja flanel ketat yg didominasi warna hijau lengkap dgn riasan yg mencolok mata mereka sebut jelmaan kakatua. Perempuan itu, yg niscaya belum berusia lebih dr dua puluh dua tahun, menutup paras dgn kedua belah telapak tangan. Kedua bahunya berguncang-guncang. Lalu, sesudah berhasil menenangkan diri, sedikit menenangkan diri, perempuan itu berkata, “Tapi bukankah kalian sebaiknya menilai suaraku?”

Si wanita di balik meja berkata: Suaramu mirip lengkingan simpanse yg sedang kawin.

Lelaki berjas hitam di balik meja berkata: Suaramu mirip seruling. Namun seruling yg habis terlindas truk kontainer.

Lelaki berkemeja putih dgn dasi kupu-kupu berkata: Lolongan kucing yg tengah beranak jauh lebih baik ketimbang suaramu.

Perempuan di atas panggung tak kuasa menahan air mata. Air mata yg beberapa ketika sebelumnya ia redakan. Ia berusaha tegar berdiri. Namun kakinya gemetar. Beberapa detik kemudian, dua lelaki berbadan tegap masuk ke panggung, kemudian memapah wanita yg pingsan itu & menjinjing keluar.

Setelah perempuan itu, sebelas lelaki memasuki panggung. Mereka mengenakan seragam hitam. Seragam ketat akses dr ujung kaki hingga leher. Tampang mereka menunjukkan ketegangan. Mereka membungkuk ke ketiga makhluk menyeramkan di balik meja panjang. Makhluk-makhluk yg sudah malih rupa jadi malaikat pengadil. Perempuan di balik meja pribadi nyerocos: Bagaimana kalian memakai pakaian itu? Apakah penjahit menjahitnya pribadi di tubuh kalian seperti itu? Lalu bagaimana kalian nanti melepasnya? Dengan mengguntingnya?

Dua lelaki yg mengapit wanita itu tersenyum masam. Si laki-laki berjas hitam mengajukan pertanyaan: Apa yg akan kalian kerjakan?

“Akrobat,” salah seorang di antara mereka, sepertinya yg ditunjuk kawan-kawannya sebagai juru bicara, menjawab. Suaranya gemetar. Enam lelaki lain menyeka kening.

“Kalian akan gagal,” kata lelaki berkemeja putih berdasi kupu-kupu. “Aku tahu bahkan sebelum kalian memulai. Kenapa kalian tak pulang saja?” tambahnya.

  Lelaki Penggali Kubur Cerpen Budi Setiawan

“Kau jahat sekali,” perempuan di balik meja menyahut. Namun parasnya menunjukkan verbal menahan geli. Dan selarik senyum mempercantik bibirnya yg dipoles lipstik merah menyala. “Mereka harus melakukannya dahulu kan? Itu peraturannya.”

“Terserah merekalah. Aku cuma ingin mengatakan usaha mereka akan tidak berguna belaka. Hayo…, segeralah mulai.” Lelaki berkemeja putih berdasi kupu-kupu menyandarkan punggung ke sandaran bangku sehabis membanting beberapa lembar kertas ke atas meja.

Sebelas lelaki itu kembali membungkukkan tubuh bersama-sama. Mereka kemudian memencar & keluar dr panggung. Lima detik kemudian, empat di antara mereka masuk dr segi kiri panggung kembali seraya menggotong trampolin besar. Empat yg lain menggotong trampolin sama besar dr segi kanan panggung. Lantas, tiga sisanya berlari, dua dr segi kiri & satu dr sisi kanan, & langsung meloncat ke atas trampolin. Tubuh mereka melenting tinggi. Mereka berjempalitan, berputar-putar, & kembali jatuh dgn kaki apalagi dulu di trampolin lantas melenting kembali. Delapan laki-laki lain segera pula turut dlm permainan.

Dua trampolin itu, walaupun berskala besar, nyatalah berkesan terlalu sempit untuk sebelas orang yg melenting-lenting di atasnya, berjempalitan, berputar-putar, untuk kemudian jatuh ke atas trampolin & kembali melenting-lenting. Mereka melompat & mendarat di trampolin lain, bertukar posisi. Kadang-kadang mereka tampak mirip akan bertabrakan sewaktu melenting di udara & menyeberang ke trampolin lain.

Penonton yg memadati bangku di belakang tiga orang yg duduk di belakang meja panjang tak bisa menahan teriakan. Para penonton itu kaget. Mereka takut sebelas orang itu bertumbuk & mendapat celaka. Namun sebelas orang itu memberikan keterampilan menawan . Mereka lincah. Lentingan mereka makin tinggi, makin tinggi, sampai di satu titik, lentingan mereka nyaris menjamah langit-langit panggung. Beberapa penonton kembali berteriak tertahan. Dan begitu sebelas orang itu menuntaskan pertunjukan, penonton bertepuk tangan. Panjang. Dan menggema.

Sebelas orang itu berdiri terengah-engah. Keringat membanjiri tubuh mereka, menciptakan pakaian yg sudah begitu ketat, tampak lebih ketat lagi.

Perempuan di balik meja berkata: Kalian seharusnya menyadari performa kalian cuma menciptakan banyak keringat. Karena itu, kalian semestinya memakai deodoran lebih banyak lagi.

  Kisah Seekor Ayam | Cerpen Dadang Ari Murtano

Perempuan itu mengibas-ngibaskan tangan kiri di depan hidung, sedangkan ajun sibuk menulis entah apa di kertas yg berantakan di depannya.

Lelaki berjas hitam di balik meja berkata: Anak-anakku empat. Yang paling besar berusia dua belas tahun & yg paling kecil empat tahun. Mereka bisa melompat lebih indah daripada kalian, bahkan tanpa tunjangan trampolin.

Lelaki berkemeja putih & berdasi kupu-kupu di balik meja berkata: Lumba-lumba pula bisa melompat mirip itu. Yang kami mau sesuatu yg hebat. Bukan sesuatu yg biasa-umumsaja seperti itu. Kalian tahu, kalau kalian melompat, bukan lompatan yg asal tinggi yg kami mau. Kami mau lompatan yg bisa membuat pelompat meninggalkan realita.

Sebelas lelaki di atas panggung menundukkan muka. Penonton bersorak huuu… panjang & bergema. Sebelas lelaki di panggung tak tahu pada siapa sorakan huuu itu tertuju; pada mereka atau komentar tiga makhluk yg seperti terlahir tanpa hati nurani itu.

Mereka beringsut. Hendak keluar dr panggung. Perempuan di balik meja berkata: Kalian memang tak layak. Kalian bahkan tak tahu sopan santun. Begitukah cara orang renta kalian mengajari kalian?

Sebelas laki-laki di atas panggung berhenti. Si juru bicara tampak hendak memberikan sesuatu. Namun suaranya tenggelam ke dlm kerongkongan & hanya meninggalkan desisan panjang di ujung pengecap.

Perempuan di balik meja meneruskan: Kalian sebaiknya mengucapkan terima kasih terlebih dahulu sebelum pergi.

Laki-laki berkemeja putih & berdasi kupukupu menyertakan: Lihatlah. Seperti kubilang, mereka sungguh-sungguh memuakkan. Mereka bahkan tak menghargaimu yg membela mereka tadi.

Laki-laki berjas hitam mengibaskan tangan. Dan sebelas pria keluar dr panggung. Lunglai.

Laki-laki berkemeja putih & berdasi kupukupu berkata: Apa-apaan ini? Kenapa kita berada di sini & disuguhi tumpukan sampah mirip ini? Benar-benar menjengkelkan.

Laki-laki berjas hitam mengafirmasi: Aku setuju. Aku nyaris-nyaris tak sanggup menahan muntah. Untung gue ingat tadi gue menghabiskan tiga ekor lobster asam manis. Dan itu tak murah.

Setengah menit kemudian, di atas panggung, berdiri seorang perempuan. Rambutnya yg hitam tergerai, menjuntai hingga betis. Ia mengenakan celana kain hitam. Kemeja hitam. Sepatu hitam. Celak mata hitam. Gelang & kalung hitam.

  Matinya Seorang Peladang | Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Perempuan di balik meja berkata: Untuk seorang perempuan, selera fashion-mu benarbenar payah.

Perempuan di balik meja berdiri. Memamerkan diri sendiri.

Laki-laki berjas hitam berkata: Benar-benar tak ada harapan.

Laki-laki berkemeja putih & berdasi kupukupu berkata: Sampah lain lagi.

Laki-laki berjas hitam berkata: Apa yg akan kaulakukan? Cepatlah, kami tak memiliki waktu seharian menunggumu melaksanakan hal kurang pandai. Mari kita akhiri dgn cepat.

Perempuan di atas panggung mengedarkan persepsi ke seluruh ruangan, menyapu tiga pengadil tak bercela di balik meja, menyapu para penonton. Cahaya lampu panggung yg mengguyur tubuhnya menciptakan semua orang di sana tahu: matanya berkaca-kaca.

“Aku cuma meminta kalian semua mendengarkan bunyi tepukan tanganku,” kata perempuan itu. Lantang. Suaranya bergema.

Terdengar suara tawa menyambut ucapannya. Suara tawa dr wanita di balik meja. Suara tawa dr lelaki berjas hitam. Suara tawa dr lelaki berkemeja putih & berdasi kupu-kupu. Suara tawa dr beberapa penonton.

Sebelum suara tawa rampung, perempuan di atas panggung telah bertepuk tangan. Satu kali saja. “Dan kalian akan tertidur,” katanya dgn kelantangan tak berubah.

Ruangan itu tenang. Semua, kecuali wanita di atas panggung, sudah jatuh dlm tidur yg dalam. “Kalian akan berkhayal menjadi sebatang pohon. Kalian akan terbangun sehabis gue pergi dr sini,” tambahnya.

Lantas ia pergi. Suara langkah kakinya memecah keheningan. Tepat tatkala ia keluar dr panggung, seisi ruangan terbangun dr tidur.

Dan mereka, penonton & tiga orang di balik meja, terkejut mendapati betapa rambut mereka telah berubah menjadi dedaunan. Dedaunan lebat berwarna hijau.

Dari sela-sela kerimbunan daun itu muncul kepala seekor ular yg mendesis-desis & menjulurkan pengecap yg bercabang.

Dadang Ari Murtono, lahir & tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yg sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (puisi, 2016) & Samaran (novel, 2018). Saat ini bekerja sarat waktu sebagai penulis & terlibat dlm kalangan suka jalan.