close

Penagih Hutang Bersepeda | Cerpen Farizal Sikumbang

Perihal dongeng wacana seorang penagih hutang bersepeda kumbang, memang sudah banyak dilupakan oleh orangtua di kampung Kuranji. Bagi anak-anak, & remaja yg beranjak akil balig cukup akal, tentu saja dongeng itu kini bagai tak pernah ada, alasannya adalah tak pernah dituturkan oleh orang tua mereka. Tapi bagi keluarga kami, cerita itu tetaplah hidup.

Si penagih hutang itu, memang sudah tak ada di kampung Kuranji. Mungkin itu yg membuat kisah ini tak baka di banyak orang. Karena demam isu mengikisnya, & pula masa telah melupakannya. Tapi wacana sepeda kumbang itu? Ia benar-benar ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami.

Rumah kami? Masih seperti dahulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tak jauh berbeda tatkala si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dikonsumsi rayap, sebagian lagi sudah diganti oleh Uni Ida dgn papan yg baru. Uni Ida & suaminya, beserta tiga anaknya tinggal di rumah itu. Dan di rumah itu pula, bila gue pulang dr rantau, gue akan tinggal di sana untuk beberapa lama.

Usiaku dua belas tahun kala itu. Di kala si penagih hutang timbul pertama kali di kampung Kuranji. Saat itu gue sedang sibuk mencabut rambut putih almarhum Amak.

“Siapa itu Buyung yg bersepeda kumbang?” Tanya Amak sambil telunjuk lurus ia mengarah ke laki-laki itu.

Mataku pun tertuju kepadanya, tapi tanganku masih sempat menawan sehelai rambut putih Amak.

“Entah Mak, tak kutahu siapa dia. Belum pernah kulihat wajahnya,” jawabku.

Laki-laki itu menyandarkan sepedanya pada serumpun pohon pisang batu di halaman rumah kami. Di tempat duduk belakang sepedanya, kulihat kayu memanjang yg diikatkan. Pada dua ujungnya, tampakbuntalan karung yg berisi barang pecah belah. Aku ingat ada baskom plastik. Ember, piring plastik & beberapa lagi gue lupa.

“Maaf Amak, gue si penjualkeliling, si tukang jual barang pecah belah. Boleh kontan & kredit. Perkenalkan namaku, Udin Leman asal Rengat,” katanya dgn girang.

Mak bangun meninggalkanku di sudut pintu.

“Si tukang kredit? Belum pernah ada orang yg menjajakan barang-barang di kampung ini, buyung,” jawab Mak.

“Apa yg kamu jajakan,” tanya Mak lagi.

“Baskom, piring, rantang nasi. Ambillah satu mak, mak cicil pun boleh.”

Mak memperhatikan setiap barang yg dibawanya. Nampaknya mak mulai tergiur juga.

“Rantangku sudah tak baik lagi.”

“Mak ambillah. Harganya lima belas ribu. Mak angsur per hari saja, ya.”

“Kau tiap hari kemari?”

“Ya, mak. Aku gres menyewa rumah di kampung sebelah.”

“O, begitu.”

Mak mengambil satu rantang nasi. Mak mencicilnya setiap hari. Kala itu kampung kami masih sepi. Semak-semak masih semarak di halaman, & pohon-pohon besar pula masih melingkari kampung. Alat transportasi biasa masih susah ditemui, yg ada cuma pedati, & dgn hitungan jari ada pula bendi.

  Sepanjang Aliran Sungai | Cerpen Sungging Raga

Laki-laki penagih hutang bersepeda kumbang itu pun setiap hari mendatangi rumah kami. Seperti persetujuanMak dgn dirinya. Setelah itu ia akan mengelilingi kampung kami. Menjajakan barang dagangannya pada orang lain. Dan makin hari, kian banyak orang kampung kami yg berlangganan dengannya.

*****


Kakakku, Uni Ida gres saja menuntaskan es-em-a-nya kala itu. Jadi kalau Mak mau pergi ke pasar atau ada keperluan lainya, dia akan menitipkan duit pada Uni Ida yg akan diberikan pada si tukang kredit itu. Aku tak tahu entah berapa kali Mak memperlihatkan tugas itu pada Uni Ida.

Namun yg gue ingat yaitu, bahwa beberapa hari kemudian, si tukang kredit itu dgn Uni Ida makin bersahabat saja. Bukan, bukan mirip orang erat, namun seperti dua orang yg saling menggemari. Mereka sering tampakduduk berdua di rumah beberapa usang. Saling berbicara entah apa. Tapi dr wajah Uni Ida, seperti bahagia riang tak kepalang, begitu pula dgn pria si penagih hutang.

Pernah beberapa kali gue diusir Uni Ida jikalau mereka sedang duduk berdua, atau Uni Ida akan membesarkan dua matanya sebagai kode supaya gue pergi jauh. Aku pula sempat berpikir kala itu, begitukah cara bila dua orang saling menyuka?

Berbulan kemudian, relasi mereka tercium oleh Abak. Dan sebuah malam, Abak menginterogasi Uni Ida. Aku ingat itu malam yg acuh taacuh. Hujan turun sungguh lebat menghantam-mukul atap seng rumah kami. Mak menggigil di sudut ruang tamu dgn membisu.

“Kau masih gres tamat sekolah. Kau belum layak berpacaran. Aku tak mau kamu bekerjasama dengan, si tukang kredit itu.”

Uni Ida hanya diam dgn menekukkan wajah ke lantai. Tak berani memandang wajah Abak. “Aku tidak mau lagi mendengar bila kamu bertemudengannya. Aku merasa ia bukan orang baik-baik. Jangan pernah bekerjasama dgn orang yg tak tahu asal-usulnya. Kau memahami?”

Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya diam. Tubuhnya kaku. Ia serupa patung. Tapi airmata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tak mempertimbangkan perihal airmata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak, tak berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di final konferensi malam itu, Abak sempat menyalahkan Mak.

“Ini ulahmu, mengundang si tukang kredit itu tiba ke tempat tinggal,” kata Abak.

Seperti Uni Ida, Mak pula hanya diam.

Di hari berikutnya, Mak tak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini yaitu salah satu cara supaya Uni Ida & si tukang kredit itu tak pernah lagi berjumpa. Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yg menunjukkan duit cicilannya.

  Tambang Nanah | Cerpen Hary B. Kori'un

Aku tak tahu apa yg terjadi pada si tukang kredit itu sesudah ia tak berjumpa dgn Uni Ida untuk beberapa usang. Yang kuingat tentang Uni Ida yaitu, bahwa setiap malam datang, Uni Ida tak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat murung saban hari. ia pun sudah tak banyak bicara. Dan Abak, tak pernah hirau pada pergeseran sikap Uni Ida itu.

Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali gue sengaja membawakan makanan ke kamarnya. Tapi setiap masakan yg pernah kubawakan, tak pernah dikonsumsi Uni Ida. Begitu pula bila gue menyapanya, Uni Ida tak pernah menyahut.

Suatu sore, gue mendengar bunyi gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah gegas gue menyusul asal bunyi itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah, kulihat Abak sedang mendorong badan si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah. Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yg sedang menangis.

“Pergi kamu! Pergi! Pergi!” Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dgn lantang.

“Jangan pernah lagi kau injak rumahku ini. Pergi! Pergi!”

Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik semak & sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya menangis, kadang mirip orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara burung, & pekikan monyet-kera liar yg hendak mencuri nasi busuk jemuran mak.

Tiga hari selanjutnya kejadian gila terjadi, Abak pulang dgn menaiki sepeda si penagih hutang. Mak jadi sungguh kebingungan. Apa yg telah terjadi? Mungkinkah Abak sudah membunuh si penagih hutang & merampas sepeda kumbang? Tatkala Mak menanyakan pada Abak tentang sepeda itu, Abak tak pernah menjawab. Bukan hanya tak pernah menjawab. Abak jadi mirip orang bisu. Tidak lagi mau bicara. Dalam hal apa saja. Ini terjadi dlm dua minggu. Dan insiden ini menciptakan Mak sering mengalami pusing.

Memasuki minggu ketiga, Abak jatuh sakit. Abak mengalami sakit yg aneh. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Abak hanya bisa terbaring. Apabila Abak bersuara, apa yg dia ucapkan nyaris tak terdengar. Kami terpaksa mesti mendekatkan indera pendengaran ke lisan Abak setiap dia hendak bicara.

Seorang mantri desa sudah di datangkan Mak. Obat yg mereka berikan tak mampu menyembuhkan sakit Abak. Bahkan Mak, pernah pula mendatangkan dukun bermata rajawali dr kampung seberang. Si dukun mengatakan, bahwa Abak diserang ilmu hitam nujum orang. Lalu si dukun menyiram tubuh Abak dgn air batang pisang yg telah dibakar & diselingi mantra-mantra yg gue sendiri tak paham. Namun usaha si dukun tak menciptakan apa-apa. Lalu, apa yg menciptakan Abak mengalami sakit begitu rupa? Adakah ini relevansinya dgn si penagih hutang bersepeda kumbang?

  Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

Ya, lima hari setelah maut Abak, pertanyaan itu terjawab sudah. Adalah mamak Odang, abang Mak yg menguraikan seluruhnya.

“Pagi itu Abak kalian mendatanginya. Ia meminta semoga si penagih hutang secepatnya pergi jauh dr kampung seberang. ia pastinya sungguh ketakutan. Abak kalian tak hanya menenteng parang, tapi pula menceritakan dirinya, seorang mantan pejuang yg pernah berkali-kali menebas leher penjajah. Bisa kulukiskan ketakutan penagih hutang bersepeda kumbang itu. Tubuhnya gemetar. Keringat membasahi mukanya.”

“Selama ia merapikan barang-barangnya sebelum pergi, si penagih hutang sempat menyampaikan asal usulnya. Dalam panik ia mengatakan bahwa ia berasal dr Rengat. Anak yatim piatu. Dua orangtuanya mati dihukum Belanda, di dikala Belanda menyerang kota Rengat. Setelah itu si penagih hutang itu langsung pergi. Dan Abak kamu tak menyahut lagi. Selain menenteng sepeda kumbang itu pulang. Tapi di dlm perjalanan pulang, Abak kalian dlm keadaan sangsi, merasa bersalah.”

“Makara, penyakit Abak, alasannya adalah beban fikiran,” simpulan Mak kala itu.

“Ya. Kalian tahu Abak kalian seorang pejuang. ia pernah berperang di Rengat. ia mencicipi sendiri tragedi di kota Rengat itu. Abak kamu merasa bersalah sudah mengusir si penagih hutang itu. Seandainya ia tahu si penagih hutang itu anak yatim korban peristiwa Rengat, tak akanlah ia mengusirnya. Setelah insiden itu, Abak kalian pernah menyuruhku untuk mencarinya kembali, tetapi gue tak pernah menemukannya sampai Abak kalian meninggal. Abak kalian sungguh menyesal.”

Mamak Odang menceritakan peristiwa itu dgn mata berkaca-kaca. Setelah selesai bercerita, beliau langsung mohon pamit minta pulang. Tak kutahu kenapa ia begitu tergesa, mungkin saja beliau pula merasa berdosa tak mendapatkan kembali si penagih hutang, atau tak tahan melihat Uni Ida berurai airmata dgn tangis tertahan.

Lalu hingga berapa lama Uni Ida bergelut dlm kesedihan sesudah kepergian si penagih hutang? Entah hingga kapan gue tak tahu, yg tahu cuma Uni Ida. Sebab dua minggu sesudah kematian Abak, Uni Ida kembali hidup seperti biasanya. Tapi ada kebiasaan ajaib Uni Ida yg muncul tiba-tiba, yakni Uni Ida suka sekali merawat & membersihkan sepeda kumbang si penagih hutang. Dan hingga kini, sepeda kumbang itu tergantug rapi di dapur rumah kami. Tentang serpihan kisah ini, gue percaya suami Uni Ida tak tahu sama sekali.

(Banda Aceh, 2017)

Farizal Sikumbang lahir di Padang. Bekerja sebagai pengajar di kawasan pedalaman Kabupaten Aceh Besar. Tinggal di Kota Banda Aceh. Cerpennya dipublikasikan di media nasional & tempat. Kumpulan cerpennya “Kupu-Kupu Orang Mati” (2017).