BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia, berlangsung sesudah usai Perang Dunia II. Negara berkembang yang semula adalah negara bekas jajahan, dikala itu mulai bangkit melaksanakan perlawanan terhadap penjajah. Selanjutnya mereka menetapkan diri dan mendapatkan legalisasi dunia internasional sebagai negara merdeka (independent nations), meskipun beberapa di antaranya, seperti beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan, posisinya adalah sebagai negara commonwealth, ialah Malaysia, Singapura dan India. Realitas kebangkitan itu tidak sama antara satu dengan lainnya walaupun seluruhnya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam era pembangunannya. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dahulu diakui oleh dunia internasional selaku salah satu dari the Newly Industrializing Countries. Namun sebagian besar dari negara meningkat di Asia, hingga sekarang belum ada yang menyamai kemajuan negara-negara Barat yang mengklaim diri selaku negara modern, kecuali empat negara yang disebut selaku the Newly Industrializing Countries, adalah Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Tentu ada aneka macam penjelasan. Selain penjelasan sosial budaya juga klarifikasi politik, yang berkaitan dengan taktik politik Barat dikala menghadapi perang acuh taacuh. Sesungguhnya hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam tulisan ini tidak akan diulas. Tulisan ini hendak memahami secara khusus konteks pembangunan ekonomi di Negara kesejahteraan selama berlangsungnya kurun pembangunan negaranya.
Sebuah pertanyaan yang tidak pernah ada hentinya sampai saat ini, sekurang-kurangnya dibenak penulis, ada apa dengan pembangunan bangsa Indonesia yang sudah berlangsung nyaris empat puluh tahun, senantiasa diliputi hutang di setiap tahunnya? Saat awal pembangunan nasional dimulai pada tahun 1970an, informasi yang diangkat yakni membangun ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan menuju masyarakat sejahtera. Pada biasanya anutan perihal pembangunan di negara-negara belum berkembang (underdevelopment) senantiasa menaruh kemiskinan selaku berita sentralnya. Ada perbedaan pendekatan dalam pembangunan untuk memahami orang miskin. Di satu pihak ada yang memahami bahwa kemiskinan itu alasannya adalah kemalasan, sedang di pihak lain mengetahui ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Selanjutnya pedoman seperti ini diterjemahkan menjadi kurangnya pendapatan, ketidakmampuan untuk membuat puas keperluan dasar atau kesanggupan untuk menuntun dirinya menjadi manusia seutuhnya.[1]
Akan namun cerita tentang kemiskinan juga tidak mengalami pergantian dari waktu ke waktu, bahkan semenjak reformasi, setiap perubahan kepemimpinan nasional, info pengentasan kemiskinan dan pencapaian kemakmuran masyarakat menjadi jadwal pertandingan kepentingan partai politik, utamanya menjelang pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (penyeleksian presiden). Misalnya pada dikala menjelang penyeleksian anggota DPR, pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada pangan. Ekspor beras dibesar-besarkan oleh partai politik dalam kampanye untuk memperlihatkan sukses pemerintah dalam mengatasi pangan.
Dapat disaksikan, fakta kemiskinan dan kemakmuran juga tidak kunjung terselesaikan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut BPS sepuluh tahun terakhir (1996-2008) rata-rata 18,9%. Tentu mempesona untuk disimak, ada kenaikan jumlah hutang pemerintah mulai dari tahun 1996, akan tetapi angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan yang memiliki arti. Sebagaimana dimengerti bahwa hutang mancanegara Pemerintah Indonesia juga sebagian dipakai untuk pengentasan kemiskinan. Angka kemiskinan di desa (21,77%) bahkan lebih tinggi dari total rata-rata angka kemiskinan di Indonesia. Pertanyaannya, apakah memang kemiskinan dan kemakmuran ini ialah sudah menjadi “merek jualan ” program-program pembangunan bangsa.
Kalau tanggapan atas pertanyaan ini yakni “ya”, maka konsekuensi logis dari jawaban itu : “program pembangunan akan terus berjalan dan menjadi syah adanya, kalau berita kemiskinan dan rendahnya tingkat kemakmuran juga tidak pernah rampung”. Hal ini menjadi lebih menarik lagi, walaupun angka kemiskinan tidak banyak mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, akan tetapi mereka tidak banyak yang mati sebab digolongkan selaku orang miskin. Pada ekonomis penulis, informasi kemiskinan dan rendahnya kemakmuran perlu disimak kembali, dan membandingkannya dengan pembangunan ekonomi di Negara kemakmuran (welfare state)
>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<