Pemahaman Jasa Dan Karakteristik Jasa Menurut Hebat

Pengertian Jasa dan Karakteristik Jasa

Banyak para ahli penjualan jasa yang telah mendefinisikan pemahaman jasa. Adapun pengertian jasa berdasarkan para spesialis sebagai berikut:

Menurut Kotler dalam Lupiyoadi (2014:7) “Jasa adalah setiap tindakan atau acara yang dapat disediakan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksi jasa mungkin berkaitan dengan produk fisik atau tidak.”

Selanjutnya, (Zethaml dan Bitner : 1996) dalam Lupioyadi (2014:7) menawarkan batas-batas tentang jasa selaku berikut “Service is all economic activities whose output is not a physical product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides added value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health). “Jasa merupakan semua aktivitas ekonomi yang akibatnya bukan berbentuk produk fisik atau konstruksi, yang lazimnya dihasilkan dan dimakan secara serempak serta menunjukkan nilai tambah (contohnya kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan) konsumen.”

Menurut Mursid (1993:116), “Jasa yakni aktivitas yang mampu diidentifikasikan secara tersendiri, pada hakikatnya bersifat tidak teraba, untuk memenuhi keperluan dan tidak mesti terikat pada penjualan produk atau jasa lain.

Beberapa pemahaman tersebut memperlihatkan kesimpulan bahwa Jasa adalah aktivitas ekonomi dengan hasil keluaran yang tidak berwujud yang disediakan dari penyuplaijasa yaitu perusahaan terhadap pengguna jasa atau pelanggan.

Menurut Tjiptono (2000:15-18) menyebutkan karakteristik pokok pada jasa selaku berikut:

1. Intangibility

Jasa berlainan dengan barang. Jasa bersifat intangible, artinya tidak mampu dilihat, dirasa, diraba, dicium, atau didengar sebelum dibeli. Konsep intangible ini sendiri mempunyai dua pemahaman adalah:

  • Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa.
  • Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau diketahui secara rohaniah.
2. Inseparability

Jasa tidak memedulikan persediaan atau penyimpanan dari produk yang sudah dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga inseparability (tidak mampu dipisahkan) mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan disantap secara bersama-sama. Dalam relasi pemasokjasa dan pelanggan ini, effektivitas individu yang memberikan jasa ialah bagian penting.

3.Variability

Jasa bersifat sangat variabel alasannya adalah ialah nonstandardized out-put, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan.

4. Perishability

Jasa merupakan komoditas tidak tahan usang dan tidak dapat disimpan. Dengan demikian kalau sebuah jasa tidak dipakai, maka jasa tersebut akan berlalu begitu saja

Sedangkan menurut Payne dalam Jasfar (2012:6) karakteristik jasa adalah selaku berikut:

  1. Tidak berwujud. Jasa bersifat abstrak dan tidak berwujud. Artinya, jasa tidak dapat dilihat, dirasakan/dinikmati, atau disentuh, seperti yang mampu dicicipi dari sebuah barang.
  2. Tidak mampu dipisahkan. Jasa lazimnya dihasilkan dan dikonsumsi pada ketika yang bersama-sama, dengan partisipasi konsumen dalam proses tersebut. Artinya, pelanggan harus berada di daerah jasa yang dimintanya sehingga pelanggan melihat dan ikut “ambil bab” dalam proses buatan tersebut.
  3. Heteregonitas. Jasa merupakan variabel nonstandard dan sangat bervariasi. Artinya, alasannya adalah jasa itu berupa suatu unjuk kerja, tidak ada hasil jasa yang sama walaupun dilakukan oleh satu orang. Hal ini dikarenakan oleh interaksi insan (karyawan dan pelanggan) dengan segala perbedaan keinginan dan persepsi yang menyertai interaksi tersebut.
  4. Tidak tahan usang. Jasa tidak mungkin disimpan dalam persediaan. Artinya, jasa tidak bisa disimpan, dijual kembali kepada orang lain, atau dikembalikan kepada produsen jasa, di mana konsumen berbelanja jasa tersebut.
Menurut Griffin (1996) dalam Lupiyoadi (2014:7-8) menyebutkan karakteristik jasa selaku berikut:

  1. Intangibility (tidak berwujud). Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Nilai penting dari hal ini yakni nilai tak berwujud yang dialami pelanggan dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau ketentraman.
  2. Unstorability (tidak mampu disimpan). Jasa tidak memedulikan persediaan atau penyimpanan dari produk yang sudah dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga inseparability (tidak dapat dipisahkan), mengingat pada lazimnya jasa dihasilkan dan disantap secara serentak.
  3. Customization (kustomisasi). Jasa acap kali didesain khusus untuk memenuhi keperluan pelanggan, contohnya pada jasa asuransi dan kesehatan.
  Pengertian Iklim
Menurut Sumarni (2002:28) jasa mempunyai empat karakteristik adalah sebagai berikut:

  1. Tidak berwujud. Jasa tidak Nampak, tidak dapat dicicipi sebelum dikonsumsikan. Oleh sebab itu pihak pembeli harus mempunyai keyakinan sarat kepada pedagang jasa. Di pihak lain,penjual harus berusaha agara mampu mengembangkan kewujudan jasa dengan cara lebih memberikan faedah jasa tersebut.
  2. Tidak mampu dipisahkan atau tidak mampu diwakilkan. Dengan realita tersebut maka sering kali pelanggan mesti berada pada saat jasa tersebut diproses, dengan kata lain konsumen ikut terlibat dalamproses produksi jasa. Di sini konsumen atau nasabah dapat berinteraksi satu sama lain. Misalnya, antar nasabah bank atau di antara para pasien di tempat praktek dokter. Implikasinya yakni bahwa, penyuplaijasa ialah bab yang tidak mampu terpisahkan dari sebuah jasa.
  3. Tidak tahan usang. Jasa tidak mampu “disimpan” untuk persediaan mirip halnya produk fisik. Jasa akan memiliki nilai di ketika pembeli jasa membutuhkan pelayanan. Oleh sebab itu seringkali seruan akan jasa akan berfluktuasi.
  4. Keanekaragaman. Yaitu tergantung siapa yang menhediakannya, kapan waktu pelayanannya dan dimana tempat diberikannya layanan jasa tersebut.
Pengertian Kualitas Jasa

Kualitas jasa jauh lebih sulit didefinisikan, dijabarkan, dan diukur jikalau ketimbang kualitas barang. Bila ukuran mutu dan pengendalian mutu sudah usang ada untuk barang-barang berwujud (tangible goods), maka untuk jasa aneka macam upaya sudah dan sedang dikembangkan untuk merumuskan ukuran-ukuran semacam itu.

Pada dasarnya, definisi “kualitas jasa berkonsentrasi pada upaya pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi cita-cita konsumen (Tjiptono, 2000 : 51).”

Wyckof (dalam Lovelock, 1998) dalam Tjiptono, (2000:52) Kualitas jasa merupakan tingkat kesempurnaan yang diperlukan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi harapan konsumen.

Disisi lain, definisi dari mutu jasa ialah menurut Lupiyoadi (2014:212) mutu produk (jasa) ialah sejauh mana produk (jasa) memenuhi spesifikasi-spesifikasinya. Menurut ISO9000 dalam Lupiyoadi (2014:212) “Kualitas adalah “degree to which a set of inherent characteristics fulfils requirements” (derajat yang diraih oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi tolok ukur). Persyaratan dalam hal ini ialah: “need or expectation that is stated, generally implied or abligatory” (ialah, kebutuhan atau keinginan yang dinyatakan, umumnya tersirat atau wajib). Kaprikornus, mutu sebagaimana yang diinterpretasikan ISO9000 ialah perpaduan antara sifat dan karakteristik yang menentukan sejauh mana keluaran dapat memenuhi tolok ukur kebutuhan konsumen.

Menurut Parasuraman (1998) dalam Lupiyoadi (2014:216) kualitas jasa dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan cita-cita pelanggan atas layanan yang mereka terima.

Berdasarkan uraian, mampu disimpulkan bahwa kualitas jasa suatu titik focus yang diupayakan dalam suatu produk atau pelayanan untuk dapat menyanggupi impian dan kepuasan pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya.

Variabel Kualitas Pelayanan

Dalam memilih dimensi dalam evaluasi mutu jasa, terdapat sebuah sistem yang menjadi teladan hingga saat ini. Dalam suatu studi mengenai SERVQUAL yang merupakan singk natan dari Service Quality oleh Parasuraman, dkk (1998) dalam Lupiyoadi (2014 : 216-217) terdapat lima dimensi yakni sebagai berikut:

1. Berwujud (tangible)

Yaitu kemampuan sebuah perusahaan dalam memberikan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kesanggupan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti konkret dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi akomodasi fisik (acuan: gedung, gudang, dan lain-lain), peralatan dan perlengkapan yang dipakai (teknologi), serta tampilan pegawainya.

2. Keandalan (reliability)

Yaitu kemampuan perusahaan untuk menunjukkan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang mempunyai arti ketepatan waktu, pelayanan yang serupa untuk semua konsumen tanpa kesalahan, perilaku yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

3. Ketanggapan (responsiveness)

Yaitu sebuah kebijakan untuk menolong dan memperlihatkan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu pandangan yang negative dalam mutu pelayanan.

4. Jaminan dan kepastian (assurance)

Yaitu wawasan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa yakin para konsumen kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa unsur antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keselamatan (security), kompetensi (competence), dan watak (courtesy).

5. Empati (empathy)

Yaitu memberikan perhatian yang lapang dada dan bersifat individual atau langsung yang diberikan kepada para konsumen dengan berupata mengetahui impian pelanggan. Dimana sebuah perusahaan dibutuhkan memiliki pengertian dan pengetahuan perihal konsumen, memahami keperluan pelanggan secara spesifik, serta mempunyai waktu pengoperasian yang tenteram bagi konsumen.

Menurut Tjiptono (2000:55), terdapat 5 dimensi mutu pelayanan jasa, adalah:

  1. Reliabilitas, (reliability), adalah kesanggupan memperlihatkan layanan yang dijanjikan dengan secepatnya, akurat, dan membuat puas.
  2. Daya tanggap (responsiveness), ialah impian para staff untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap.
  3. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat diandalkan yang dimiliki para staf, bebas dari ancaman, risiko atau keragu-raguan.
  4. Empati (empathy), mencakup akomodasi dalam menjalin hubungan, komunikasi yang bagus, perhatian eksklusif, dan pengertian atas kebutuhan individual para pelanggan.
  5. Bukti fisik (tangibles), mencakup fasilitas fisik, peralatan, pegawai, dan fasilitas komunikasi.
  Titik Temu Antara Nilai-Nilai Syariat Dan Budpekerti
Kepuasan Pelanggan

Menurut Tjiptono (2000:89) Kata ‘kepuasan’ atau satisfaction berasal dari bahasa latin “satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “facio” (melakukan atau menciptakan), sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’.

Menurut Kotler dalam Lupiyoadi (2014:228) “Kepuasan ialah tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk jasa yang diterima dengan yang diharapkan.”

Menurut Kotler dan Amstrong (2004) dalam Jasfar (2012:19) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan yaitu perasaan senang atau kecewa yang muncul sehabis membandingkan persepsi pelanggan terhadap hasil dari sebuah porduk dengan prospeknya.

Menurut Zeithaml dan Bither (2003) dalam Jasfar (2012:20-21), terdapat beragam faktor yang mampu memengaruhi kepuasan pelanggan, sebagai berikut:

  1. Aspek barang dan jasa. Kepuasan pelanggan kepada barang atau jasa dipengaruhi secara signifikan oleh evaluasi konsumen kepada fitur barang dan jasa.
  2. Aspek emosi pelanggan. Emosi atau perasaan dari pelanggan dapat memengaruhi persepsinya perihal tingkat kepuasan kepada barang dan jasa. Emosi ini berhubungan dengan suasana hati. Pada saat seorang konsumen sedang mengalami suasana hati yang bangga, emosinya akan mempengaruhi persepsi yang konkret kepada mutu sebuah jasa yang dimakan. Sebaliknya, jikalau seorang konsumen sedang mengalami suasanan hati yang buruk, emosinya akan menenteng tanggapan yang jelek kepada suatu jasa yang sedang dimanfaatkan olehnya walaupun penyampaian jasa tersebut tidak ada kesalahan sedikit pun.
  3. Aspek pengaruh kesuksesan atau kegagalan jasa. Pelanggan kadang-kadang dikagetkan oleh suatu hasil suatu jasa di mana bisa lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan. Biasanya pelanggan condong untuk mencari penyebabnya. Kegiatan pelanggan dalam mencari penyebab sebuah kesuksesan atau kegagalan jasa inilah yang mampu memengaruhi tingkat kepuasannya terhadap barang dan jasa.
  4. Aspek persepsi atas persamaan atau keadilan. Pelanggan akan bertanya-tanya pada diri merekan sendiri: “Apakah saya telah dilayani secara adil dibandingkan konsumen lain? Apakah pelanggan lain mendapatkan perlakuan yang lebih baik, harga yang lebih muran, atau mutu jasa yang lebih baik? Apakah saya diperlakukan secara baik dan sebanding dengan ongkos dan perjuangan yang aku keluarkan?” Pemikiran perihal persamaan dan keadilan ini dapat mengubah pandangan pelanggan pada tingkat kepuasannya kepada barang dan jasa tersebut.
  5. Pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan konsumen juga dipengaruhi oleh orang lain. Sebagai contoh, kepuasan terhadap perjalanan liburan keluarga yakni fenomena yang dinamis, dipengaruhi oleh reaksi dan lisan oleh anggota keluarga selama liburan. Kemudian, apakah mulut kepuasan atau ketidakpuasan anggota keluarga terhadap perjalanan dipengaruhi oleh cerita yang diceritakan kembali di antara keluarga dan memori perihal suatu kejadian.
  Pengertian Lompat Jongkok
Menurut Kotler (1997) dalam Lupiyoadi (2014:228-229) menyebutkan pencapaian kepuasan konsumen lewat kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan selaku berikut:

  1. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak administrasi dengan konsumen. Contohnya, melakukan riset dengan tata cara folus pelanggan (customer focus) yang mengedarkan kuesioner dalam beberapa periode untuk mengetahui persepsi pelayanan berdasarkan konsumen. Demikian juga, riset dengan tata cara observasi (pengamatan) bagi pegawai perusahaan ihwal pelaksanaan pelayanan.
  2. Perusahaan mesti mampu membangun kesepakatan bersama untuk membuat visi dalam perbaikan proses pelayanan. Yang tergolong didalamnya adalah mempergaiki cara berpikir, sikap, kemampuan, dan pengetahuan dari semua sumber daya insan yang ada. Misalnya, dengan tata cara curah pemikiran /pertimbangan (brainstorming) dan management by walking around untuk mempertahankan janji konsumen internal (pegawai).
  3. Memberikan kesempata terhadap konsumen untuk memberikan ganjalan. Dengan membentuk system ganjalan dan nasehat, misalnya dengan hotline (panggilan nomor telepon ) bebas pulsa.
  4. Mengembangkan dan menerapkan partnership accountable, proaktif, dan partnership marketing sesuai dengan suasana penjualan. Perusahaan menghubungi konsumen setelah proses pelayanan terjadi untuk mengenali kepuasan dan impian pelanggan (akuntabel). Perusahaan menelepon pelanggan dari waktu ke waktu untuk mengenali perkembangan pelayanannya (proaktif). Sementara itu, partnership marketing ialah pendekatan di mana perusahaan membangun kedekatan dengan konsumen yang berfaedah untuk mengembangkan gambaran dan posisi perusahaan di pasar.
Menurut Kotler dan Amstrong (2004) dalam Jasfar (2012:21) menyatakan bahwa terdapat empat perangkat untuk mengukur kepuasan konsumen, sebagai berikut:

  1. Sistem ganjalan dan saran (complain and suggestion system). Sebuah perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan umumnya mengediakan formulir/kotak saran/hot lines dengan nomor gratis sehingga mempermudah pelangganya untuk menawarkan anjuran dan ganjalan. Perusahaan juga mempekerjakan staf khusus untuk segera menanggulangi ganjalan pelangganya sehingga persoalan dapat dituntaskan dengan cepat.
  2. Survei kepuasan pelanggan (customer satisfaction survey). Perusahaan melakukan survei secara terjadwal kepada pelanggan di banyak sekali daerah untuk mengetahui apakah mereka puas dengan apa yang disediakan oleh perusahaan, melalui pembagian kuesioner atau dengan wawancara secara eksklusif, melalui telepon, atau melalui e-mail. Hal ini dikerjakan untuk menemukan umpan balik secara eksklusif dari konsumen. Pelanggan akan lebih respek kepada perusahaan karena merasa diamati oleh perusahaan tersebut.
  3. Menyamar berbelanja (ghost shopping). Perusahaan menempatkan karyawannya bertindak selaku pembeli berpeluang dengan tujuan untuk mengetahui apakah produk atau jasa yang diberikan sesuai dengan tolok ukur perusahaan dan melaporkan hasil temuan wacana kekuatan dan kelemahan saat membeli produk atau jasa perusahaan bahkan yang dimiliki oleh pesaingnya.
  4. Analisis konsumen yang hilang (customer loss rate analysis). Perusahaan melakukan analisis penyebab dari para pelanggan yang berhenti membeli atau berubah ke perusahaan lainnya. Perusahaan menelepon secara langsung pelanggannya untuk mengetahui penyebab hal tersebut sehingga mampu dijadikan materi pertimbangan dalam pengerjaan kebijaka perbaikan di abad kini da era yang mau datang, serta pastinya diperlukan pelanggannya senantiasa loyal kepada perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas mampu disimpulkan bahwa kepuasan konsumen ialah besarnya perbandingan antara harapan pelanggan dengan apa yang dirasakan secara kasatmata dengan hasil kinerja yang dirasakan sesuai dengan yang dibutuhkan pelanggan.