close

Pelaksanaan Penyesuaian Pendidikan Agama Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Keagamaan Siswa

Makalah pembahasan ihwal Pelaksanaan Pembiasaan Pendidikan Agama Islam dan Pengaruhnya Terhadap Sikap Keagamaan Siswa mampu dibaca pada makalah berikut ini :
A. Pengertian Pembiasaan PAI
Untuk mengenali pemahaman penyesuaian PAI dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional, pengertian secara konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Usaha sadar, terjadwal dan sistemik dalam pendidikan agama Islam untuk mempersiapkan akseptor bimbing semoga menjadi insan seutuhnya yang berbudi pekerti luhur secara utuh dalam segenap perasaannya dari kini hingga kurun yang akan datang.
  2. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan sikap akseptor ajar biar mereka mau dan bisa melaksanakan peran-tugas hidupnya secara selaras, serasi dan sebanding antara lahir batin, material spiritual, individu dan sosial, serta dunia dan akhirat.
  3. Upaya pendidikan untuk membentuk penerima bimbing biar mempunyai kepribadian seutuhnya (akhlakul karimah) melalui acara tutorial, pengajaran, observasi dan keteladanan. (Balitbang Depdiknas, 2004: 8)

Sedangkan pemahaman secara operasional ialah suatu upaya untuk membekali akseptor latih lewat acara tutorial, pengajaran dan latihan pendidikan agama Islam selama era kemajuan dan perkembangan dirinya selaku bekal untuk kurun depan agar mempunyai hati nurani yang suci, berakhlakul karimah, sehingga taat melakukan kewajiban dan perintah Allah SWT, dan kepada sesama makhluk, tercermin pada pribadinya sikap berbentukucapan, tindakan sikap, anggapan, perasaan, kerja dan hasil karya yang berdasar nilai-nilai agama Islam.

B. Landasan Pelaksanaan Pembiasaan PAI
1. Landasan Agama
Untuk menanamkan kebaikan (amal soleh) pada setiap peserta didik, bahkan pada setiap orang maka perlu adanya pendawaman (adaptasi) melaksanakan amal saleh tersebut, sebagaimana hadits Nabi:
خير الامور ادوامها وان قل
Artinya: Sebaik-baiknya kasus ialah yang didawamkan (dibiasakan) meskipun sedikit. (HR. Hakim)
Hadits ini mengambarkan bahwa amal itu tidak dipandang dari banyak dan sedikitnya. Segala sesuatu akan menjadi sangat baik jika pelaksanaannya dibiasakan meskipun sedikit, terlebih banyak. Kaprikornus cukup terperinci bahwa Islam memerintahkan berinfak itu bukan pada kuantitasnya, tetapi ditekankan pada kualitas amal itu walaupun sedikit tapi dibiasakan (dawam).
Hampir seluruh materi pendidikan agama Islam perlu didawamkan (dibiasakan), seperti: (Ramayulis, 2005: 24),
a. Tauhid: untuk mempertebal kualitas doktrin dan ketenteraman, perlu adanya dzikir secara dawam terhadap Allah.
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi nyaman dengan mengingat (dzikir) kepada Allah. Ingatlah! Bahwa cuma dengan mengingat Allah hati akan menjadi nyaman. (QS. Ar Ra’du: 28)
b. Fiqih: untuk lebih terasa nikmat dan tenangnya jiwa, maka perlu terbiasa (dawam) melakukan ibadah kepada Allah. Contohnya: shalat fardu mesti terbiasa dijalankan pada awal waktu dengan berjamaah. Apabila seseorang telah lazimshalat pada awal waktunya, tentu tidak akan tenang jiwanya tatkala sebuah dikala beliau belum shalat dikarenakan tanggung oleh peran yang dihadapinya atau argumentasi kendaraan dalam perjalanan.
c. Al-Qur’an: untuk lebih memperlancar bacaan dan memajukan pemahaman kepada Al-Qur’an, maka perlu dibiasakan (dawam) membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Dengan sering membaca pengecap kita akan lebih gampang melafalkan karakter dan lafadz Al-Qur’an dan akan menjadi lebih faham kepada ketentuan serta kedudukan kalimah Al-Qur’an tersebut. Lebih jauhnya ia akan meyakini kepada kebenaran, keagungan dan kesucian Al-Qur’an.
مكملن بغير ما تكلف بنطق بالطف بلا تعاصف
Menyempurnakan kepada Qur’an tidak susah, dengan dawam membaca dan tidak berlebihan akan lebih baik. (Syekh Al-Zajari: 18)
d. Akhlak: esensi etika ialah perbuatan, dengan dibiasakan (dawam) dalam perilaku baik, ia akan lebih mudah melaksanakan kebaikan tersebut, dan risikonya akan berakhlakul karimah. Contohnya anak bimbing dibiasakan di sekolah mengucap salam dan bermusofahah kepada guru, maka dengan sendirinya mereka akan gampang dan tidak segan, kalau bertemu guru di manapun akan tetap mengucapkan salam dan bermusafahah. (Humaidi, T, 1990: 9)

2. Landasan yuridis formalnya yaitu UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 1, di sana disebutkan bahwa pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran agar akseptor latih secara aktif menyebarkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, penduduk , bangsa dan negara.
Untuk tercapainya semua itu salah satu jalannya yakni lewat pembiasaan PAI di sekolah dan cara ini bahkan dianggap paling efektif dan efisien, alasannya anak ajar eksklusif melakukan perbuatan secara dawam (rutinitas).
3. Landasan filosofis, adalah bahwa pembiasaan yang dikerjakan oleh seseorang itu akan sangat kuat pada pertumbuhan dirinya, penyesuaian pada hal-hal yang baik maupun adaptasi pada hal-hal yang jelek. Contoh adaptasi pada hal-hal yang bagus mirip membiasakan suka bangkit malam dini hari, maka beliau akan gampang berdiri malam untuk bertahajud, membiasakan shalat pada awal waktu dengan berjamaah, maka di manapun dia berada harus shalat pada awal waktunya, membiasakan suka saum sunat pada hari senin atau hari kamis, maka dalam keadaan bagaimanapun dia tetap akan bersaum. Begitupun dalam hal-hal yang buruk, jikalau telah terbiasa harus susah untuk meninggalkan kejelekan tersebut, sebagai contoh seseorang terbiasa merokok kalau telah kecanduan maka sukar untuk berhenti tidak merokok.
4. Landasan psikologis, menurut pandangan psikolog (Sheal, Peter, 1989), bahwa anak ajar sangat besar dipengaruhi oleh apa yang sering dilakukannya. Oleh sebab itu anak latih belajar cuma:
10% dari yang mereka baca
20% dari yang mereka dengar
30% dari yang mereka lihat
50% dari yang mereka lihat dan dengar
70% dari yang mereka katakan
90% dari yang mereka lakukan
Kaprikornus jelaslah bahwa adaptasi PAI itu sungguh menghipnotis terhadap optimalisasi perkembangan anak didik (Depag, 2003: 7).

C. Tujuan Pelaksanaan Pembiasaan PAI

Tujuan pelaksanaan adaptasi PAI ialah sebagai berikut ini:

  1. Mendorong kebiasaan dan sikap peserta asuh yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
  2. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta asuh selaku penerus bangsa.
  3. Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta latih terhadap suasana sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam sikap yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.
  4. Meningkatkan kemampuan untuk menyingkir dari sifat-sifat tercela yang mampu menghancurkan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. (Depdiknas, 2001: 7)

D. Fungsi Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Fungsi pelaksanaan pembiasaan PAI bagi akseptor latih adalah sebagai berikut ini:

  1. Pengembangan, ialah untuk meningkatkan sikap yang baik bagi penerima didik yang sudah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
  2. Penyaluran, ialah untuk menolong akseptor bimbing yang memiliki talenta tertentu supaya mampu berkembang dan berfaedah secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
  3. Perbaikan, adalah untuk memperbaiki kesalahan, kelemahan dan kelemahan peserta bimbing dalam perilaku sehari-hari.
  4. Pencegahan, yakni untuk menghalangi sikap negatif yang tidak sesuai dengan pedoman agama dan budaya bangsa.
  5. Pembersih, ialah untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti angkuh, egois, iri, dengki, dan riya agar penerima ajar berkembang dan berkembang sesuai dengan pemikiran agama dan budaya bangsa.
  6. Penyaring (filter), yakni untuk menyaring budaya-budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti luhur. (Depdiknas, 2001: 7)
  Melalui Pendekatan Rancangan Inklusi Menuju Arsitektur Yang Humanis

E. Materi Pembiasaan PAI
Dalam pelaksanaan pembiasaan PAI, materinya terfokus pada bahan pokok PAI itu sendiri. Adapun bahan pokok PAI yang terdapat dalam buku Metodologi PAI karya Ramayulis (2005), yakni selaku berikut:

  1. Aqidah
  2. Syari’ah
  3. Akhlak
  4. Al-Qur’an, dan
  5. Tarikh

Dari kelima materi pokok PAI tersebut di atas, 4 bahan ialah aqidah, syari’ah, akhlak dan Al-Qur’an ialah materi-bahan yang sungguh efektif dipraktekkan adaptasi, mengingat keempat bahan itu perlu internalisasi dalam bentuk amal, sedangkan materi tarikh kurang begitu efektif karena kebanyakan isinya berupa gosip dan wawasan saja.

F. Pendekatan Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Dalam rangka memajukan keberhasilan akseptor latih untuk membentuk mental, susila, spiritual, personal, dan sosial maka pelaksanaan penyesuaian PAI dapat digunakan aneka macam pendekatan dengan memilih pendekatan yang terbaik dan saling mengaitkannya satu sama lain semoga mengakibatkan hasil yang optimal. Pendekatan yang dimaksud antara lain seperti berikut ini:.
1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta ajar mengenal dan mendapatkan nilai selaku milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya lewat tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan iman diri. Cara yang mampu digunakan pada pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan faktual dan negatif, simulasi dan bermain tugas.
2. Pendekatan kemajuan sopan santun kognitif (cognitive akhlak development approach)
Pendekatan ini menekankan pada aneka macam tingkatan dari pedoman budbahasa. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pedoman tabiat melalui diskusi masalah adab sehingga penerima asuh mampu membuat keputusan wacana usulan moralnya. Mereka akan menggambarkan tingkat yang lebih tinggi dalam ajaran akhlak, ialah: takut hukuman, melayani keinginansendiri, menuruti peranan yang dibutuhkan, menuruti dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat dipakai dalam penerapan pembiasaan PAI dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kalangan dengan topik dilemma susila baik yang aktual maupun yang absurd (hipotetikal).
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan ini menekankan biar peserta bimbing dapat memakai kesanggupan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis problem sosial yang bekerjasama dengan nilai tertentu. Selain itu, akseptor asuh dalam menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-hubungkan dan merumuskan desain perihal nilai mereka sendiri. Cara yang mampu digunakan dalam pendekatan ini antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap masalah, debat dan observasi.
4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarifications approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan membuatkan kemampuan penerima latih untuk mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini juga membantu akseptor didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka wacana nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu akseptor ajar dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menganggap perasaan, nilai dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang mampu dimanfaatkan dalam pendekatan ini antara lain bermain tugas, simulasi, analisis mendalam perihal nilai sendiri, aktivitas yang berbagi sensitivitas, acara di luar kelas, dan diskusi kelompok.
5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
Pendekatan ini bermaksud untuk mengembangkan kemampuan peserta asuh seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan ini dimaksudkan untuk menyebarkan kesanggupan penerima ajar dalam melakukan aktivitas sosial serta mendorong akseptor asuh untuk menyaksikan diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan penduduk . Cara yang mampu digunakan dalam pendekatan ini, selain cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai ialah sistem proyek/kegiatan di sekolah, kekerabatan antarpribadi, praktek hidup bermasyarakat dan berorganisasi. (Depag. 2003: 23)

G. Pengintegrasian Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Penerapan pembiasaan PAI dapat dilakukan dengan aneka macam seni manajemen pengintegrasian. Strategi yang dapat dilaksanakan yakni sebagai berikut:
1. Keteladanan/contoh
Kegiatan pertolongan teladan/acuan ialah suatu aktivitas yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf manajemen di sekolah yang dapat dijadikan model bagi akseptor asuh. Dalam hal ini guru berperan pribadi selaku acuan bagi penerima bimbing. Segala sikap dan tingkah laku guru, baik di sekolah, di rumah, maupun di penduduk hendaknya senantiasa memberikan sikap dan tingkah laku yang bagus contohnya: berpakaian dengan sopan dan rapi, bertutur kata dengan baik, tidak makan sambil berjalan, tidak mencampakkan sampah di sembarang daerah, mengucapkan salam jikalau bertemu orang, tidak merokok di lingkungan sekolah.
2. Kegiatan impulsif
Kegiatan impulsif yakni aktivitas yang dikerjakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini lazimnya dilaksanakan pada ketika guru mengetahui sikap/tingkah laku penerima ajar yang kurang baik, mirip meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding. Apabila guru mengetahui sikap/perilaku peserta latih yang demikian, hendaknya secara impulsif diberikan pengertian dan diberitahu bagaimana sikap/perilaku yang baik misalnya jikalau meminta sesuatu dilaksanakan dengan sopan dan tidak berteriak. Kegiatan impulsif tidak saja berkaitan dengan perilaku peserta asuh yang negatif, namun pada perilaku/sikap yang kasatmata juga perlu ditanggapi oleh guru. Hal ini dilaksanakan selaku penguatan bahwa perilaku/perilaku tersebut sudah baik dan perlu dipertahankan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi sahabat-sobat.
3. Teguran
Guru perlu menegur akseptor didik yang melakukan sikap jelek dan mengingatkannya biar mengamalkan nilai-nilai yang bagus sehingga guru mampu menolong mengubah tingkah laris mereka.
4. Pengkondisian lingkungan
Suasana sekolah dikondisikan sedimikian rupa dengan penyediaan fasilitas fisik. Contoh penyediaan kawasan sampah, jam dinding, slogan-slogan perihal penyesuaian PAI yang mudah dibaca oleh peserta ajar, aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada kawasan yang strategis sehingga setiap penerima asuh mudah membacanya.
5. Kegiatan berkala
Kegiatan kegiatan rutin merupakan acara yang dijalankan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap ketika. Contoh kegiatan ini yakni berbaris masuk ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah aktivitas, mengucapkan salam bila berjumpa dengan orang lain, membersihkan ruang kelas/belajar. (Depag, 2003: 27)

H. Pengertian Sikap
Mengenai definisi perilaku, banyak jago yang mengemukakannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Fishbein (1975) mendefinisikan sikap yakni predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten kepada suatu objek. Sikap merupakan variable laten yang mendasari, mengarahkan dan mensugesti sikap. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak mampu diperhatikan secara pribadi namun mampu disimpulkan dari konsistensi perilaku yang mampu diamati. Secara operasional, perilaku dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan reaksi dari sikapnya kepada objek, baik berupa orang, insiden atau suasana (M. Ali, 2004: 141).
Sementara itu, Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan perilaku dengan pendirian. Lebih lanjut beliau mendefinisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berjalan terus menerus untuk berperilaku laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga atau masalah tertentu. Dilihat dari sudut pandang yang agak berlawanan, perilaku merupakan kecenderungan untuk bereaksi kepada orang, forum, atau kejadian, baik secara faktual maupun negatif. Sikap itu secara khas mencakup sebuah kecenderungan untuk melaksanakan pembagian terstruktur mengenai dan kategorisasi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jikalau seorang cukup umur menyenangi suatu kelompok musik tertentu, F4 dari Taiwan atau Sheila On 7 contohnya, mereka condong akan bereaksi secara menguntungkan terhadap kelompok musik tersebut tanpa memandang karakteristik khas mereka sebagaiindividu. Demikian juga, seandainya seseorang mempunyai sikap menyenangi sebuah partai tertentu, PKS, PKB atau PDIP contohnya, mereka cenderung akan bereaksi secara menguntungkan terhadap orang-orang dari ketiga partai tersebut tanpa menatap karakteristik khas mereka sebagaiindividu. Sebaliknya, jika seseorang mempunyai perilaku tidak menyenangi terhadap golongan etnis tertentu, mereka condong akan mereaksi secara kurang menguntungkan kepada kelompok etnis tersebut tanpa memandang karakteristik khas dari orang-orang di dalamnya selaku individu.
Lebih lanjut, Chaplin (1981) memastikan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung berasumsi bahwa perilaku-sikap itu akan berlaku dalam sebuah kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Makara, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotip sikap kalangan budaya penduduk tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berjalan dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, menurut pengalaman individu itu sendiri. Para hebat psikologi sosial bahkan percaya, bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu yakni propaganda dan sugesti dari penguasa, pebisnis, forum pendidikan, dan lembaga-forum lainnya yang secara sengaja diprogramkan untuk menghipnotis perilaku dan sikap individu.

I. Teori Sikap

Dalam konteks perilaku ini, menurut Stephen R. Covey (1989) ada tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun variasi, untuk menjelaskan perilaku manusia, ialah:
1. Determinisme genetic (genetic determinism),
2. Determinisme psikis (psychis determinism), dan
3. Determinisme lingkungan (environmental determinism). (M. Ali, 2004: 143)
Determinisme genetic (genetic determinism) berpandangan bahwa perilaku individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan susila sebagaimana perilaku dan sopan santun nenek moyangnya. Sikap kakek-nenek diturunkan ke dalam DNA. Oleh alasannya adalah itu, kalau kakek-neneknya seorang yang gampang murka, seseorang akan mempunyai sikap gampang murka juga. Proses mirip ini diteruskan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Determinasi psikis (psychic determinism) berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil dari perlakuan, teladan bimbing, atau pendidikan orangtua yang diberikan kepada anaknya. Pengasuhan yang diterima individu berbentukpengalaman periode kanak-kanak intinya membentuk kecenderungan eksklusif dan abjad individu, tergolong di dalamnya pembentukan sikap individu. Jika seseorang grogi, takut, atau bahkan depresi jika harus bangkit dan berbicara di depan orang banyak, itu ialah hasil dari cara orangtua mendidik, memperlakukan, atau mengasuhnya. Seseorang akan merasa sangat bersalah saat berbuat kesalahan sebab muncul ingatan bagaimana orangtuanya secara emosional menghukumnya dikala masih berada pada fase yang sangat rentan, lemah, lunak dan bergantung. Seseorang tersebut masih sangat ingat bagaimana eksekusi emosional, penolakan dan pembandingan dengan orang lain.
Determinisme lingkungan (environmental determinism) berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan daerah individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangan memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, seluruhnya membentuk perkembangan perilaku individu.
Sikap merupakan salah satu faktor psikologis individu yang sungguh penting alasannya perilaku ialah kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai sikap seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga sikap individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek perilaku dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk membuatkan teknik dan instrument untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap sudah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kalangan maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penaksiran dan evaluasi perilaku.

J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Hurlock (U. Munandar, 2004), seorang psikolog menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seseorang adalah selaku berikut:
1. Penampilan diri
Perubahan yang meningkatkan performa diri seseorang akan diterima dengan senang hati, dan mengarah terhadap sikap yang menyenangkan.
2. Perilaku
Kalau perubahan sikap memalukan, mirip yang terjadi selama pubertas dan usia lanjut, hal itu akan besar lengan berkuasa pada sikap kepada pergantian-pergeseran yang kurang menyenangkan.
3. Stereotif Budaya
Dari media massa, orang mempelajari stereotip budaya yang dikaitkan dengan banyak sekali usia.
4. Nilai-nilai Budaya
Setiap kebudayaan mempunyai nilai-nilai tertentu yang dikaitkan dengan usia-usia yang berlawanan.
5. Perubahan Peran
Sikap terhadap orang dari bermacam-macam usia sungguh dipengaruhi oleh peran yang mereka mainkan.
6. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi mempunyai imbas yang besar terhadap perilaku individu dalam menghadapi pergeseran-pergantian yang terjadi dalam perkembangan.
Sebenarnya yang dapat menghipnotis sikap itu aneka macam, tapi secara garis besarnya dibagi menjadi tiga, yakni:
1. Kualitas iktikad
Kualitas keyakinan seseorang ialah aspek utama yang mampu mempengaruhi sikap, alasannya seseorang yang imannya besar lengan berkuasa maka jiwanya akan hening dan senang melaksanakan kebaikan, kalau dogma seseorang berkurang bahkan hilang, beliau akan gusar dan segan tak mauberbuat kebaikan. Oleh risikonya diupayakan bagi setiap muslim untuk senantiasa menjaga bahkan harus terus bisa meningkatkan keyakinan.
الايمان يزيد وينقص ويذهب

2. Ilmu pengetahuan
Untuk menjadi manusia yang bersikap baik, di samping ada keyakinan perlu ditunjang dengan ilmu pengetahuan, alasannya pengesahan iman harus dibuktikan dengan amal, akan mau beramal bagaimana jika ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan? Dengan demikian jelaslah bahwa kepercayaan dan ilmu ialah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan Allah SWT berjanji akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan terpelajar pengetahuan.

  Pola Bermadzhab Dan Taqlid

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Dan sabda Rasulullah SAW menyatakan, bahwa seseorang yang bertambah ilmu harus bertambah baik sikapnya. Apabila tidak maka beliau akan kian jauh dari Allah.
3. Lingkungan
Lingkungan sungguh berpengaruh kepada perilaku seseorang. Untuk itu dalam mewujudkannya harus ada keterpaduan di antara tiga lingkungan yang dialaminya. Dia dibimbing biar baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan penduduk .

K. Pengertian Keberagamaan
Keberagamaan berasal dari kata “beragama” yang secara bahasa mempunyai arti hidup tidak semrawut ialah selalu berhaluan/beraturan. Sedangkan menurut Saifudin Anshari seorang ilmuwan muslim berpendapat bahwa yang disebut beragama adalah suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan Ilahi yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan manusia dalam berbagai kondisi baik relasi dengan Allah, sesama manusia dan bahkan dengan alam (makhluk yang lain). Kata tersebut lalu ditambah konfiks “ke-an” menjadi keberagamaan yang artinya berlandaskan aliran agama (Islam).
Beragama mempunyai arti menganut atau memeluk agama, beribadah, taat terhadap agama, benar hidupnya menurut pemikiran agama, alasannya adalah dibekali.
Zakiyah Daradjat (1970: 58), menyebutkan bahwa yang dimaksud keberagamaan yakni kecenderungan hidup seseorang yang selamanya berada pada aturan dan ketentuan agama, sudah biasa mengerjakan ibadah dan takut melangkahi larangan-larangan agama serta dia mampu merasakan tenang dan nikmat hidupnya dalam kondisi beragama. Sedangkan Ahmad Tafsir beropini bahwa inti beragama ialah sikap, dalam agama Islam sikap beragama intinya ialah iman. Jadi yang dimaksud beragama pada dasarnya yakni beriman.

L. Sikap Keberagamaan ialah Dimensi Anak Didik
Manusia yakni makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang yakin adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan pengamatan, nyaris seluruh andal jiwa sependapat bahwa pada diri insan terdapat semacam keinginan dan keperluan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melampaui kebutuhan-keperluan yang lain, bahkan menangani kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan keperluan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa cita-cita untuk menyayangi dan dicintai Tuhan (Ramayulis, 2005: 71).
Dalam pandangan Islam, semenjak lahir insan telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya.
Muhammad Hasan Hamshi (1990: 64), menafsirkan fitrah pada ayat di atas dengan ciptaan Allah, ialah bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama ialah agama tauhid. Pandangan tersebut diperkuat oleh Syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang beropini bahwa agama Islam ialah agama fitrah. Demikian juga Abu ‘Ala al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan susila tabi’i (human nature).
Islam menatap ada sebuah kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berganti alasannya adalah dampak ruang dan waktu. Yaitu peluangdasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak misaq (perjanjian) dengan Allah, sehingga insan pada prinsipnya senantiasa ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berlawanan-beda. (Zainuddin, 1990: 68)
Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan lainnya. Dalam konteks mikro, persepsi Islam kepada kemanusiaan ada tiga implikasi dasar, yakni, pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di kala depan, di mana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan bahan. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan ialah muttaqin yang akan tercapai jikalau insan mengerjakan fungsinya sebagai Abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga, muatan bahan dan metodologi pendidikan diadakan spesialisasi dengan tata cara integralistik dan diubahsuaikan dengan fitrah manusia. (Zainuddin, 1990: 78)
Manusia ialah hasil dari proses pendidikan yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai bila dia memiliki kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Menurut Abdurrahman Shaleh Abdulllah praktek kependidikan yang tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas perihal sifat dasar insan niscaya akan gagal.
Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam dirumuskan untuk membentuk manusia muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan alam baka.

M. Perkembangan Sikap Keberagamaan Peserta Didik
Menurut penelitian Ernes Harmar sebagaimana dikutip oleh Mohammad Ali (2004: 143), kemajuan agama anak-anak lewat beberapa fase yaitu:
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 tahun s.d. 6 tahun. Pada tingkatan ini rancangan mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Tingkat perkembangan ini seperti anak itu menghayati konsep ke-Tuhanan itu kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan kurun ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menyikapi agamapun anak masih menggunakan konser fantastik yang diliputi oleh cerita-dongeng yang kurang masuk nalar.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai semenjak anak masuk sekolah dasar sehingga sampai keusia (periode usia) adolesense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah merefleksikan konsep-rancangan yang menurut terhadap kenyataan (realis). Konsep ini timbul lewat forum-forum keagamaan dan pengajaran agama dan orang dewasa yang lain. Pada kurun ini wangsit keagamaan pada anak didasarkan atas emosional, maka pada kurun ini mereka telah melahirkan desain Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada era bawah umur kepincut dan bahagia pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang sampaumur dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikut dan kesengsem untuk mempelajarinya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistik ini terbagi atas tiga:

  • Konsep ke-Tuhanan yang convensial dan kosmatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh imbas luar.
  • Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
  • Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi ethos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh aspek intern yakni perkembangan usia dan aspek ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.