Pedagang Senja | Cerpen Sungging Raga

SETELAH pensiun dr pekerjaan selaku penulis kisah, lelaki tua itu menetapkan untuk berjualan.

“Tidak baik kalau masa renta cuma dihabiskan untuk memberi makan ikan sambil menanti pemilihan presiden,” begitu ia memotivasi dirinya sendiri. Maka dgn tenaganya yg belum melemah, ia mulai berdagang. Namun ia tak menjual kudapan manis pukis, tahu krispi, atau martabak rasa telur dadar, melainkan menjual sesuatu yg sungguh laku di kalangan penulis kisah itu sendiri: senja.

Lelaki itu barangkali memang ditakdirkan untuk senja. Meski rambut panjangnya telah banyak memutih, pada setiap helai rambutnya itu pernah ada cerita tentang senja. Selama karier kepenulisannya yg cemerlang itu, ia telah menjadi tokoh senja, bapak senja, kakek senja, sesepuh senja, juru kunci senja. Segala senja telah ditulisnya dgn begitu rincian, begitu komprehensif, begitu akurat & teliti, sehingga seperti tak ada orang lain yg lebih mengetahui tentang senja dibandingkan dengan lelaki itu. Ia mungkin sudah lebih tahu ihwal senja daripada senja itu mengenal dirinya sendiri.

Namun setelah puluhan tahun berkarya, sekarang ia mencari aktivitas lain. Sebenarnya bukan karena tak ada lagi cerita yg mampu ditulis, ia masih mampu menulis kisah saban hari, toh ceritanya niscaya akan diangkut lantaran dirinya sudah mempunyai nama besar di dunia penceritaan.

“Tapi sudah waktunya pergeseran generasi penulis. Presiden saja tak mampu selamanya, kok kita seolah menilai menulis itu melakukan pekerjaan untuk keabadian?” begitu jawabannya tatkala sahabatnya, yg seorang penyair gagal, bertanya kenapa ia memutuskan untuk pensiun.

Kini ia tanggalkan semua kejayaan masa lalu. Kalau dahulu ia berdagang senja melalui kata-kata, kali ini ia menjualnya dlm bentuk foto-foto. Oh, tentu bukan maksudnya ia akan menggunting senja & memasukkannya ke amplop kemudian dikirim ke ujung dunia. Tidak, ia cuma perlu tiba memotret senja di tempat-daerah yg romantis & dramatis. Kemudian mencetaknya & menjualnya pada siapa saja yg masih peduli dgn keindahan proses terbenamnya matahari.

Kebetulan sekali lelaki itu mempunyai sebuah kamera digital yg didapatkannya di sebuah pasar yg diketahui menadah barang curian. Ia membisu-diam mengambil kamera tersebut tatkala pedagangnya lengah. Kejadian itu konon sempat menciptakan gaduh, sehingga keesokan harinya di pasar itu pun dipajang goresan pena, “Ini sudah barang curian, mohon jangan dicuri lagi, terima kasih.”

  Kebohongan Ustad Baihaqi | Cerpen Hasan Al Banna

Dengan kamera digital itulah, ia mengawali rutinitas gres: berangkat untuk memotret senja di atap gedung-gedung Jakarta, kadang-kadang ke tepi pantai, sungai, taman, & beberapa daerah yg biasa digunakan untuk menyaksikan hilal. Malam harinya, ia pulang & mencetak foto-foto tersebut, kemudian esoknya ia jual di dlm KRL Commuter Line.

Jika Anda naik Commuter Line jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang, mungkin Anda akan bertemu dengannya: seorang lelaki bau tanah penjualsenja. Biasanya ia ada di gerbong nomor dua atau nomor sembilan, senantiasa di dekat gerbong perempuan.

“Begitulah. Sejak dulu saya senantiasa dekat dgn perempuan, tapi tak pernah bisa mempunyai mereka.”

Di dlm kereta, lelaki itu memperlihatkan foto-foto senja pada setiap penumpang di sekelilingnya.

“Mau foto senja, Mbak? Ini senja di Rawabuntu, senja di Cisadane, senja di Alam Sutera, senja di Cidurian…”

Biasanya para penumpang memandang dgn heran. Hari ini, siapa yg masih peduli dgn senja? Bahkan tak seorang pun menyadari bahwa setiap kali lelaki itu selesai memotret senja di suatu kawasan, maka esoknya tak ada lagi senja di daerah tersebut, berubah gulungan mendung atau matahari yg terbenam dlm keadaan redup. Senja-senja itu seperti terperangkap dlm layar kamera digital. Lalu tercetak di atas kertas foto. Semakin banyak daerah yg disinggahi lelaki itu, maka kian banyaklah senja yg menghilang.

Namun hari ini, tatkala kegiatan rutin sudah terlalu padat, sangat jarang ada orang yg tertarik dgn aktivitas terbenamnya matahari. Apalagi di dlm gerbong kereta, ketika pada umumnya penumpang sudah bersujud ke layar ponsel, membuka media sosial atau membaca portal-portal informasi untuk membuat puas cita-cita mereka menjadi pengamat politik yg terus mengritik pemerintahan. Lelaki itu sepertinya mulai kecewa, karena telah sebulan berlalu, sudah puluhan tempat didatangi untuk memotret senja, tetapi belum satu pun foto senjanya terbeli. Hanya sesekali ada penumpang yg mau membuka obrolan.

  Laki-laki yang Menyeret Sebuah Pintu | Cerpen Yudhi Herwibowo

“Senja?” tanya seorang penumpang wanita suatu kali.

“Iya. Foto senja, Mbak. Bagus untuk dipajang di kamar atau hadiah untuk kekasih.”

“Tapi saya belum memiliki kekasih.”

“Em, ya, siapa tahu, untuk laki-laki yg Anda kehendaki menjadi kekasih?”

Wanita itu tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah buku, “Saya suka senja, tetapi dlm bentuk kata-kata. Seperti buku ini.”

Lelaki itu menyaksikan sampul buku, ia kenal betul judulnya, karena buku itu ialah hasil karangannya tatkala masih aktif selaku penulis kisah.

“Senja dlm foto lebih elok, Mbak. Ia lebih bisa memaparkan apa yg terluput dr kata-kata. Lagipula, pada umumnya kisah hanyalah omong kosong dr penulisnya.”

“Yah, memang. Tapi gue menyukainya.”

“Maksudnya, suka dgn sesuatu yg omong kosong?”

“Entahlah, mungkin lebih tepatnya, digombalin.”

“Wah, itu sih lebih parah.”

“Tunggu, apa Anda telah lama memotret senja?”

“Sebenarnya sih, belum usang.”

“Apa Anda kenal seorang lelaki yg pernah menggunting senja untuk diantarpada kekasihnya, di mana ia kemudian diburu orang-orang lantaran tertangkap tangan membuat langit jadi berlubang?”

“Oh, Sukab maksudnya?”

“Nah!”

“Itu sih sobat SD saya, tetapi jarang naik kelas.”

“Wah, saya sejak dahulu mengaguminya. Andai saya mampu menjadi kekasihnya…”

Karena merasa pembicaraan sudah terlalu melebar, lelaki itu memangkas. “Makara mau beli foto-foto ini atau tidak?”

“Aduh, maaf, mungkin lain kali. Tapi saya titip salam untuk sahabat SD Anda.”

Kemudian perempuan itu memberikan suatu kartu nama, sesaat sebelum ia turun di Stasiun Sudimara, menghilang ditelan cuaca.

Lama-kelamaan, semangat lelaki itu pun hilang. Bisnis senjanya yg gres seumur cabe itu pun seketika gulung tikar. Foto-foto senja hanya bertumpuk di dlm lemari, sementara senja pun kian sulit didapat.

Sempat ia berpikir untuk kembali menulis, namun niat itu diurungkannya pula. Sebab, ia telanjur pesimis, apakah kisah tentang senja masih laku di pasaran? Hari ini, orang-orang lebih suka membahas politik. Begitu pun para penulis kisah, mereka lebih sibuk berperang ideologi. Tak ada lagi kisah wacana romantisme sepasang kekasih duduk memandang matahari terbenam sebelum esok mereka pun saling melalaikan. Para penulis dongeng lebih sibuk menciptakan cerita satire & sarkasme daripada suatu kisah yg mampu menciptakan kita penasaran, apakah senja memang sesuatu yg layak diperjuangkan seperti harta paling berguna dr sepanjang kisah cinta manusia?

  Anjing Pak Gendang | Cerpen Arsyad Salam

Seorang sahabatnya, yg masih menjadi penyair gagal, terus memberi hikmah semoga lelaki bau tanah itu tinggal di rumah saja.

Lelaki itu lagi-lagi menolak.

“Tidak baik duduk di rumah, hanya minum kopi, memandangi rumput, sambil menanti pemilihan presiden.”

Maka sehabis berhenti dr memotret senja, ia mendaftarkan diri selaku tukang ojek online. Meski sudah renta, ia setidaknya masih besar lengan berkuasa menjelajahi jalanan, menebalkan diri dlm kemacetan kota besar.

Hari pertama mendapatkan pesanan ojek, konsumen perdananya ternyata seorang perempuan. Ia sempat bengong ketika membaca nama yg tertera di layar aplikasi, ia kenal betul nama itu, terasa lebih dekat daripada kesunyiannya sendiri. Maka dipaculah sepeda motor menuju titik jemput. Tampak seorang wanita muda yg sudah berdiri di pinggir sebuah taman.

“Antar saya pada senja.”

Lelaki itu tertegun. “Apakah gue sedang hidup dlm suatu kisah pendek?” gumamnya. Wanita itu lantas duduk di belakang, & dgn berani langsung memeluk lelaki renta itu. Lelaki itu pun mencicipi sensasi lain yg tak dikenal sebelumnya, “Mungkin, ia adalah wanita terakhir di dunia yg peduli pada senja,” ucapnya dlm hati.

“Pegang yg erat, Mbak. Ini akan sangat jauh & melelahkan.”

“Begitulah. Seperti penutup suatu pertunjukan yg senang, mereka melaju sepanjang jalan ke arah barat, menjauhi pekatnya Jakarta. Dan sore itu, suatu keajaiban terjadi di atas kepala mereka: seluruh langit berwarna merah keemasan. Tidak hanya di cuilan barat kawasan terbenamnya matahari, melainkan seluruh kepingan langit. Seakan sisa-sisa senja sudah berkumpul, bersepakat mewarnai langit untuk terakhir kalinya. Sehingga sore itu tampaklah senja paling besar, paling luas, & termegah yg pernah ada, yg tak pernah sempat dituliskan manusia.

Tapi cuma mereka berdua yg mampu menyaksikan fenomena itu.

Hanya mereka berdua.(*)

.