Patung Garuda | Cerpen Risda Nur Widia

CUACA tampak berduka. Mendung yg teraduk rata dgn desir angin & kilat petir seakan menggenapkan sebuah kehilangan. Setiap dada penduduk kota bagai berlubang dikoyak anak panah keputusasaan. Semua menjadi lesu & kehilangan gairah hidup.

Orang-orang berlalu tanpa harapan hanya karena sesosok patung garuda yg melambangkan kehormatan, kewibawaan, & kejujuran raib entah ke mana. Patung garuda yg menjadi simbol jati diri penduduk pergi tanpa meninggalkan sejumput harapan bagi masyarakat kota.

Patung garuda itu sangat berarti bagi penduduk kota. Dapat dikatakan denyut jantung penduduk kota itu cuma satu: patung garuda. Orang-orang dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa lelah & mengeluh karena semangat yg dikibarkan oleh patung garuda itu.

Namun dua minggu belakang ini semua geliat warga kota yg sarat api semangat meredup. Enyahnya patung garuda kebanggaan penduduk berefek sungguh kentara pada setiap penduduk. Orang-orang menjadi malas melakukan apa pun. Di kantor-kantor tak ada pekerjaan yg selesai dgn baik. Para pedagang yg lazimnya penuh gairah menjajakan dagangan di taman tempat patung garuda itu singgah, sepi & lungkrah. Arus di jalan-jalan semula selalu macet sebab geliat kendaraan yg akan berangkat kerja. Kini, jalanan itu menjadi lengang. Ada penduduk yg memilih pindah kawasan, mencari sesosok kebanggaan lain. Dan, memang betapa berarti sebuah lambang pujian bagi penduduk kota. Tanpa lambang-lambang itu, penduduk seperti kehilangan identitas & jati diri.

“Tak ada prospek lagi!” Keluh seorang penduduk kota di sebuah kedai minuman. “Bahkan satu-satunya pujian kita telah pergi.”

“Betul!” sahut yg lain. “Pertanda apa ini?”

Hilangnya patung garuda itu pula meninggalkan seribu pertanyaan tanpa jawab. Setiap hari selalu lahir pandangan-persepsi dr rahim anggapan penduduk yg putus asa. Ada yg mengait-ngaitkan hilangnya lambang pujian itu sebab sudah malu atas kelakuan warga kota yg perlahan berganti.

Memang, selesai-final ini, pujian yg berlebihan membuat moralitas penduduk menurun. Orang-orang di kota menjadi lupa diri & buta nurani dgn menggilas kebahagiaan kota lain, atau merenggut kebebasan suatu kota agar dapat mempertahankan lambang & identitas diri kota sebagai tempat unggulan.

  Maling | Cerpen Putu Wijaya

Pun penduduk kota itu yg seakan mabuk oleh panji-panji rasa hormat; keperluan untuk disegani penduduk kota lain sebagai satu hal yg sangat membanggakan. Dan, pasti, lambang garuda sebagai kebanggaan kota selalu mereka kibarkan setiap mencapai keberhasilan.

“Kota kami adalah kota orang-orang terhormat!” kata Wali Kota sesudah sukses memperluas wilayah kota dgn menggusur suatu permukiman kumal di luar batas kota. “Sepasang sayap garuda ini akan terus berkibar!”

Akan tetapi sekarang wajah-wajah yg semula ulet & penuh gelora untuk mengembangkan kewibawaan kota, lenyap saat itu juga. Hilangnya lambang pujian itu menciptakan gairah hidup penduduk kota menghilang. Dan, kini, setiap orang terpuruk pada rasa putus asa alasannya adalah tak ada sesuatu yg mampu mereka banggakan.

*****

Lambang kebanggaan kota yg hilang mirip menjadi membuktikan penurunan aneka macam segi kehidupan. Selain geliat hidup yg menurun, kini moralitas kota itu memburuk. Dahulu mereka menjalankan segala sesuatu dgn rapi & sarat perhitungan. Setelah lambang kembang kota hilang, mereka melaksanakan segala sesuatu tanpa berpikir panjang. Penduduk kota hidup selaku barbar. Pembunuhan, penjarahan, & pemerkosaan menjadi sesuatu yg umum setiap hari.

Orang-orang di kota seolah hidup dlm lingkar kehancuran. Hidup menjadi tak bermakna alasannya adalah lambang kehormatan yg hilang. Ekonomi kota turun drastis. Banyak terjadi pemberhentian para pekerja. Perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sistem keuangan semrawut.

Menyadari dampak begitu menyeramkan, pemerintah balasannya mencoba memulihkan stabilitas kota dgn membuat panji-panji kebanggaan lain. Para petinggi kota memang sudah habis akal mencari sosok garuda pujian kota. Tidak ada yg tahu ke mana sosok garuda itu pergi.

Pernah pemimpin kota mengerahkan intelijen untuk memeriksa hilangnya patung garuda. Semua tempat mereka jelajahi. Semua pasar gelap mereka singgahi. Namun mereka tak mampu mendapatkan ke mana lambang kebanggaan kota itu pergi. Kini, satu-satunya cara mengembalikan ketenangan penduduk dgn menciptakan sebuah patung garuda selaku lambang pujian gres.

  Tikus dan Manusia | Cerpen Jakob Sumardjo

“Kini saatnya kita berdiri dr kegelapan,” kata pemimpin kota itu. “Mungkin hilangnya patung garuda itu hanyalah tanda bagi kita biar melakukan pekerjaan lebih keras. Kita akan membangun sosok gres sebagai lambang kebanggaan kita di kota. Kita akan mengawali segalanya dgn yg baru, & melewatkan sejarah yg lama.”

Mendengar pidato itu selaku penduduk bersorak girang. Akan hadir sosok pujian gres bagi penduduk kota. Namun ada pula penduduk kota yg tetap saja menghadapi hilangnya patung garuda selaku mengambarkan kemerosotan hidup. Yang terpenting bagi mereka, lambang kehormatan itu begitu susah tergantikan, sebab sudah memiliki makna dlm bagi sebagian penduduk yg telah menghabiskan sisa hidup di kota.

*****

Semua materi terbaik dr penjuru negeri dikumpulkan untuk membangun lambang kebanggaan kota. Seiring waktu orang-orang bernafsu untuk kembali hidup. Aspek-aspek kehidupan yg semula menurun memulih. Penduduk bekerja dgn ulet; para penjualsarat semangat menjajakan dagangan. Hidup menjadi memiliki arti alasannya adalah pembangunan lambang kebanggaan baru penduduk kota. Bahkan alasannya tak sabar melihat kegagahan patung garuda baru yg dibangun pemerintah, setiap pulang kerja penduduk kota senantiasa menyempatkan diri melihat proses pembangunan.

Tidak segan beberapa merelakan waktu & energi untuk ikut membangun patung garuda baru. Orang-orang itu melakukan pekerjaan dgn nrimo. Mereka tak mau dibayar sepeser pun. Memang begitu memiliki arti sebuah lambang bagi penduduk kota. Setiap orang seolah membutuhkan monumen kebanggaan diri sebagai identitas.

Begitulah. Berminggu-ahad & berbulan-bulan kemudian patung itu selesai dikerjakan.

“Sebuah pencapaian memang harus diabadikan!”

“Kau benar! Tanpa monumen, kita akan hidup tanpa arti di dunia ini!”

Hidup memang sudah menjadi mirip sedia kala sehabis pembangunan patung garuda gres itu. Kebanggaan & harapan penduduk pulih kembali. Kota semakin maju. Teknologi & penemuan-inovasi baru terus bermunculan. Tentu pembangunan-pembangunan baru dr segala faktor kehidupan berjalan sangat bagus. Monumen itu menawarkan gairah hidup lebih bagi penduduk kota. Setiap orang terpacu ingin memperlihatkan yg terbaik, lantas menambah kehormatan patung itu demi kebanggaan kota.

  Surat untuk Presiden | Cerpen Syahirul Alim Ritonga

Demikianlah, bertahun-tahun kemudian tanpa disadari patung garuda itu retak. Bahkan tak begitu usang sayap patung garuda itu patah. Penduduk kota pun terkejut menyaksikan peristiwa itu. Sekali lagi penduduk kota menafsir peristiwa itu sebagi sesuatu yg jelek. Tidak sampai di situ saja, tiga hari kemudian patung pujian setiap orang itu rusak karena terpaan cuaca. Penduduk kota saat itu juga cemas menyaksikan peristiwa itu.

“Pasti ini membuktikan buruk!”

“Kita akan mengalami peristiwa besar!”

Memang tak begitu usang, kota kembali hidup dlm zaman yg gelap. Penduduk sudah benar-benar kehilangan kehormatan sesudah patung garuda itu hancur. Mereka menggeliat seperti kaum barbar yg tak memiliki hati. Menghancurkan apa saja. Merusak segalanya. Orang-orang kota pun berperilaku kalap seperti tak memiliki hati.

*****

Jauh di antara kehancuran & kemerosotan moral penduduk kota, tiada yg tahu penyebab kehancuran patung garuda yg baru — simbol kebanggaan & kehormatan kota. Bahkan jauh di tengah kota yg sekarang sedang tak menentu & di tengah geliat hidup yg makin kekurangan, seorang penduduk — Tarno, laki-laki 36 tahun — yg dulu ikut membangun patung kebanggaan gres yg telah runtuh itu, berkelekar di serambi rumahnya yg reyot. Ia sudah tahu kenapa patung itu cepat hancur! Bahan-materi untuk menciptakan patung itu, yg dulu dikatakan selaku kualitas terbaik, yakni materi-bahan jelek yg didatangkan untuk menekan ongkos pembangunan. Pemimpin kota itu membodohi rakyat untuk memperkaya diri ditengah kekacauan yg sedang melanda.

“Sudah tamat riwayat kota ini,” kata Tarno malas. “Tahi kucing dgn simbol kebanggaan. Bagi rakyat kecil, yg penting perut terisi!”

Demikianlah, tanpa banyak penduduk sadari sesosok bayangan melayang gagah hingga membuat langit saat itu juga mendung. Pun tak ada yg menyadari sesosok makhluk besar terbang di atas kota. Mahkluk hitam yg yang dibuat dr watu. Sesosok garuda yg melayang gagah tanpa melirik ke bawah. (*)