Hujan turun di atas api. Suara api & suara hujan bercampur seperti bunyi sungai dgn alirannya yg deras. Keduanya menjadi nyanyian cinta menjelang senja.
Hujan tak tahu kenapa api membuat warna merah jingga yg panas, api pula tak tahu kenapa hujan dipanggil hujan setiap ia turun, seperti mahluk yang dibuat dr air yg turun dr langit. Mereka berdua, hujan & api itu, menyampaikan: biarlah angin terus berlangsung dr kota ke kota, mengantar gunung & laut kepadamu, mengantar langit & tanah kepadamu, mengirim bisik-bisik dr dlm sejarah lebih dekat lagi dgn telingamu. Keduanya menolak ihwal berita yg disiarkan beberapa pemancar TV, bahwa telah turun “hujan api” di sebuah kota.
Kami yaitu hujan dan api, bukan hujan-api.
Basa-bau itu, antara hujan & api, mereka katakan itu setiap pagi cuma untuk merayu supaya angin mengunjungi pintu-pintu rumah yg masih tertutup di pagi hari. Kadang, angin itu, menempelkan selembar daun di daun pintu rumah yg masih tertutup. Dan mengatakan, gue tak pernah mempertimbangkan bagaimana waktu menjumlah dirinya setiap ketika, & sedikit kecelakaan yg kadang kala terjadi.
Kami ialah hujan & api untuk sejarahmu yg disimpan oleh angin.
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dr bundaran bola yg rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yg merajut daun-daun dgn dahannya, rumah dgn tanah tempatnya berdiri, bahari dgn ombaknya, gunung dgn jurang & tebing-tebingnya, tak berhembus. Semua yg dilihat tampak kaku, gambar-gambar yg tak bergerak, alam & kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dlm suatu bola.
Di Semarang, dlm suatu bangunan tua yg dibuat selesai kala 19, seorang wanita sedang melahirkan. Bangunan dgn tiang-tiang tinggi, tembok-tembok besar, teras yg pula besar ini, kini sudah berubah menjadi kantor sebuah bank. Bangunan dgn arsitektur kolonial ini banyak tersebar di kota yg sangat dekat dgn kaki-kaki air. Setiap hujan datang atau bahari pasang, banjir akan menggenanginya. Di lingkungan luarnya, bayangan bukit-bukit & gunung, berdiri mirip candi-candi alam yg dihasilkan oleh proses geologi waktu yg panjang & terus-menerus.
Perempuan yg melahirkan itu datang dr keluarga petani yg tinggal di sebuah desa di Bromo, Jawa Timur. Perempuan itu tak tahu kenapa ia memilih kota Semarang untuk melahirkan bayinya. Ia cuma memenuhi dorongan dr dlm dirinya untuk pergi ke semarang, & melahirkan bayinya di bangunan tua yg kini sudah menjadi kantor bank itu.
Seluruh pegawai bank panik menyaksikan seorang wanita tiba-tiba melahirkan. Perempuan itu tak mungkin dibawa ke tempat tinggal sakit alasannya adalah begitu saja ia melahirkan di bangku daerah nasabah bank menunggu antrian. Kaki wanita itu mengangkang. Ia tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia hanya menggigit telapak tangannya hingga berdarah ketika mengeluarkan bayinya dr rahimnya.
Ketika bayi itu lahir, melewati alat kalamin ibunya, ia mirip keluar melewati hujan & api. Suara sungai dgn alirannya yg deras & suara cinta menjelang senja. Lalu angin kembali berhembus. Bayi itu seorang wanita & diberi nama Kembang Kertas. Ibunya tak tahu kenapa nama ini tiba-tiba saja timbul dlm benaknya & menjadi nama untuk bayinya.
Kelahiran itu mengejutkan seluruh pegawai & nasabah bank alasannya adalah bayi itu tak bermuka. Mukanya rata, tetapi tampak bagus & indah. Mulutnya terletak pada pusarnya, telinganya ada di bahunya. Seluruh serpihan tubuhnya bisa bernapas & mencium aneka macam wangi di sekitarnya. Dokter-dokter yg datang tak bisa menyampaikan bahwa bayi itu cacat sebab seluruh indranya berfungsi dgn baik, hanya letaknya berganti. Tubuh insan mirip mengalami revolusi lewat kelahiran Kembang Kertas.
Ibunya kembali menjinjing Kembang Kertas ke desanya, di Bromo. Suaminya cuma seorang laki-laki desa sederhana, yg kadang mencari perhiasan duit dgn menyewakan kuda pada pelancong, mengirim turis mengelilingi padang pasir dr kawah Bromo.
Kembang Kertas tumbuh dgn dunianya sendiri. Ia sensitif untuk hal-hal yg bergotong-royong tak terlalu penting. Ia bisa duduk berlama-lama cuma menghadap tembok di rumahnya. Kadang selama 8 jam ia cuma duduk menghadap ke tembok. Dan orang tak pernah ada yg tahu, apa yg sedang dilihatnya, sebab kedua matanya ada di telapak tangannya. Wajahnya yg rata membuatnya hidup seperti menggunakan topeng yg selalu menutupinya.
Ia tak mau sekolah. Setiap diajak ke sekolah ia menjerit-jerit mirip menyaksikan sesuatu yg sangat menakutkan baginya. Semua yg dilihatnya seperti bukan realita yg bekerjsama. Kedua matanya yg terletak di telapak tangannya, & selalu mengeluarkan suara seperti bunyi mekanik dr kamera yg sedang merekam, bisa melihat dua realita sekaligus: kenyataan yg terlihat & kenyataan yg tersembunyi.
Kembang Kertas memang tidak ingin sekolah. Tapi tak ada yg tahu jikalau setiap hari ia selalu belajar bahasa diam-diam melalui realita tersembunyi yg dilihatnya. Kabut, katanya, aku bukanlah timbunan air yg pergi dr botol-botol minumanmu. Pohon, katanya, gue tak mengetahui bagaimana caranya menyintaimu. Sejarah, katanya, gue tak mempunyai obat untuk menyembuhkan lukamu. Cinta, katanya, gue selalu heran apakah ada hati yg terbuat dr suatu pagi yg baru saja meninggalkan malam.
Semua mirip hadir dlm pasangan yg tak sebaiknya. Pasangan yg selalu dibuat berlawanan. Tetapi keduanya terajut kembali menghasilkan pakaian gres, & busana itu akan menjadi doa & cinta bagi yg mengenakannya.
Setiap menonton TV bersama ibu & ayahnya, di rumah mereka mirip sedang terjadi suatu ritual, alasannya Kembang Kertas menonton TV lewat kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangannya akan terangkat ke atas seperti orang menyembah, menyusuri layar monitor TV. Setiap menonton siaran isu, Kembang Kertas akan mengatakan: bukan ia pembunuhnya… bukan ia pelaku korupsi itu… istri anggota dewan perwakilan rakyat itu mempunyai banyak pacar… di dlm rumah itu ada banyak senjata & duit … bukan ia yg meledakkan hotel itu.
Kembang Kertas bisa memperlihatkan dgn tepat siapa pelaku sesungguhnya dr banyak siaran gosip insiden kriminal, politik, & informasi-info lainnya di TV. Kemampuan Kembang Kertas seperti itu membuat ibu & ayahnya takut. Kemampuan yg berbahaya. Kemampuan yg bisa menciptakan kesemrawutan baru. Kemampuan yg membuat kedua orang bau tanah Kembang Kertas heran, apa itu manusia apa itu hidup apa itu semua yg dijalaninya? Dan kedua orang renta kembang kertas berupaya menyembunyikan kemampuan Kembang Kertas seperti itu dr dunia luar.
Hujan turun di atas api. Percikan-percikan air & api memisahkan diri dr hujan & api, bertebaran di udara. Yang satu mirip kumpulan titik-titik bening yg bergerak memencar, satunya lagi seperti kumpulan titik-titik merah menyilaukan. Percikan-percikan air & api itu menciptakan kembangnya sendiri, mirip tahun gres yg dirayakan oleh para pertapa di puncak gunung.
Kembang air & kembang api menari-nari, saling memecah & membelah diri, kemudian bersatu kembali menjadi nyanyian cinta di akhir malam. Mereka berdua melukis waktu seperti daun-daun yg berkembang menutupi seluruh daun & batangnya sendiri. Setiap pagi menjelang, pohon yg seluruh dirinya telah tertutup daun itu, menyambut matahari lewat warna hijaunya yg terbuka. Tanah, mungkin bisa berganti kembali menjadi besi atau buah pepaya, tetapi tak mungkin berganti menjadi sebuah hotel, katanya. Laut, mungkin bisa berubah menjadi balok es atau ikan-ikan, namun tak mungkin berubah menjadi sebuah TV, katanya.
Di Batu Sangkar, Sumatra Barat, suatu kota dgn suasana Minang lama, peristiwa yg sama terulang. Sebuah bangunan dgn arsitektur kolonial, yg kini sudah berubah jadi bangunan untuk sekolah, tiba-tiba kedatangan seorang wanita yg akan melahirkan. Perempuan itu tiba dr sebuah keluarga sederhana yg hidup dr berjualan pakaian di Medan.
Murid-murid & guru-guru di sekolah itu ketakutan menyaksikan wanita itu melahirkan. Kakinya mengangkang. Ia tak mengeluarkan bunyi tatkala melahirkan. Tetapi darah dr lidahnya menetes. Perempuan itu menahan rasa sakit dgn menggigit lidahnya sendiri. Seorang bayi perempuan kemudian lahir melalui vagina ibunya mirip melahirkan tarian-tarian kembang air & kembang api.
Bayi wanita tak berparas itu, wajahnya rata mirip dinding bejana plastik, mirip dgn bayi yg lahir di Semarang. Bayi itu pula diberi nama Kembang Kertas oleh ibunya.
Bayi itu tumbuh bareng butiran-butiran waktu yg membesarkannya. Setiap saat, waktu melayani & menyusuinya, alasannya air susu ibunya sendiri kering. Kembang Kertas minum susu dr air susu waktu, setiap ia merasa haus. Jiwa & tubuhnya sangat sensitif. Ia tumbuh seperti seonggok daging yg berlangsung tanpa tulang.
Ketika Kembang Kertas mulai mengenali kehidupan sosial, bahwa setiap orang mempunyai nama, ia menyaksikan insan seperti omong kosong yg bawel. Ia merasa bahasa lebih banyak melukainya ketimbang membantunya berkomunikasi. Beberapa kata, seperti menyimpan luka & pisau sekaligus. Kembang Kertas kemudian lebih banyak sendiri. Waktunya lebih banyak dihabiskan dgn mencuci. Setiap hari ia mencuci apa pun yg kotor, dr busana kotor, cucian kotor, hingga dgn membersihkan genteng-genteng yg berjamur.
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dr bundaran bola yg rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yg merajut daun-daun dgn dahannya, rumah dgn tanah tempatnya berdiri, maritim dgn ombaknya, gunung dgn jurang & tebing-tebingnya, tak berhembus. Semua yg dilihat tampak kaku, gambar-gambar yg tak bergerak, alam & kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dlm suatu bola.
Lalu Kembang Kertas mulai menggerakkan tangannya di atas permukaan air, di bak mandi kamar mandi rumahnya. Air beriak & bergerak. Halus & sungguh halus. Tempelan-tempelan potret itu pun mulai bergerak. Dalam bak mandi itu, Kembang Kertas mirip bisa melihat seluruh sejarah yg pernah terjadi. Tentang armada laut yg bergerak dr Maluku, menjinjing rempah-rempah, berlayar memasuki gerbang Malaka, kehidupan di Sriwijaya, Majapahit atau Singosari. Kerajaan Pajajaran & Mataram.
Orang-orang yg terus berguru bareng waktu, kemudian menjelma menjadi air setelah mereka mati. Waktu bergerak mirip seekor gajah yg menanam pohon beringin di mana-mana. Dan pada ketika yg sama, orang-orang membunuh gajah itu & membunuhnya, & menebangi pohon-pohon beringin itu setelah tumbuh besar. Kami membunuhi gajah-gajah & menebangi pohon-pohon biar keluarga kami bisa hidup, katanya.
Kembang Kertas membaca banyak sejarah yg sudah ditulis, tak sama dgn sejarah yg disaksikan dlm air bak kamar mandinya. Ia bisa melacak seluruh jejak sejarah, seperti memasuki rekaman video yg dibentuk oleh air mata & buih-buih ombak. Matahari tropis menciptakan warna sejarah itu terlihat lebih kekuning-kuningan & berdebu.
Hari mungkin telah malam, mungkin telah pagi, mungkin akan menjelang siang, katanya, sayang sekali jam di tanganku bukanlah hitung-hitungan bulan & matahari. Orang tua Kembang Kertas di Medan, khawatir, sebab anaknya bisa berbahasa Jawa, bahasa Aran, China & Sansakerta. Padahal tak pernah ada yg mengajarinya bahasa-bahasa itu. Tatkala ia berusia 9 tahun, Kembang Kertas pula bisa berbahasa Belanda, Rusia, Jerman & Inggris. Dan tak ada seorang pun yg pernah mengajarinya bahasa-bahasa itu.
Kembang Kertas, tubuhnya, menjadi sarang sejarah & bahasa-bahasa. Ia semakin takut untuk bertemu dgn orang lain. Ia terus mencuci seharian. Hingga suatu hari ia berjumpa dgn sebuah sungai. Sungai itu begitu bening, mengalir mirip sungai kata-kata. Sungai yg mengalirkan banyak bahasa & sejarah pada batang tubuhnya. Bahasa & sejarah menjadi begitu bening dilihatnya, mengalir dlm sungai itu.
Ikan-ikan memakai aneka macam bahasa itu untuk bernyanyi dlm sungai itu. Batu memakai aneka macam warna dr sejarah dlm sungai itu. Pasir di sungai, hidup dlm buaian musik gamelan yg terus berbunyi di dasarnya. Seniman-seniman menjadi ajaib untuk mewarnai kehidupan.
Sungai itu begitu menggoda perhatian Kembang Kertas. Kembang Kertas mulai merasakan tubuhnya seperti air yg sedang beriak, menetes, merembes ke dlm tanah di pingggir sungai itu. Air terus menetes dr tubunhnya & terus merembes ke dlm tanah di pingggir sungai itu. Waktu pula seperti ikut menetes, langit ikut menetes, pohon-pohon ikut menetes, sungai ikut menetes.
Setelah itu, orang tak pernah melihat Kembang Kertas. Keluarganya telah mencarinya ke mana-mana. Tetapi Kembang Kertas seperti sudah sirna begitu saja. Tetapi, setiap orang menangkap ikan di sungai itu, ikan itu menetes & menjadi air di telapak tangan mereka.
Di Yogyakarta… di Bandung… di Makassar… di Denpasar… di Cirebon… di Palembang… di Solo… Jakarta… pula di Amsterdam, Tokyo & di New York, lahir bayi perempuan yg sama, tanpa wajah. Mereka semua lahir dlm suatu bangunan dgn arsitektur kolonial.
Mereka semua berjulukan Kembang Kertas. (*)