close

Paradoks Akhi dan Ukhti

Akhi, udah makan?

Ukhti, gue kangen sama kamu. Kalau mampu kita ketemu nanti siang. Bisa nggak?

***

Penggalan-pecahan kalimat itu tak sengaja saya baca dr handphone keponakan saya yg pulang dr pondok. Kebetulan, di pondoknya dilarang membawa gadget. Kaprikornus tatkala pulang ke tempat tinggal, keponakanku seakan memperoleh apa yg selama ini sudah hilang dlm kesehariannya.

Tapi, itu hal masih tergolong yg ‘wajar’ sih. Yang nggak wajar ialah tatkala saya membaca sms-sms di handphonenya. Baik di kotak inbox atau di kotak sent. Pembaca pun mampu menerka, apa yg mereka sedang lakukan dgn sms mereka. Kita mampu pribadi mengatakan bahwa mereka sedang ber-sms-an ria layaknya sesama pacar yg saling merindukan. Tapi, saya kira nggak nyambung banget deh kalau acara pacaran memakai ungkapan-perumpamaan islami. Katakanlah ungkapan-ungkapan akhi, ukhti, ana, antum & sebagainya.

Maksud islami ialah para pencetus, da’i & santri. Tapi, jangan salahkan kata islami tersebut dgn datangnya para oknum yg mengatasnamakan ‘pacaran islami’. Bah! Entar kesananya ada ‘judi islami’, ‘korupsi islami’, & islami-islami lainnya. Nggak lucu bila seandainya seorang penjudi berceloteh mirip ini, “Alhamdulillah… Ana menang dua kali taruhan. Antum-antum berani nggak musuh saya.”

Mungkin dlm bayangan para oknum itu, pacaran yg haram yakni pacaran gaya cukup umur metropolitan yg tercekoki budaya hollywood. Kissing, & yg lebih dr itu sudah dianggap biasa oleh akil balig cukup akal metropolitan. Hal itu sudah tak dianggap tabu lagi. Tapi, apakah aktivitas sms basa-kedaluwarsa dgn lawan jenis, nelpon berjam-jam dgn sahabat ikhwan di pondok, facebook-an dgn lelaki ajnabi bukan tergolong pacaran? Mereka menganggapnya boleh. Karena menggunakan aksesori ana, ukhti, akhi? Mereka menganggapnya cuma sebatas obrolan teman. Padahal hati mereka mengakui sebaliknya? Bahkan memakai istilah ta’arufan segala. Dan endingnya mengatakan, “Ana uhibuka/i fillah.” (saya mencintaimu sebab Allah).

Jangan hingga kita memperalat istilah-istilah itu hanya untuk kesenangan kita. Bisa jadi, orang-orang di luar sana, yg lebih awam dr kita, yg kita anggap rendah ilmunya di banding kita, mereka bisajadi lebih mulia di hadapan-Nya. Wajar mereka melaksanakan hal yg dilarang, sebab bisa jadi mereka belum mengetahui ilmunya. Sedangkan kita? Hanya sebab menggunakan jilbab besar, niqab, berkaus kaki untuk yg akhwat, kita merasa mulia & jarang mengintrospeksi diri. Bahkan dgn jerat ikhtilat & khalwat sekali pun, kita buta mata. Buktinya, banyak dr kita yg kena virus pink & membungkusnya dgn istilah-istilah islami. (‘Buang’ aja deh buku-buku teks pesantren ke ‘tong sampah’)

Lain lubuk lain ikan. Lain ladang lain belalang. Begitulah pribahasa melayu yg sering saya dengar. Lain kawasan, lain pula perkara yg terjadi di dalamnya. Contohnya seperti cerita abang wanita yg menempuh S1 di salah satu Ma’had ‘Aly (Sekolah Tinggi Islam).

Ceritanya, tatkala jam istirahat di tempatnya menimba ilmu, para akhwat umumberkumpul di kantin. Yang jadi masalah bukan program kumpul-kumpulnya. Tapi apa yg mereka kerjakan tatkala ‘halaqahan’ tersebut. Pengen tahu? Mereka ternyata bergunjing. Tapi informasi mereka bukan isu selebriti ala pelaku entertainment, bukan pula gosip ibu-ibu yg ngomongin aib tetangga. Para akhwat tersebut bergosip seputar dunia ma’had. Mulai dr desas-desus cinta sesama mahasantri, desas-desus ini itu, ditambah juga–hal yg biasa terjadi pada akhwat-ngomongin orang alias membuka malu orang lain.

Tau nggak ukh, si Fulanah tuh orangnya nyebelin banget. Pas kemarin aja aku… bla…bla…bla…

Eh, antum belum pada tau ya, akhi Fulan kayaknya suka sama ana. Tadi aja pas berpapasan di kantin. ia membisu-membisu ngelirik ana tahu!

Ih, antum suka ge-er deh. Kan akhi Fulan udah mau merit. Terus akhi Fulan yg bulan kemarin mau dikemanain. Katanya ananda suka pula sama ia.

Terlepas dr semua itu, saya hanya mau bilang; ternyata hak asasi manusia itu eksistensinya masih ada. Ana, antum akhi & ukhti pun ternyata punya hak untuk bisa menikmati perikehidupan orang-orang di luar mereka. Dan emansipasi pula masih berlaku bagi para akhwat yg sudah merasa jenuh dgn yg selama ini mereka jalani.

Udah ah, nanti pembaca menganggap saya provokator lagi. 😀 [Husni Mubarok/wargamasyarakat]

Editor: Pirman Bahagia