Para Pendaki | Cerpen Ken Hanggara

Pendakian ini mungkin tak akan tercatat di buku atau ingatan semua orang. Aku tahu pasti itu sehabis menghirup aroma amis yg ajaib begitu Mudakir menembak seekor harimau kumbang hingga tewas. Padahal tak semestinya kami membunuh atau mencuri apa pun.

Tentu saja Mudakir bisa berdalih. “Kalau tak kutembak mati, kita yg akan mati.”

Aku tak sungguh-sungguh mendengar ucapannya, tapi kalau saja ia masih berada di sini dikala ini, dlm suasana yg benar-benar normal, gue yakin itulah yg berulang kali ia katakan. Mudakir mati tak lama sesudah binatang itu terkapar. Itulah yg kami yakini; ia mati, meski tak ada jasadnya. Mungkin tiga menit setelah penembakan & sempurna dikala aroma anyir itu timbul. Lalu kami terjebak hujan angin selama kurang-lebih dua jam.

Hujan angin yg tak biasa. Hujan angin pada animo yg tak sebaiknya. Sungguh melengkapi firasatku sebelumnya, betapa kami tak mungkin bisa meneruskan pendakian. Bahkan untuk kembali turun ke bawah saat itu pula terasa tak mungkin bagiku. Namun, gue tetap membisu. Aku tak bicara selagi pada umumnya temanku berteriak panik begitu tahu mereka mendapati diri bukan di daerah tadi macan kumbang itu tumbang.

Badai itu surut & kami menyadari berada di bagian lain dr gunung ini; padang ilalang terhampar di kiri-kanan. Tidak tahu apa yg terjadi pada Mudakir, alasannya ia tak ada di sini. Dua rekan pendaki lain pula tak ada di sisi kami & kami berpikir inilah imbas perbuatan melanggar itu. Aturan yg harusnya senantiasa dipatuhi hingga turun ke pos terbawah telah dilanggar Mudakir & kini ketiga rekan kami mungkin sudah mati.

Kami tak bisa berdiam diri & mencari jalan untuk turun. Sebagian besar golongan yg tersisa yg hanya lima orang, tergolong aku, beranggapan mungkin nanti kami akan menemui sobat-teman lain di bawah. Pemandu kami yg tak berkata apa-apa sejak Mudakir menembak harimau kumbang itu lalu menyahut, “Harapan di daerah seperti ini, dlm kondisi macam ini, sungguh mungkin membuatmu gila.”

Aku tak merespon, meski oke. Aku sudah mendengar banyak dongeng pendakian yg gagal, & kecerobohan kecil mampu berakibat fatal. Apa yg Mudakir tadi lakukan adalah langkah-langkah besar. Membunuh seekor harimau kumbang, sesosok hewan dlm hutan di gunung yg terkenal memiliki banyak kisah mistis. Aku sama sekali percaya kami tak akan pulang, tapi tak pernah tahu apa saja yg mungkin kami hadapi nanti.

  Wijil dan Anjing Siluman | Cerpen Angga T. Sanjaya

Kami berjalan menuruni jalur yg sepertinya sudah lama ditinggalkan. Pemandu itu tak bicara sepatah pun. Dan kami pula kehilangan tenaga untuk sekadar berpikir, & tak ada yg mampu kami lakukan selain terus berjalan.

Di suatu titik, kami menemui sebuah sumur. Sumur tua yg dibangun dr batu-kerikil alam, yg tampaknya berumur puluhan tahun. Kami tak yakin. Seorang di antara kami segera menimba air & mengisi beberapa botol & pastinya kami minum. Pemandu itu menolak dikala kutawari.

Katanya, “Minumku masih ada.”

Kami melanjutkan perjalanan menembus kegelapan malam itu, tetapi sepertinya tak ada yg berubah. Suasana sekitar tetap dipenuhi ilalang. Pepohonan gres timbul saat jam memberikan pukul 22.30. Kalau tak terjadi sesuatu yg kutakutkan, perjalanan ke bawah cuma memakan kurang lebih satu jam.

Namun, gue tak terlalu percaya. Pemandu kami pula terlihat pasrah akan segala hal yg mungkin terjadi. Ketiga rekanku terlihat berupaya keras menenangkan diri karena mereka kira kami sudah berada di jalur yg sempurna untuk pulang.

Namun, esoknya tatkala kami menyaksikan cahaya menerangi tenda-tenda kami, tak ada pepohonan di sekitar. Tak ada ilalang. Yang ada justru watu-batu besar seukuran perahu nelayan, entah berapa ratus, yg tersebar di segala penjuru. Kami ketakutan, sehingga menciptakan pemandu itu marah.

“Seharusnya kalian tinggalkan sahabat kalian yg besar kepala itu. Kalau dikala ini selamat, usulan saya jangan pernah mengajak siapa pun, kecuali kalian yakin orang itu bukan jenis badung mirip tukang tembak itu!”

Beruntunglah, dlm kondisi perut lapar, kami menemukan buah-buahan liar yg mampu disantap. Aku & seorang teman tahu lantaran kami pernah mengkonsumsi buah ini di desa dikala kecil dulu. Pemandu itu pula melahap buah-buahan itu, namun ia terlihat begitu pucat & lelah. Bibirnya bahkan terlihat berdarah.

“Sepertinya kamu tak minum sejak kemarin,” kataku padanya.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Aku pengamat yg baik.”

Aku memang mengamati pemandu itu semenjak awal, terlebih setelah topan itu tiba & membuat kami kehilangan arah. Ia mengaku masih menyimpan air minum, namun gue tak pula melihatnya meminum apa pun. Akhirnya kami memperoleh sumber air yg tak terlalu jernih di sebuah turunan yg agak landai & mengisi botol-botol kosong. Botol lain di ransel sahabat-temanku masih terisi penuh dgn air sumur semalam & mereka lebih menentukan air sumur itu dibandingkan dengan air dr sumber yg tak terlalu jernih. Si pemandu tak berkata apa-apa ketika seorang teman meledek air yg ia minum itu tidak mengecewakan kotor.

  Ranting Itu Belum Rapuh | Cerpen Yohanes Joni Liwu

Kami tiba di sebuah belokan saat hari sudah agak sore. Di situ ada suatu pondok kayu yg sungguh terawat. Teman-sobat bersorak bahagia. Pemandu itu, pastinya, tak bereaksi apa-apa sebagaimana saya. Tampaknya kami berdua sepemikiran dlm soal sesuatu yg semestinya pantas kami peroleh.

Maksudku, Mudakir yg pula penggalan dr kami, terperinci-terangan melanggar aturan & kami kehilangan arah semenjak itu. Apa yg bisa kami harapkan, sekalipun dengan-cara tak sengaja mendapatkan sumur tua dgn air yg sangat jernih & sebuah pondok di tengah hutan yg kemungkinan dihuni seseorang?

Aku tak terlalu percaya dikala rekanku menganjurkan kami tidur saja di teras pondok itu; kami tak bisa mendapatkan pemilik pondok atau seorang pun, meski sudah berteriak & mengundang dgn segala jenis cara. Pemandu itu pula tak yakin. Kali ini ia berkata, “Saya akan terus berjalan. Ada yg tak beres di pondok ini.”

“Kamu sudah gila ya?!” bantah temanku. “Kami sungguh letih & butuh istirahat. Setidaknya beberapa jam. Lagipula pemilik tempat ini pastilah memahami. Kita tak perlu izin untuk minta derma!”

“Terserah kalian.” Pemandu itu melangkah membelakangi kami.

Aku tak suka atas kejadian ini, tapi gue lebih percaya pada pemandu itu. Akhirnya kami berdua tak tidur di pondok itu, namun di tengah hutan, agak jauh dr pondok daerah ketiga temanku istirahat.

Esoknya kami melanjutkan perjalanan lagi. Tak ada sesuatu yg terjadi. Aku pula tak memperoleh perbedaan dr tempat yg kami pakai untuk bermalam, termasuk pondok itu. Teman-temanku terlihat biasa saja & mereka tak bercerita apa-apa ihwal pondok itu. Entah berapa jam kami berjalan pagi itu.

Entah berapa jam kami tak makan. Tatkala seekor kijang tampak sekian puluh meter di depan, terlihat hening seolah tak menyadari keberadaan kami, seorang temanku terpengaruhi untuk menembak.

Tentu si pemandu melarang.

“Apa yg akan kaulakukan he?!” bantah temanku itu. “Kita di sini butuh makan & tak ada apa pun yg bisa kita makan selain kijang itu!”

Perdebatan terjadi, tapi meski bunyi pertengkaran mereka lumayan lantang, tak ada reaksi apa pun dr kijang itu. Seakan-akan kami berada di kawasan yg sangat jauh darinya.

  Guru Ngaji Pergi Haji | Cerpen Zaenal Radar T

Firasatku menguat. Kulihat di tenggara sana, tak jauh dr titik si kijang sedang asyik memamah rumput, terhampar padang ilalang sejauh mata memandang. Padang ilalang yg terasa, entah bagaimana, tak asing.

Aku merinding. Aku mungkin sudah pasrah, namun sungguh tak tahu apa yg bakal terjadi pada kami sesudah terjebak selamanya di tempat macam ini. Aku tak peduli meski sahabat-sahabat mencegahku berlari menjemput kijang itu. Aku tak peduli bahkan meski mereka risikonya terpaksa menembakku demi tak membuat kesalahan lain.

Tapi tak ada yg tertembak hari itu. Bahkan tak ada peluru melesat hingga tahun-tahun mendatang yg kualami dlm keabsurdan & kesialan tanpa batas. Sebab tak ada yg menghentikanku berlari menjemput kijang yg terlihat hening itu. Hatiku tak henti berkata, “Menyingkirlah, kijang sialan! Menyingkir kamu dr hadapanku!”

Kijang itu tetap tenang di sana, tetap memamah, meski kemudian kutabrakkan diri padanya. Aneh, tak ada yg jatuh terguling. Tak ada kericuhan. Teman-temanku di belakang sana secara tiba-tiba bungkam setelah berteriak tiada henti, menduga gue menggila & akan berbuat sesuatu pada kijang itu.

Kenyataannya memang gue menggila, namun bukan untuk melukai si kijang dgn belati dlm ranselku. Aku menggila karena anutan logisku berkata, tak mungkin ia, si kijang sial itu, tetap tenang, padahal sebaiknya ia tak setuli itu. Apakah ada seekor kijang yg dilahirkan tuli?

Tabrakan itu tak menciptakan apa-apa. Kijang & gue sama-sama tak terjatuh. Aku merasa menembus tubuhnya & semua temanku terkesima melihat itu. Si pemandu malah tertawa terbahak-bahak. Kami melanjutkan perjalanan dgn putus asa. Padang ilalang itu terlihat sama, karena mungkin saja itu padang ilalang yg sudah kami lihat pada permulaan ketersesatan. Hanya, kami tak mendapatkan sumur bau tanah itu lagi. Kami pula tak memperoleh sumber air apa pun. Sisa air terakhir dlm botol terpaksa kami buang sebab ternyata itu menjelma darah.

Kata pemandu kami, “Itu bahkan tak pernah berubah. Sejak permulaan itu sudah darah.”

“Kenapa kau tak mencegah kami?” tanya salah satu temanku dgn menangis.

Pemandu itu lagi-lagi tertawa dgn aneh. Sejenis tawa yg hanya akan timbul tatkala kamu kehilangan nalar sehat. (*)