Pantura | Cerpen Danarto


Oleh: Danarto


Sungguh saya tak pula mengetahui kenapa cuaca menjadi sekacau ini padahal matahari tetap terbit di timur & tenggelam di barat. Banjir masih pula melanda Pati, Jawa Tengah, meski sudah dua minggu, air tak pula surut. Sementara di Riau & Jambi, hutan terbakar. Tapi apa peduliku, sedang cuaca pula tidak ingin tahu apa keinginan-keinginanku. Sebaiknya saya terus mengayuh rakit batang pisang ini, dr Pati ke Rembang, untuk menemui Kiai Zaim Zaman, barangkali beliau mau menolong kami menanggulangi kesurupan massal yg melanda pesantren di desa kami. Saya melalui antrean kendaraan yg macet sepanjang 24 km yg terdiri dr truk, kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat pribadi, kontainer, bus, maupun motor sebab tak bisa menembus banjir.

Air banjir setinggi satu setengah hingga dua meter mengganyang seluruh kawasan yg sungguh luas, sawah-sawah yg siap panen, perumahan, perkebunan, tambak, kolam ikan, & pertokoan, mencakup kota-kota Demak, Kudus, Rembang, Pati, Jepara, Juwana, Tuban. Tapi, apa Kiai Zaman sendiri tak repot? Beliau pasti pula sungguh diperlukan oleh pesantrennya yg pula dilanda banjir.

Saya mengayuh rakit menerjang sawah siap panen yg karam yg airnya semakin tinggi. Sejumlah rakit dr batang pisang maupun bambu terlihat berseliweran. Para penumpangnya yg saling kenal berteriak-teriak bertegur sapa. Terdengar gelak-tawa seolah tak peduli akan kesulitan hidup yg sedang dirundung. Mendadak mendung tiba menyergap disusul hujan lebat. Subhanallah. Saya yg satu ahad kehujanan terus, rasanya tubuh bertambah ringan tapi dinginnya minta ampun. Tubuh saya menggigil & saya sudah tak tahu jalan. Gelap gulita. Apa akhir zaman seperti ini? Geledek bersahutan mirip dihamburkan dr langit yg menciptakan saya tiarap gemetaran. Rasanya tubuh ini beku.

Halilintar menyilet langit memberi jalan rasa bersalah pada rakit saya. Mendadak laju rakit ini terhenti. Agaknya tersangkut sesuatu. Saya menanti halilintar untuk mengantarsinar, tetapi tak kunjung timbul. Wahai, cahaya perak, cahaya perak. Saya meraba-raba apa gerangan yg menimbulkan rakit saya terhenti. Masya Allah, saya meraba tubuh orang. Cepat-cepat saya singkirkan tubuh itu dgn galah lalu saya menghindar dr tempat itu. Saya kian menggigil. Tentu ada saja yg menjadi korban dr tragedi yg besar ini mungkin tidak sedikit jumlahnya. Sawah siap panen yg karam pasti menelan lebih banyak lagi korban. Ibu, ayah, & bawah umur, pula nenek-kakek, cucu, cicit, ke mana mengungsi bila seluruh daerah yg sangat luas ditelan banjir yg rasanya kian tinggi ditambah oleh deras hujan.

Di dusun tak ada bangunan yg tinggi tempat mengungsi. Hanya bukit yg cukup sulit didaki sebab licin & terjal. Kebanyakan warga tetap di rumah masing-masing dgn bertengger di atap dgn payung atau lembaran plastik untuk menahan hujan.

  Musim Politik | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

”Kalau ibumu ini mati,” kata ibu yg duduk di atap rumah dgn memegangi payung dlm hujan lebat, ”Cepat kuburkan.”

”Ah, ibu kok ngomong begitu,” sergah saya sambil memeluk tubuhnya yg gemetaran kedinginan.

”Jaga adik-adikmu.”

”Ibu saja yg mempertahankan adik-adik. Saya mau cari nafkah di Jakarta.”

”Tega ananda meninggalkan adik-adikmu.”

”Saya mau cari duit yg banyak untuk ibu & sekolah adik-adik.”

Di atas atap dapur, ayah memeluk kedua adik saya yg lembap kuyup karena tak terlindung dr hujan. Yang saya takutkan kalau tiba-tiba ibu atau ayah meninggal. Maka tatkala banjir surut, kakak yg menetap di Jakarta memboyong ibu, ayah, & kedua adik ke Jakarta. Ditinggalkannya saya sendirian di dusun untuk menjaga rumah. Tapi mereka tak betah di Jakarta. Terlalu bising, katanya. Lalu boyongan kembali ke desa, meski senantiasa kelemahan tetapi cukup senang, katanya.

Kemudian abang membangun rumah bertingkat untuk kami menghadapi banjir. Benar saja. Banjir yg lebih besar kali ini tiba, ditambah 25 santri putri yg kesurupan diungsikan di rumah bertingkat kami. Alhamdulillah. Banyak jalan yg Allah bimbing supaya bangunan itu bermanfaat bagi sesama. Masalahnya kini adalah bagaimana bisa menemui Kiai Zaim Zaman & di mana dia berada jika di pesantrennya tak ditemui sementara di mana-mana, sejauh mata memandang, air, air, air melulu yg tampak.

Tiba-tiba rakit mentok, hingga saya terjatuh. Kembali saya meraba-raba apa gerangan yg menyebabkan rakit ini berhenti. Ternyata tangan saya menyentuh tembok. Bangunan apa gerangan? Kembali kilat merobek udara. Sekilas terlihat bangunan putih ini masjid. Barangkali saya bisa mencapai atapnya agar saya bisa tidur & tak terlalu kedinginan.

Pagi harinya masjid itu terkatung-katung di danau yg luas dgn saya satu-satunya berada di atapnya. Kadang gelombang menerpa sebab digelontor angin puyuh yg pula mempertajam tetes hujan bagai jarum. Kadang batang-batang padi timbul di permukaan air kemudian kembali tenggelam. Apa yg terjadi sebenarnya? Siang harinya panas sungguh teriknya. Sambil berayun-ayun dimainkan oleh kantuk, di atap masjid itu tak hanya baju, tubuh saya pula mengering. Di tengah sawah yg sudah jadi danau ini, alur mana (?) saya tak lagi mengenal peta.

Di mana Pati, di mana Rembang, kedua kota itu mengingatkan saya akan hubungan rumah saya dgn rumah Kiai Zaim Zaman yg berada di tengah pesantrennya, di mana para santri, putra maupun putri, berseliweran berlarian, bermain maupun berdebat soal jodoh, pula Tuhan, yg menciptakan saya selalu kangen untuk mengunjunginya. Rumah tertutup pohon mangga yg sungguh rindang, manalagi, nama yg mengingatkan orang sehabis menikmati suatu lalu minta lagi, cantik dr akarnya. Seorang kiai dgn pohon mangga yg lebat buahnya, merupakan perpaduan yg elok, dlm ukuran apa pun.

  Kain Batik Ibu | Cerpen Rahmy Madina

Karena panas tak tertahankan, saya mencari jalan turun ke dlm masjid. Meski sungguh kesukaran, saya sukses masuk ke ruang salat. Dua rakaat saya selesaikan setelah berwudu air banjir, saya tertidur tanpa diawali kantuk. Cukup lelap & tak terusik oleh mimpi. Waktu berdiri, saya kaget bukan alang kepalang, Kiai Zaim Zaman berzikir di sisi saya. Saya berdiri dgn sigap, mencium tangannya, menanyakan kesehatannya, meminta doa, berupaya sebaik-baiknya untuk tak kentara baru bangun dr tidur.

”Saya mendengar panggilanmu bertalu-talu,” kata Kiai Zaman hampir-nyaris berbisik, ”Maka cepat-cepat saya menemuimu.”

”Subhanallah,” seru saya.

”Saya sudah bertemu dgn dua puluh lima orang santri putri yg kesurupan itu di rumahmu & mereka sudah baik kembali.”

”Subhanallah.”

”Orang-orang modern bisa pula kesurupan, ya.”

”Subhanallah.”

”Salamualaikum,“ kata Kiai sambil ngeloyor pergi.

”Pak Kiai,” seru saya sambil memburu dia, ada hal-hal yg perlu saya tanyakan.

Di luar, Kiai Zaman berjalan di atas air tanpa mempedulikan panggilan saya, menjauh. Di dlm hati saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas semua kebaikan Kiai yg mumpuni ini. Kapan seorang awam seperti saya bisa membalas kebaikannya & jasa-jasanya dgn segala kesanggupan yg ikhlas mirip selembar sajadah pada sebongkah kepala yg sujud di atasnya. Semoga berkah Allah senantiasa mengayomi Kiai Zaim Zaman sekeluarga bebuyutan. Betapa seandainya kita punya banyak kiai seperti ia, tangan yg dua lengan itu, kaki yg dua jenjang itu, sementara di luar sana, orang-orang berteriak meminta tolong, banyak sekali, ya, banyak sekali.

Ketika saya kembali ke dalam, di depan mihrab saya jumpai bertumpuk-tumpuk duit yg aneka macam. Rasanya saya kian banyak utang pada Kiai ini, dr imbalan yg bisa disentuh tangan hingga berkah yg tak aktual, orang-orang pernah berduyun-duyun menemui saya dgn seluruh permintaan yg bisa diucapkan lisan:

”Saya bukan Kiai Zaim Zaman,” teriak saya tatkala itu pada orang-orang itu, ”Saya cuma orang yg kepengin mirip ia.”

Pagi hari tatkala matahari kencar-kencar & mendung hitam sedang mengincar, saya mendayung rakit batang pisang ini meninggalkan masjid yg sudah memberi pelajaran banyak pada saya dgn bertumpuk-tumpuk lembaran uang di atasnya. Saya mendayung kembali ke Pati dgn arah apa pun, ke sebuah dusun yg sunyi, pada ibu, ayah, & kedua adik saya, yg boleh jadi terus menanti dgn harap-harap khawatir.

Kembali rakit saya terhadang oleh antrean truk yg sungguh panjang dlm kemacetan oleh banjir yg masih setinggi dada orang remaja. Tetap betah pula sopir-sopir & kenek-kenek itu melantunkan bagian-kepingan lagu meningkahi irama dangdut yg tak kunjung padam. Bahkan yg beradu bidak-bidak catur sambil berendam dgn papan caturnya yg berayun-ayun oleh riak air yg dihembus angin atau sengaja diaduk-aduk oleh sejawatnya yg senantiasa mengganggu, diiringi ha ha ha he he he & olok-olok yg diuleg sepedas mungkin sehingga banjir itu tambah tepat mengharu-biru.

  Sampan Zulaiha | Cerpen Hasan Al Banna

Ketika para sopir & kenek itu menyaksikan gepokan lembaran uang yg bertumpuk-tumpuk di atas rakit saya itu, saya pasrah setulus mungkin.

”Ya, Allah, semuanya ini milik-Mu,” doa saya.

Seorang sopir mengambil segepok duit itu & menimpukkannya ke arah temannya sambil mencemooh, ”Lo ambil! Lo yg mata duitan! Ha ha ha!”

Teman yg kena timpuk itu melempar duit itu ke teman yg lain sambil berteriak, ”Gue ude konglomerat. Lo aja ambil yg masih kere!”

Akhirnya semua sopir & kenek itu berebut duit di atas rakit saya & saling timpuk-menimpuk sejadi-risikonya. Keadaan jadi semrawut & meriah. Penuh lawakan & semprotan kata-kata konyol. Tentu banyak gepokan uang itu yg jatuh ke dlm air & tenggelam.

”Ya, Allah, bukakan mata mereka. Itu duit beneran & mereka boleh merebutnya,” doa saya dgn kenceng.

Anehnya para sopir & kenek itu, subhanallah, menyelam & menyelamatkan seluruh duit yg karam & mengembalikannya di atas rakit saya. Lalu mereka mendorong rakit agar saya meneruskan perjalanan. Saya terkesima. Seperti mati berdiri. Bagaimana mungkin mereka tak menyadari, uang yg saya bawa itu uang sungguhan. Bukan duit mainan. Masya Allah. Tuhan punya planning.

Sesampai di rumah, ibu, ayah, kedua adik saya, & para santri dgn sejumlah ustadnya yg masih menginap menyambut saya dgn sukacita.

Ketika ibu mengenali saya menjinjing uang yg bukan main banyaknya itu, menyuruh saya membuang seluruh duit itu dgn mendorong rakit menjauh dr rumah. Menurut ibu, itu uang haram yg belum tentu dr Kiai Zaim Zaman. Dalam hati saya menyesal, kenapa saya tak menyembunyikan segepok dua di dlm baju saya.

Malam harinya saya tak mampu tidur alasannya adalah perut keroncongan. Persediaan kuliner habis sementara jumlah orang yg menginap di rumah bertambah setiap harinya. Dengan sebungkus mi-instan yg dibagi dua orang, semakin kentara kami butuh tunjangan yg tak kunjung tiba.

Pagi harinya kami dikagetkan oleh teriakan ibu, ”Rakit itu kembali ke tempat tinggal!” yg disambut seisi rumah dgn kagum.

Ini artinya bergepok-gepok duit itu kembali ke tangan kami. Subhanallah.

Tangerang, 14 Februari 2008