Pak Sakur Penjual Kasur | Cerpen Sulistiyo Suparno


Pak Sakur menuntun sepeda merah kesayangan yg sudah pudar warnanya. Di boncengan terdapat gulungan kasur kapuk yg diikat tali pecahan ban dalam. Siang itu panas. Peluh meleleh di wajah Pak Sakur, tetapi ia tak mengeluh. Pak Sakur terus menuntun sepeda. Tatkala menyaksikan sebuah pohon rindang, Pak Sakur berhenti & beristirahat.

Pak Sakur membuka rantang berisi nasi & dua potong tempe goreng. Ia akan makan siang. Pada saat itu lewatlah seorang laki-laki renta gelandangan berpakaian lusuh. Lelaki renta itu memandang Pak Sakur yg bersiap untuk makan siang.

“Bapak lapar?” tanya Pak Sakur.

Gelandangan itu mengangguk.

“Mari sini. Kita makan bareng ,” ajak Pak Sakur.

Gelandangan itu bergegas mendekat. Mereka pun makan bersama.

“Terima kasih. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki untukmu, Pak,” kata si gelandangan usai makan.

“Amin. Sekarang Bapak mau ke mana?” sahut Pak Sakur.

Gelandangan itu menggelengkan kepala.

“Tidak tahu. Bapak beruntung punya pekerjaan. Sementara saya tidak punya pekerjaan. Saya tak tahu hendak ke mana. Selamat tinggal, Pak,” kata si gelandangan lalu pergi.

Pak Sakur terharu menatap kepergian gelandangan itu. Benar kata si gelandangan, Pak Sakur mujur masih punya pekerjaan, meski cuma sebagai penjual kasur kapuk keliling.

Terdengar bunyi azan dr kejauhan. Pak Sakur meninggalkan pohon rindang itu. Ia hendak mencari masjid atau musala untuk menunaikan salat zuhur. Pak Sakur menuntun sepedanya. Ia tak mampu untuk mengayuh sepeda karena sudah renta, tenaganya sudah berkurang.

*****


Pak Sakur telah berjualan kasur kapuk keliling sejak muda. Dulu, ia bisa mengayuh sepeda bermuatan kasur kapuk, menjelajahi kampung-kampung, bahkan hingga ke kota.

  Puisi Elegi Pagi - Oleh Hermin Veronika

Dulu, Pak Sakur bisa memasarkan tiga kasur kapuk tiap hari, bahkan pernah hingga lima kasur terjual dlm sehari. Bila satu kasur terjual, Pak Sakur bergegas mengayuh sepedanya pulang untuk mengambil kasur lagi, lalu pergi lagi mencari pembeli. Dulu, ah, dulu begitu mudah menjual kasur kapuk.

Sekarang zaman berubah. Dalam sepekan belum tentu terjual satu kasur kapuk. Orang-orang lebih memilih membeli spring bed.

“Sudah sepuluh hari gue berkeliling, mudah-mudahan hari ini ada yg membeli kasurku,” Pak Sakur berharap.

Pak Sakur berhenti di suatu musala untuk menunaikan salat zuhur. Usai salat, Pak Sakur kembali menuntun sepedanya. Di perjalanan, Pak Sakur melintas di depan toko Mebel Hasan. Banyak spring bed di toko itu.

Seorang lelaki paruh baya berwajah Arab timbul dr dlm toko furnituritu, mengundang Pak Sakur.

“Pak Sakur. Sini, Pak!”

“Ada apa, Pak Hasan?” sahut Pak Sakur.

“Saya beli kasur kapuk Pak Sakur,” kata Pak Hasan, pemilik toko mebel.

“Bukankah di toko Pak Hasan banyak spring bed? Mengapa berbelanja kasur kapuk saya?” tanya Pak Sakur.

“Ibu saya yg minta. Ibu saya sudah tua, tak bisa tidur di spring bed. Tubuhnya jadi pegal,” katanya. “Ibu saya minta dibelikan kasur kapuk,” jawab Pak Hasan.

“Oh, begitu? Silakan, Pak. Ini kasur dgn kapuk mutu super,” sahut Pak Sakur. Ia bersyukur dagangannya laku.

Usai berbelanja kasur itu, Pak Hasan berkata, “Sebetulnya ada beberapa calon pembeli yg menanyakan kasur kapuk, tapi saya tidak punya. Bagaimana jika Pak Sakur berdagang kasur kapuk di sini saja?”

“Maksud Pak Hasan bagaimana?” tanya Pak Sakur.

“Saya akan menyediakan ruangan khusus untuk kasur kapuk di toko saya. Pak Sakur yg jaga. Pak Sakur tak perlu keliling kampung lagi. Bagaimana?”

  Definition of Social Differentiation

“Apa saya harus menyewa ruangan di toko Pak Hasan?” tanya Pak Sakur.

“Tak perlu bayar, Pak. Gratis.”

“Serius, Pak?” tanya Pak Sakur.

“Serius. Mulai besok, ya, Pak?” sahut Pak Hasan.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Terima kasih,” Pak Sakur mencium tangan Pak Hasan berkali-kali.

Pak Sakur secepatnya pulang. Ia mengayuh sepedanya dgn wajah berseri-seri. Pak Sakur sudah tak sabar ingin hingga rumah, untuk mengabarkan kabar gembira ini pada istri & anak-anaknya.