close

Pak Kodir | Cerpen Ken Hanggara


Oleh: Ken Hanggara


Orang-orang berkumpul di masjid pagi itu, menonton spesialis ibadah sedang berada dlm posisi sujud selama lebih dr satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat… Orang memanggilnya Pak Kodir. Sehari-hari jualan soto di pertigaan & semua orang kenal soto ayamnya yg lezat. Kaprikornus, tatkala kabar ini merebak, orang-orang pun berpikir, “Siapa yg jual soto seenak itu lagi, ya?

Meninggalnya Pak Kodir segera jadi kabar yg melesat ke segala arah. Tidak ada yg bicara keburukan; semua kenal ia baik & suka memberi makan gelandangan, pengemis, atau sesekali orang gila. Siapa pun mampir ke warungnya, tetapi tak bawa uang, tak perlu khawatir, karena Pak Kodir bakal memberi seporsi gratis buat Anda (kalau mau lebih pula boleh). Meski begitu, sotonya laris cantik & beliau tak pernah rugi.

Memberi makan orang sebanyak itu, kalau saya, wah…, ya rugi!” kata Pak Mudakir, pedagang gulai kambing yg warungnya berdiri persis di seberang warung Pak Kodir.

Tapi, memang dasarnya Pak Kodir baik, langkah-langkah ini bukan dilema. Beliau senang lantaran mampu menghangatkan perut orang.

Perut hangat yakni pecahan dr kehidupan, meski kita tak disuruh untuk hidup dgn membuat kenyang diri. Maksudnya, makan secukupnya, asal perut kita ini hangat. Dengan demikian, kehidupan berjalan tanpa gangguan,” begitu kata beliau semasa hidup.

Pak Kodir meyakini, hidup bukan untuk makan, tetapi makanlah untuk hidup. Jadi, dia senang melihat sesama makhluk hidup bisa bertahan hidup & tak kelaparan. Dengan begitu, mereka yg tak kelaparan itu mempunyai tenaga untuk beribadah. Pak Kodir kadang kala membagikan beberapa mangkuk sotonya gratis. Pernah pula satu hari hanya laku beberapa mangkuk, sisanya tandas oleh mereka yg tak berduit, & dia pulang dgn senyum mengembang.

*****

Orang tak heran Pak Kodir mampu berbuat sebaik ini, tanpa ada yg protes. Istri sudah meninggal beberapa tahun kemudian. Anak-anak? Beliau tak pernah punya anak. Satu kali menikah, satu kali perpisahan karena akhir hayat; itulah kisah asmara Pak Kodir yg tak mencintai dunia dengan-cara berlebih. Ia hanya bahagia hidup di dunia ini lantaran di sini ia mampu membuatkan.

Begitu hafalnya watak orang akan adab hampir malaikat dr Pak Kodir maka tak jarang orang memanfaatkannya. Pelanggan soto kadang sengaja tiba tak membawa dompet. Begitu selesai makan, beralasan, “Waduh, Pak, dompet ketinggalan, nih!

  Gema Takbir Masih Kudengar | Cerpen Pipiet Senja

Dan, Pak Kodir pun melambaikan tangan, “Santai. Berarti itu rezekimu.

Kadang-kadang ada pula yg malah dengan-cara eksklusif, tanpa sungkan, menadahkan tangan meminta dua piring nasi soto karena sangat kelaparan. Pak Kodir pun melayani orang seperti ini sebagaimana ia melayani mereka yg mengeluarkan uang. Beliau memang tak pernah pandang bulu.

Banyak penjual seperti Mudakir yg heran & tak habis pikir; bagaimana bisa ada penjual seperti Pak Kodir ini? Berjualan ialah cara mereka menyambung hidup, tetapi berjualan cara Pak Kodir seperti tak masuk akal. Lagi pula, satu-satunya rezeki ia cuma dr jualan soto.

Beda kalau Pak Kodir jualan apa gitu di rumahnya, selain soto di warung dekat pertigaan itu,” kata seseorang.

Dan, beda lagi kalau punya bisnis jualan baju gaul via online,” kata yg lain.

Begitu banyak asumsi bahwa Pak Kodir mungkin punya pesugihan di rumahnya sehingga uangnya senantiasa saja ada & rezekinya seperti mengalir tiada henti. Mungkin ia membagi soto dengan-cara serampangan semoga semua orang menganggapnya orang baik, padahal aslinya bejat & senang pergi ke dukun.

Dugaan ini, sayang sekali, tak pernah terbukti. Setiap hari Pak Kodir selalu ke masjid. Tidak ada yg pergi ke masjid sesering beliau. Beliau berjualan soto dr jam delapan pagi hingga jam dua siang. Dan sisa waktu itu, lebih banyak beliau habiskan di masjid. Beliau berada lebih usang di rumah apabila sedang tidur atau mengolah masakan soto pada dini hari sebelum azan Subuh. Masjid mirip rumah kedua. Ia pula senantiasa mengaji & kadang kala menjadi imam salat. Tidak ada ciri orang suka pergi ke dukun pada diri Pak Kodir.

Orang sebaiknya tahu, rezeki ini datang dr Allah. Diturunkan dr langit, & keluar dr perut bumi. Semua yg kita lakukan, semua yg kita doakan, senantiasa ada balasan yg setimpal,” kata Pak Kodir, bila ada yg bercerita bagaimana orang-orang curiga ia memiliki pesugihan. Pak Kodir tertawa & istighfar beberapa kali.

*****

Tentu saja, penjual soto ini tak pakai cara salah. Ia berjualan soto mirip biasa; hanya saja orang tak tahu tatkala setiap kali semangkuk soto yg beliau bagikan pada semua orang selalu kembali 10 kali lipat dr nilai keuntungan semangkuknya.

  Buron | Cerpen Adam Yudhistira

Misal, suatu pagi seorang ibu-ibu turun dr mobil & memesan sebungkus soto ayam untuk menyambut calon menantu. Katakanlah ibu tersebut melaksanakan ini darurat. Ibu ini mengeluarkan uang dgn uang lebih besar & pergi sehabis menyampaikan terima kasih berkali-kali lantaran soto Pak Kodir menolongnya keluar dr suasana malu.

Atau, pernah pula begini: Pak Kodir memberi makan bocah pengamen, lalu anak itu bercerita ke semua orang hingga sampailah cerita kebaikan pedagang soto pada seorang pemilik rental kendaraan beroda empat. Orang itu kemudian berbelanja soto dia & mencicipi sotonya sungguh enak. Ia katakan pada sahabat-temannya, “Soto ayam di erat pertigaan itu enak banget. Cobain saja.

Lalu, berbondong-bondonglah beberapa hari kemudian, orang-orang yg diketahui selaku sobat pemilik rental kendaraan beroda empat. Karena sotonya enak, mereka memaksa Pak Kodir menerima bayaran lebih besar.

Soto ini mengingatkan masa muda saya,” kata salah seorang.

Soto ini memberi saya ide bagaimana jadi pengusaha baik yg erat dgn Tuhannya,” kata orang kedua.

Begitulah cara “ajaib” yg Tuhan tunjukkan demi membalas kebaikan seorang Pak Kodir.

Pak Kodir sendiri tak pernah berharap balasan mendadak seperti ini & beliau memberi makan orang cuma untuk membahagiakan sesama. Uang itu akan beliau olah lagi menjadi soto & sebagian ditabungnya untuk sebuah rencana besar: membangun satu masjid di erat kawasan tinggalnya sebab masjid yg biasa ia tempati untuk shalat & mengaji sudah begitu bau tanah & nyaris roboh. Tidak ada yg inisiatif merenovasi atau apalah.

Niat ini tak pernah terucapkan, kecuali ditulis di sehelai kertas di dlm dompet Pak Kodir. Tatkala beliau meninggal & di sakunya didapatkan dompet tersebut, orang menilik isinya & ketahuanlah niat membangun masjid dr tabungan yg dipunyai selama ini.

*****

Pagi itu menjadi pagi paling mengharukan; kematian Pak Kodir membuat banyak orang kehilangan & di kepala mereka terbayang masjid baru yg pernah dimimpikan seorang penjual soto. Sebuah masjid dgn kubah putih berkilau, yg di dalamnya selalu sarat orang-orang beribadah & berdoa.

  Muhallil | Cerpen Fathurrofiq

Aku sendiri ikut mengurus mayat Pak Kodir yg bertubuh tidak mengecewakan gendut, tetapi beliau tak terasa berat. Ringan seakan menggotong beberapa keping kayu bakar yg kering. Mudakir pula mengakui itu & sadar fenomena macam ini berafiliasi dgn perbuatan baik insan semasa hidup. Ia menangis sesenggukan karena dulu berburuk sangka pada Pak Kodir.

Kukira punya pesugihan. Malah pernah pula kukira ia bandar togel atau apalah yg tak halal,” kata Mudakir pada suatu hari. Aku dengar ia berkata itu dgn wajah merah padam.

Sekarang, begitu menangis, Mudakir tak bisa berucap lain selain istighfar.

Tidak butuh waktu lama, sehabis didapatkan mangkat dlm posisi sujud, jasad itu telah diuruk tanah & kerikil nisan sudah tertancap dgn goresan pena: Pak Kodir bin Jaelani. Di bawah ada tanggal lahir & tanggal beliau wafat. Ditulis dengan-cara sederhana, dgn torehan abjad agak berantakan karena yg menulis itu tak kuat menahan tangisnya. Padahal, ia dianggap paling tegar karena semua yg di sana tak bisa menulis lebih baik. Orang-orang gemetar begitu hebatnya, hingga ada yg tak kuat berdiri.

Siapa yg jual soto seenak itu lagi, ya?

Pertanyaan itu kembali terngiang selama tujuh hari berturut-turut sehabis kematian Pak Kodir. Aku konsumen soto ayamnya. Tetapi, tak pernah berbohong dgn bilang dompetku ketinggalan atau dijambret orang. Aku bawa uang & membayar soto seperti sewajarnya. Aku tak protes kenapa Pak Kodir sering memberi orang yg tak diketahui masakan. Bahkan, anak jalanan yg berkelompok kadang menjinjing sobat mereka untuk turut makan.

Aku cuma berkata, “Bagaimana menata niat itu, Pak?

Selalu, Pak Kodir menjawabnya dgn kalem, “Kita punya rahasia dgn Allah. ia Mahatahu & kita tak tahu apa-apa, kan? ia sudah tahu apa yg kita niatkan & lakukan apa yg menurut Nak Toni baik. Niat tak perlu diumbar, yg penting menghasilkan kebaikan buat orang sekitar. Saya kira, itulah cara menata niat. Saya tak tahu cara menjelaskannya lebih detail. Maklum, bukan orang pinter.” Ah,begitulah engkau, Pak…. (*)

Gempol, 13 April 2016

Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, & esai. Karya-karyanya terbit di aneka macam media setempat & nasional.