close

Pagi Bening | Cerpen Isbedi Stiawan Zs

Oleh: Isbedi Stiawan Zs


MINGGU tersenyum. Pagi yg bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yg mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.

Kau melongo di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yg kausaksikan dr dunia-kecil & kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke dlm pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak memandang masalalu-masadepan. Kosong. Di belahan tembok. Mengintip moncong senapan. Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: satu lagi, seratus lagi. Korban jatuh.

Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tampan. Tangannya meraih. Menjabat seluruh dunia. Menabur pundi-pundi uang. Dermawan kamu Ah, tidak. Kau pemangsa. Nyawa melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-badan kemudian jadi kaku.

Sudah berapa ajal di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup bahu-membahu. Aku, kau, kalian, mereka, & kita semua mabuk. Bawa kemari rencong-rencong itu. Akan kukibarkan selaku bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut para tentara.

Ah, tidak. Rencong akan senantiasa kalah cepat dgn senapan. Mereka para tentara itu tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung? Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?

Tuhan senantiasa bersama kami. Melindungi bawah umur kami, wanita-wanita kami, nyawa kami, kampung kami, tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-kebun kami. Rencong kami senantiasa garang untuk melawan!

Dusta! Manalah mungkin kalian mampu melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang jumlahnya, seia & setia setiap ketika untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum waktunya kalian dihabisi. Masih perlu taktik, mengulur-ulur waktu, hingga kalian terlelap dlm kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta kalian pada tanah & air kelahiran ini.

Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga bila menyelesaikan hidup ini dgn tidak berguna, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah habis kesabaran kami tatkala kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami. Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yg kerontang.

  Sebatang Beringin | Cerpen Dody Wardy Manalu

Adakah itu keadilan? Kami yg telah berabad-periode menjaga, menyuburkan, & menyulingnya. Tetapi, risikonya kalian bawa. Kalian yg bergelimang harta, kami yg berkalang luka.

Ke mana & pada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar nestapa kami. Ke mana & pada siapa kami harus melabuhkan sedih? Sedang pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana & pada siapa kami akan menurunkan sauh? Sedang pantai tiada lagi.

Ya!

Siapa yg pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tak menggerakkan daun-daunnya



****** 


MINGGU tersenyum. Pagi yg bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi harimau yg mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.


Kami bayangkan, ahad-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi kebahagiaan kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yg terjadi, ketakutan demi panik menerpa kami. Maut mirip senantiasa mengintip sela kami. Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis mengalir.

Suara dentuman itu. Suara perayaan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami kian panik. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan pada singa yg buas sekali pun. Ketakutan kami cuma pada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami mengabaikan usulan jihad-Nya.

Aku bayangkan tak lagi kudengar

Derap sepatu pula aum tentara

Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami, kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak saja mengancam, menembaki, pula menggagahi perempuan-perempuan kami.

Alangkah nistanya jikalau kami membiarkan kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya sepanjang masa jikalau kami tak melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-acungkan rencong-rencong kami & menusukkan ke perut mereka.

  Tuan Pengemis | Cerpen Diana Wulan Ningrum

Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana yg lebih berguna menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dlm arena perlawanan?

Hidup cuma sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yg zalim?

Teringat kami pada usaha sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati seni manajemen & semangat menegakkan perdamaian. Apa kami mesti lupa pada ghirah suci seperti itu? Tak. Tiada akan pernah.

Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yg bisa mengusir kami dr tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini yg sudah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yg membiarkan basah oleh darah kelahiran kami. Ibu kami yg bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.

Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yg ada di kampung kami.

Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan darah? Kita ada alasannya adalah kita diandalkan sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat bagi dunia & akhirat? katamu satu malam.

Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yg riuh. Hotel-hotel yg gemuruh. Tiada. Sebab jangan kau mengira kami yg meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi itu, di tempat-daerah hiburan itu. Bukan. Kami punya budpekerti yg mesti kami jaga selaku kehormatan.

  Kemarau | Cerpen Andrea Hirata

Tetapi, senantiasa saja & selalu saja, wajah-wajah kami yg tertera di media-media pemberitaan. Dalam bagan-bagan: rekayasa orang-orang yg membenci kami.

Dusta apa ini yg tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yg tengah kalian rancang untuk mengubur abjad kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan kami bahwa kalian tak akan pernah bosan hingga kami mengikuti milah kalian. Demikianlah, kalian coba aneka macam cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami kalah, kami mengikuti kehendak kalian.

Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan senantiasa menebarkan sinar-Nya setiap malam. Matahari akan senantiasa terbit dr dlm jiwa kami, & akan karam di batin kalian.

Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa pun di antara kami mesti ada yg syahid selaku syuhada. Sebab, kami percaya, seribu kami akan terus berlahiran.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah & langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah & langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah & langit ini.


Seperti Muhammad yg menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab hingga ke Eropa & Amerika: semesta.

******

JUMAT tersenyum. Padang yg terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus mengawali menegakkan kembali tiang-tiang keyakinan kami yg nyaris porak oleh dusta & fitnah kalian.