Pagar Bambu | Cerpen Iyut Fitra

Tempat itu dahulu sunyi. Hanya sehamparan padang. Sebidang tanah luas yg ditumbuhi rumput-rumput liar & ilalang. Ada satu dua pohon yg mulai meninggi. Beberapa sudutnya bahkan sudah ada yg dijadikan daerah pembuangan sampah. Lalu, tempat itu dibersihkan, dikapling-kapling, & dijual oleh pemiliknya.

Karena lokasinya tak jauh dr jalan raya, pula sebab harga tanahnya tak terlalu tinggi, berebutanlah orang-orang untuk membelinya. Tak lebih dr sebulan, semua tanah yg sudah dikapling-kapling itu terjual. Hilang hamparan padang, hilang pula rumput & ilalang. Kesunyian kini sudah berganti. Orang-orang mulai membangun.

Pak Maslim yakni pembeli pertama yg langsung membangun rumah di sana. Sebuah rumah sederhana. Cermin dr orang kelas menengah. Bersama istri & seorang anak perempuan yg berusia empat tahun, keluarga itu meninggalkan rumah kontrakan & menempati rumah baru.

“Di sini sepi, Pak,” ujar istrinya di hari-hari pertama.

“Sebentar lagi pula ramai, Bu. Lihatlah orang-orang sudah mulai membangun,” jawab Pak Maslim menghibur istrinya.

“Mudah-mudahan nanti kita mampu tetangga yg baik,” sambung istrinya lagi.

“Ya, mudah-mudahan!”

Sejak itu mereka menyaksikan lokasi tersebut bergeliat. Mobil keluar-masuk. Pasir, watu, seng, semen, besi & lain-lainnya dibongkar dr bak-kolam truk. Tukang sibuk saban hari. Kesepian yg dicemaskan istri Pak Maslim sudah cair. Ada yg membangun rumah sederhana serupa rumah Pak Maslim. Ada yg menegakkan istana glamor nan megah. Pak Maslim yg hanya seorang pegawai negeri rendahan jadi saksi semua itu. Lokasi itu kemudian disebut kompleks.

Di sebelah rumah Pak Maslim pun telah berdiri sebuah rumah. Tetangga yg ditunggu-tunggu oleh istri Pak Maslim. Namanya Pak Tacin. Anaknya baru seorang. Laki-laki. Berusia lima tahun. Rumah Pak Tacin lebih bagus dibanding rumah Pak Maslim. Namun sehabis beberapa hari semenjak mereka bertetangga, mereka belum berkenalan. Entah alasannya adalah Pak Maslim merasa orang lama, orang pertama yg menghuni kompleks itu, berharap Pak Tacinlah yg datang menemuinya. Atau alasannya Pak Tacin merasa lebih kaya & terhormat, maka ia menunggu Pak Maslim yg memulainya. Dua buah alasan yg sama-sama tak jelas.

“Siapa nama tetangga kita, Pak? Mobilnya bagus ya,” ucap Bu Maslim suatu malam.

Pak Maslim hanya membisu.

“Kapan kita berkenalan dgn tetangga sebelah, Pak? Sepertinya mereka baik ya,” ucap Bu Tacin di rumah sebelah, pada malam yg lain.

  Tabung Tawa | Cerpen Ken Hanggara

Seperti Pak Maslim, Pak Tacin pula membisu.

Entah apa yg terjadi. Diam-membisu Pak Maslim & Pak Tacin malah memupuk arogansi di dlm diri masing-masing. Sama-sama tidak mau menegur lebih dulu. Menciptakan dinding yg entah siapa memulainya. Angkuh tak berkejelasan.

Suatu kali, di antara dua rumah yg cuma berbatas pagar bambu yg dulu dibuat Pak Maslim, pagar setinggi pinggang orang cukup umur, sebatas leher anak-anak, dgn cita-cita ia bisa melongok ke rumah tetangga, percik itu semakin menjalar. Saat Pak Tacin masuk ke dlm kendaraan beroda empat hendak berangkat melakukan pekerjaan , dikala itu pula Pak Maslim ke luar dr rumahnya. Tanpa sadar mata mereka beradu. Pandang yg tak sengaja. Entah siapa yg menyiram, mereka tiba-tiba seolah terbakar. Pak Maslim berbalik ke dlm rumah seakan-akan tak mau berjumpa dgn Pak Tacin. Demikian pula, Pak Tacin buru-buru memaksimalkan kaca mobil. Pintu rumah Pak Maslim ditutup dgn hempasan yg keras. Pintu kendaraan beroda empat Pak Tacin ditutup dgn hempasan yg tak kalah keras.

Kali lain, saat mereka mendapati anak mereka sedang bercengkrama dr balik pagar. Anak perempuan Pak Maslim berusia empat tahun. Anak pria Pak Tacin berusia lima tahun. Mungkin mereka tengah bercerita tentang layang-layang. Atau ihwal mencar ilmu bersepeda. Atau wacana Marsya yg usil & beruang yg penyabar. Atau dr mana asal-permintaan pelangi. Atau….Tiba-tiba Pak Maslim & Pak Tacin bergegas membawa anak masing-masing ke dlm rumah dgn tarikan yg berangasan.

“Sudah Bapak bilang jangan main dgn anak sebelah!” ucap Pak Maslim dgn mata melotot ke arah anak perempuannya. Bocah yg belum mengetahui apa-apa. Anak-anak yg sedang butuh sahabat untuk bermain & bercengkrama.

“Jangan mendekati pagar itu!” hardik Pak Tacin pada anak laki-lakinya.

Dua bocah yg tak paham. Mengapa si Bapak melarang mereka untuk bergaul. Bercerita perihal kupu-kupu. Tentang rambut yg dikepang. Tentang main helat-helatan. Tentang apa saja yg merimbuni fantasi dunia kanak-kanak mereka. Mengapa si Bapak melarang mereka, padahal mereka tak pernah berbuat salah, tak pernah berkelahi, tak pernah berkata bergairah. Mengapa?

Sejak itu, Pak Maslim, pula Pak Tacin, bermaksud mendirikan pagar pembatas di antara rumah mereka. Kalau perlu pagar yg sungguh tinggi. Tak ada lagi yg mampu ditolerir. Daripada percik-percik pertikaian membesar menjadi api yg akan mengkremasi, lebih baik semua dijauhi. Dinding tebal harus dibangun. Batas yg tinggi mesti ditegakkan. Tak perlu lagi basa-bau. Tak perlu lagi tetangga. Pak Maslim & Pak Tacin membutakan matanya masing-masing dr berbagai tenggang & rasa.

  Warga Kota Kacang Goreng | Cerpen Adek Alwi

Pak Maslim mulai berbelanja materi-bahan untuk membuat pagar. Pak Tacin pula tak mau ketinggalan. Pak Maslim berbelanja pasir. Pak Tacin memesan semen. Pak Maslim menumpuk batu-kerikil. Pak Tacin melungguk besi-besi. Pak Maslim & Pak Tacin seolah berlomba untuk segera mewujudkan keinginan bahwa mereka tak akan bisa disatukan. Satu merasa lebih lama menghuni kompleks itu, orang yg semestinya lebih patut dihormati. Satu lagi, orang yg merasa lebih kaya, berpangkat, & bermartabat, yg semestinya lebih berhak untuk dihargai.

“Kenapa kita harus memusuhi mereka, Pak?” tanya istri Pak Maslim, heran. “Bukankah mereka tak pernah melaksanakan kesalahan terhadap kita? Kalau mereka kita harapkan datang ke tempat tinggal kita lebih dulu, karena kita orang lama di sini, apakah itu suatu keharusan? Apakah dgn kehadiran mereka ke tempat tinggal kita akan menciptakan diri kita akan berganti? Sudahlah, Pak. Tak perlu dipertajam pertikaian ini!”

Istri Pak Tacin pula tak memahami kenapa suaminya berbuat serupa itu kepada tetangganya.

“Apa yg kita harapkan sebenarnya, Pak? Jabatan, pangkat, kekayaan? Lalu untuk apa itu semua bila ternyata hanya membuat kita bermusuhan dgn semua orang,” kata Bu Tacin berusaha menjelaskan pada suaminya.

Pak Tacin membisu. Matanya terpaku pada layar televisi yg menyiarkan gosip-info rusuh yg berulang. Persilangan-persilangan yg seolah dipelihara. Permusuhan yg diciptakan. Betapa negeri ini seperti dibangun dr tumpukan-tumpukan kebencian.Orang-orang menyiram, memupuk, kemudian pada saatnya akan memetiknya menjadi sebuah perkabungan besar yg akan diderita oleh iringan panjang berjulukan korban. Begitu mahalkah kedamaian?

Hingga pada suatu hari, tatkala matahari gres saja berkemas. Pak Tacin memasuki pekarangan rumah dgn kendaraan beroda empat mewahnya. Setelah berhenti, istri & anaknya turun dr kendaraan beroda empat. Istri Pak Tacin menjinjing banyak bungkusan. Barangkali habis berbelanja. Sedangkan anak laki-laki Pak Tacin membawa dua balon berwarna biru. Balon dgn bentuk & gambar yg lucu. Persis dikala ia akan berlari memasuki rumah, ia menyaksikan anak perempuan Pak Maslim melihat ke arahnya. Ada sorot lain. Sorot ingin bermain. Bermain balon yg dipegang anak Pak Tacin mungkin. Ia terkesima. Pak Tacin memperhatikan semua itu.

  Kebohongan Ustad Baihaqi | Cerpen Hasan Al Banna

“Ayo, masuk!” katanya tegas.

Tapi anak Pak Tacin meronta. Ia berusaha mempesona tangannya yg dipegang oleh Pak Tacin. Matanya tak lepas-lepas dr arah anak Pak Maslim.

“Ayo, masuk!” ulangnya.

Mendengar suara itu Pak Maslim secepatnya keluar dr rumah. Ia melihat anak perempuannya yg bermata bening itu menatap iba ke arah anak Pak Tacin.

“Saya mau bermain balon, Pak,” katanya polos. Lalu menangis.

Mendengar tangis anak Pak Maslim, anak Pak Tacin makin keras meronta sehingga pegangan tangan Pak Tacin lepas. Kemudian Pak Tacin melihat anaknya sudah berlari ke arah pagar bambu. Seraya menghunus suatu balon ke arah anak Pak Maslim ia berkata seraya tersenyum.

“Ke sinilah. Ini buat kamu!”

Anak Pak Maslim bergegas ke pagar. Menerima balon itu. Ia tersenyum. Anak Pak Tacin tersenyum. Keduanya tersenyum. Senyum yg tak pasti harus digambar dgn apa. Senyum yg bantu-membantu lebih layak dimaknai oleh Pak Maslim & Pak Tacin.

Pak Tacin melihat ke arah Pak Maslim. Pak Maslim menatap Pak Tacin dgn rona yg tak biasa. Lalu, entah siapa yg mengawali, keduanya berjalan ke arah pagar bambu itu. Pagar rendah setinggi pinggang orang dewasa & sebatas leher belum dewasa. Pagar bambu yg sangat sederhana. Tempat belum dewasa mereka bertukar senyum. Pak Maslim mengulurkan tangan. Pak Tacin menyambut salam itu.

“Maafkan, mungkin saya salah” ucap Pak Maslim gelagapan.

“O, bukan. Justru sayalah yg salah,” balas Pak Tacin nervous.

Bilah-bilah itu pecah. Rebah. Keduanya bagai dua orang kanak-kanak yg diliputi rasa bersalah. Tiba-tiba seolah ditampar oleh keluguan bawah umur mereka. Balon berwarna biru yg lucu itu sudah membelah keangkuhan. Mengeping-ngeping hati yg dulu berlumut. Tak ada lagi batas. Tak ada lagi dinding. Pak Maslim & Pak Tacin berpelukan. Barangkali mereka tak akan pernah membangun pagar tinggi, kecuali sekadar memperbaiki pagar bambu yg sederhana itu. (*)