DARI tempatnya duduk, mata Ratman menatap ke bawah. Jauh dr pinggiran jalan besar di lereng bukit ini, dusun tempatnya tinggal tampak kecil. “Dusun ini sudah berganti,” gumam Ratman dgn tatapan mata yg nanar.
Zaman sudah menggerus dusun yg ndeso itu menjadi hamparan nirwana bagi pelakon ekonomi. Hamparan sawah & perkebunan palawija, sudah bersalin rupa menjadi pabrik-pabrik.
Tanah yg dulu subur saat mangsa rendeng, & kerap tandus dikala mangsa ketiga itu kini sudah digantikan beton-beton yg mengukuhkan bangunan pabrik. Hamparan hijau persawahan & ladang telah berganti menjadi ladang beton yg terhampar luas. Beton yg kelabu. Ditambah cerobong asap yg menjulang memuntahkan asap pembakaran saban hari.
Awalnya Ratman tak pernah menduga, dusun tempatnya dilahirkan akan berubah sedemikian cepatnya. Dusun yg dahulu seolah terisolasi dr hiruk-pikuknya kota. Tanah air kecil bagi Ratman & warga dusun lainnya. Sampai suatu hari, seorang pengembang berupaya membebaskan lahan warga. Sebuah pabrik sepatu & sandal akan didirikan di sana. Warga yg menjual lahannya, bisa bekerja menjadi buruh tetap di pabrik baru nanti. Serangkaian jaminan hidup & pemberian-sumbangan menggiurkan dijanjikan pada warga. Sedikit demi sedikit lahan warga dibeli. Satu pabrik didirikan, berikutnya pabrik lain menyusul berdiri.
Ratman bukannya tak ingin melakukan pekerjaan di pabrik. Beberapa waktu kemudian, tatkala ladang tempatnya memburuh milik Wak Haji dibeli pengembang, sesegera mungkin Ratman mendaftar ke salah satu pabrik yg sudah beroperasi. Namun lamarannya mendapat penolakan. Ijazah SD miliknya tak menyanggupi syarat untuk menjadi buruh pabrik.
Ratman pulang ke rumah dgn perasaan hampa. Janji-akad bagus pemilik pabrik dahulu ternyata cuma pepesan kosong belaka. Buktinya Ratman ditolak bahkan sebelum masuk ke dlm pabrik. Nyatanya Ratman tak sendiri. Banyak warga dusun dgn lulusan pendidikan rendah yg ditolak pabrik. Kebanyakan pekerja pabrik-pabrik yg berdiri di dusun itu malahan orang-orang dr luar dusun. Petak-petak kamar mes dibangun di seputaran pabrik untuk daerah tinggal pekerja dr luar dusun itu.
Dari tempatnya duduk di pinggiran jalan besar menuju kota, Ratman memandang dusunnya yg kecil dgn perasaan duka yg mendera. Di rumahnya yg menyempil di antara rumah warga dusun lainnya, dia membayangkan apa yg dijalankan Suciati. Mungkin sekarang istrinya sedang menidurkan Nurmala, anak pertama buah perkawinan mereka berdua. Atau mungkin Suciati sedang menangis di dapur seperti sebelum-sebelumnya tatkala beliau gelisah sembari mengelus-elus perutnya yg kian membuncit. Suciati sedang hamil anak kedua.
Lamunan Ratman buyar, tatkala transportasi desa berhenti di dekatnya. Dengan angkutan itu Ratman akan pergi ke kota. Mencari peruntungan lain, desanya yg kini menjadi padang beton itu tak ramah lagi kepadanya. Ratman bertarung nasib di kota, menapaki jalan-jalan sunyi peradaban. (*)