Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. Banyak orang pula senantiasa mencuci tangan, tetapi tak sesering dirinya. Belum pernah ada yg menghitung, berapa kali ia mencuci tangannya dlm sehari, namun dapat ditentukan sering sekali. Kalau ada orang yg menyebut namanya, yg dikenang setiap orang yakni, “Oh, yg selalu cuci tangan itu ya?”, & akan selalu ditanggapi kembali dengan, “Nah! Iya, yg selalu cuci tangan!”
Demikianlah ia kemudian dikenal sebagai Orang yg Selalu Cuci Tangan. Tentu ia sendiri tak tahu kalau dirinya mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya senantiasa merasa tangannya kotor, & setiap kali ia merasa tangannya kotor ia senantiasa merasa mesti cuci tangan di wastafel. Tentu saja tak jarang tangannya itu memang kotor, walaupun baginya setitik abu yg tak terlihat pun agaknya sudah asli menyandang perumpamaan kotoran, sehingga ia pun akan selalu terlihat berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Kadang gres duduk sebentar ia segera sudah berdiri lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yg dirasanya amat sangat kotor, begitu kotor, bagaikan tiada lagi yg bisa lebih kotor.
Tentunya bisa diterima betapa setiap tangan yg kotor memang sebaiknya, lebih baik, memang seharusnya, bahkan wajib dicuci, tapi bagaimana kalau sebenarnya bersih?
“Barangkali ia bergotong-royong hanya selalu merasa tangannya kotor.”
“Merasa?”
“Ya, tangannya itu sendiri bahwasanya higienis, tetapi ia selalu merasa tangannya kotor.”
“Makanya ia selalu mencuci tangannya!”
Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing ihwal atasannya tersebut, yg senantiasa mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel tatkala mereka memasuki ruangannya.
Didepan wastafel ia mencuci tangan, pada ketika mengangkat tampang, ia melihat wajahnya sendiri.
“Wajah itulah,” pikirnya, “wajah itulah!”
Wajah yg selalu muncul di koran & televisi, wajah yg senantiasa dijaganya semoga senantiasa tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yg bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah senantiasa mencuci tangannya, alasannya adalah dlm pikirannya, tangan yg kotor akan mempengaruhi persepsi orang banyak terhadap parasnya.
“Mengapa tanganku selalu kotor?”
Ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang menduga ia cuma merasa tangannya kotor, tetapi dlm pandangannya tangannya memang betul-betul kotor.
Mula-mula cuma seperti sedikit berdebu, namun lama-usang mirip berlumur lumpur.
“Apakah ini sebab gue senantiasa melakukan pekerjaan kotor?”
Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya bahu-membahu hanya merasa tangannya kotor, bukan betul-betul kotor.
Ia sendiri mewaspadai, manakah yg bergotong-royong lebih baik, antara senantiasa mencuci tangan alasannya adalah merasa tangannya senantiasa kotor dibandingkan dgn selalu mencuci tangan alasannya adalah tangannya betul-betul kotor. Namun ia betul-betul ingin percaya, walaupun ia selalu menyaksikan tangannya betul-betul kotor, betapa tangannya itu sendiri sebetulnya bersih.
Sementara itu, ia masih terus melaksanakan pekerjaan kotor. Mulai dr yg betul-betul kotor, hingga yg seperti tak kotor.
Pada sebuah hari, tatkala ia mencuci tangan di wastafel, air yg mengucur dr kran dlm pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
“Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang insan yg senantiasa mencuci tangan, air kran yg kotor yakni persoalan besar.
“Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, “mana boleh jadi?”
Segeralah para tukang diundang untuk menyelidiki, apakah kiranya yg membuat air pencuci tangan yg sebaiknya menciptakan tangan menjadi higienis sekarang justru membuat tangan semakin kotor.
Namun tatkala dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.
“Airnya tak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
Kini ia cemas, adalah matanya yg justru bermasalah.
Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata cuma perasaannya sajalah yg menciptakan ia mengira tangannya selalu kotor, yg membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan, walaupun tangannya itu sama sekali tak kotor.
Air kran yg mengucur di wastafel itu makin lama semakin bertambah kotor. Semula memang cuma kecoklat-coklatan, namun alhasil menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian pula berlumpur & berbau busuk agak kekuning-kuningan, yg tatkala airnya mengucur memperdengarkan suara mirip orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tak ada yg keluar dr perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yg terlihat, terdengar, & terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yg cuma dirasakannya sahaja.
Maka ia pun tetap mencuci tangannya dgn air terkotor di dunia yg mengucur dr kran itu. Tidak cukup hanya mencuci tangan, ia pula menggunakannya untuk cuci wajah, membasuh parasnya begitu rupa sehingga ia merasa dirinya higienis suci murni tanpa dosa & anti hama.
Suatu kali, tatkala pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah. Namun ia tetap yakin & percaya bahwa yg dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tak mau lagi-lagi mengundang tukang & lagi-lagi akan menerima tatapan mata yg memandangnya dgn asing alasannya, “Airnya tak apa-apa Pak!”
Ia mencuci tangannya dgn darah yg mengucur dr kran itu dgn perasaan mencuci tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci paras , kawasan segala kehormatannya dipertaruhkan, dgn darah yg mengucur dr kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia memandang parasnya pada cermin & ia menyaksikan wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yg menciptakan ia melihat parasnya sarat dgn darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan dgn perasaan betapa tangan, wajah, & bahkan jiwanya telah menjadi sangat higienis, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yg mampu lebih bersih.
Semua orang terbelalak! (*)