Orang-orang Jatuh Cerpen Nilla A Asrudian

Nuning dgn cepat menyusupkan muka di bawah ketiak ibunya. Ia merasa was was. Namun, rasa penasaran membuatnya sesekali mengintip. Tak jauh, terlihat seorang nenek tergeletak bersama barang belanjaannya, membisu tak bergerak di bawah lapak pedagang tempe. Di sebelah kanan & kiri lapak, pedagang tahu & pedagang bumbu rempah bergegas membenahi dagangannya, menjauh & memindahkan sementara barang jualan mereka ke sebuah lapak kosong.

Orang-orang di dlm pasar berkerumun dlm jarak dua-tiga meter, menyorongkan ponsel mereka ke arah sang nenek, mengambil foto ataupun merekam video. Ada pula yg menyertakan laporan menyerupai wartawan peliput info.

“Kenapa itu, Mak?” bunyi Nuning bergetar karena takut.

“Tidak tahu. Mungkin nenek itu belum sarapan, lemas, lalu jatuh.”

“Kenapa tak ditolong?”

“Tidak tahu,” kata ibunya seraya melepaskan tangan Nuning yg sedari tadi mencengkeram pinggangnya.

“Mati mungkin, Mak?”

“Mungkin.”

“Kita tolong saja, Mak. Mungkin tak mati.”

“Hush, biarkan saja. Itu orang-orang pula membisu saja. Mungkin Pak Satpam pasar yg akan membantunya. Ayo, kita pulang.”

“Sudah habis dagangan kita, Mak?”

“Tinggal tiga gorengan bakwan saja. Nasi kuning & tempe goreng habis. Lekas, buang air di ember & masukkan gelas-gelas ke dalamnya! Kita pulang. Siang nanti ananda kan mesti sekolah.”

*****

Tak sampai satu minggu, Nuning menyaksikan lagi dua orang yg tergeletak tak bergerak: seorang laki-laki di depan pasar & seorang perempuan di perempatan jalan menuju rumah kontrakan yg mereka tempati. Nuning tak mengetahui kenapa selesai-simpulan ini banyak orang jatuh tergeletak di tempat-tempat yg tak semestinya. Ibunya bilang, mungkin orang mabuk. Namun, apakah wanita yg jatuh di perempatan bareng motornya pula orang mabuk? Ia terlihat berbeda dr beberapa laki-laki tetangganya yg suka mabuk & tersungkur. Perempuan itu lebih mirip seorang pekerja kantoran yg berpakaian rapi & bersih.

Sejak saat itu, Nuning selalu merengek pada ibunya untuk berlama-lama menonton orang yg tiba-tiba jatuh tergeletak di jalan. Meski pada beberapa peristiwa, orang-orang itu tak cuma membisu, tetapi pula bergerak dgn gerakan yg menyerupai ikan hias yg kekurangan napas atau berkejat-kejat tak berdaya.

  Anak Kebanggaan | Cerpen AA Navis

Pemandangan itu tak begitu seram lagi baginya. Sebab, orang-orang pula menonton meski tak berani mendekat. Dan Nuning suka melihat orang-orang mengeluarkan ponselnya, mengambil foto ataupun merekam video, lalu memberi laporan layaknya wartawan peliput info. Mungkin saja, kalau ibunya memiliki ponsel cantik mirip mereka, Nuning akan meminjamnya & ikut mengambil foto atau merekam video. Namun, bekerjsama jikalau saja ibunya tak melarang & memarahinya, ia ingin mendekat & mencoba membangunkan orang-orang itu supaya mereka secepatnya bangun & tidur di rumah, bukan di jalan.

Banyak hal berganti dlm hidup Nuning sejak peristiwa orang-orang jatuh tergeletak di jalan. Sekolahnya diliburkan untuk waktu yg lama. Padahal, ia sedang senang bersekolah. Ia ingin memperlihatkan pada sobat-sahabat enam batang pensil miliknya yg berhias ikan warnawarni di pucuknya. Ayahnya membelikan pensil-pensil itu dr pedagang yg menggelar barang jualan di depan pabrik payung tempatnya bekerja. Namun, keinginan itu kandas, ia harus menyimpan pensil itu baik-baik di dlm tas sekolahnya.

Pada hari-hari berikutnya, dunia semakin membingungkan bagi Nuning. Pasar menjadi sepi, nasi kuning & gorengan ibunya cuma sedikit yg membeli. Wajah Ayah Nuning pun pucat pasi karena pabrik menutup pintu-pintu mereka & meminta sebagian besar karyawannya pulang tanpa honor.

“Bapak di-PHK. Saat ini siapa saja ingin sembako, tak ada yg mau membeli payung,” begitu kata ayah Nuning pada istrinya yg menimpali dgn isak & derai air mata.

Nuning tak tahu mesti bersikap bagaimana. Seminggu kemudian, Siti & Nafisa, tetangga sebayanya, masih main bareng & menonton “Si Bolang” di rumahnya. Namun, kini semenjak ayah Nafisa dijemput oleh orang-orang berpakaian ibarat astronot lengkap dgn pelindung tampang, ibu Nuning mengunci rapat pintu rumah kontrakan mereka. Betapa pun ia protes, murka, & menangis keras, ibu & ayahnya tak menggubris, bahkan memarahinya.

  5+ Kaidah Kebahasaan Cerpen

“Di luar ada wabah, kita tak boleh keluar rumah,” kata ayah Nuning.

“Bukankah Bu Guru pula sudah kasih tahu bahwa kita mesti di rumah sampai wabah selesai? Apa Nuning tak ingat?” bunyi keras ibunya menambahkan.

Nuning mengangguk pelan. Tentu saja ia ingat kata-kata gurunya tatkala mereka dipulangkan tiba-tiba dr sekolah.

“Dunia terkena wabah,” kata Bu Guru. “Kalian berguru saja di rumah. Jaga kesehatan dgn rajin cuci tangan, gunakan sabun atau antiseptik. Jangan lupa olahraga, berjemur, & makan masakan yg bergizi, ya Nak.”

Pesan-pesan semacam itu, Nuning pula sudah hafal dr tayangan televisi pemerintah yg diputar di sela-sela program berguru yg harus ia ikuti supaya tak ketinggalan pelajaran. Namun, lagi-lagi dunia memang membingungkan alasannya ia dengar ibunya mengeluh, mereka sudah kehabisan uang untuk berbelanja sabun mandi & sabun cuci, lantas bagaimana mereka bisa berbelanja sabun atau antiseptik untuk mencuci tangan?

Dan masakan bergizi? Nuning saja tak mengerti kenapa tamat-akhir ini ibunya sering menangis tatkala ia bilang ingin makan alasannya adalah perutnya sudah lapar. Kini perutnya memang sering lapar karena seingat Nuning, beberapa hari ini sang ibu cuma memberinya air putih setiap kali ia merengek lapar.

“Tunggu sebentar ya sayang, dalam waktu dekat Bapak pulang bawa kuliner,” kata ibu Nuning sambil mengusap wajah anaknya yg berbaring di sebelahnya.

“Bapak kok keluar rumah? Kemarin juga. Katanya gakboleh keluar rumah?”

“Kemarin, Bapak ke Pak RW, katanya ada tunjangan makanan untuk kita, namun Bapak tak kebagian. Mungkin karena kita cuma mengontrak di lingkungan ini. Makara, tak ada dlm daftar penerima pemberian.”

“Bapak pakai masker? Katanya kalau keluar mesti pakai masker?”

“Tidak. Masker mahal & susah dicari. Bapak pakai potongan kain yg diikat menutup hidung & lisan. Sama saja dgn masker tampaknya.”

  Bukit-bukit Seperti Gajah Putih | Cerpen Hills Like White Elephants Terjemahan A.S. Laksana

“Ah, sayang. Nuning pula mau masker, Mak, tapi yg ada gambar kucing atau ikan saja ya, Mak. Pasti lucu.”

Sang ibu tersenyum lalu mengusap lagi muka anaknya yg bermandi keringat.

“Kalau sekarang Bapak ke mana? Bapak kansedang sakit, panas & batuk. Cari kuliner ke mana?” Nuning bertanya lagi.

Ibu Nuning melongo. Ia pula tak tahu ke mana suaminya mencari masakan. Kehidupan tetangga mereka sama susahnya. Ia pula sempat pergi ke pasar untuk mendapatkan pinjaman dr kenalannya, tapi siapa pun mengeluhkan kehidupan yg sungguh sulit.

“Tangan Mak pula panas,” kata Nuning. Ia memegangi tangan ibunya kemudian didekapkan ke dadanya.

“Tidak, Nak. Kamu yg badannya panas. Ayo minum sedikit.”

Nuning menggeleng.

“Nuning mau bobo, Mak, sambil tunggu Bapak.”

Ibu Nuning menahan sedu. Dadanya sesak. Hatinya remuk saat ia memeluk tubuh anaknya.

Sementara itu, Nuning berusaha memejamkan matanya. Ia membayangkan sekolahnya. Ia rindu pada gurunya yg bertutur lembut, rindu pula bermain dgn teman-temannya.

Ia membayangkan pasar yg ramai, membayangkan barang jualan ibunya laris terjual, serta ayahnya yg membelikan banyak kuliner & sabun pencuci tangan sepulang gajian. Ia menyaksikan dirinya beserta ayah-ibunya berolahraga lalu berjemur di atap rumah mereka. Terasa hangat & mengasyikkan karena mereka dapat menjamah langit & menggapai awan tipis yg bergantungan.

Nuning baru saja akan terlelap tatkala tiba-datang menyaksikan orang-orang jatuh bergelimpangan: seorang nenek di bawah lapak tukang tempe; seorang laki-laki di depan pasar; seorang perempuan & motornya di perempatan jalan, serta orang-orang lain yg pernah ia lihat sebelumnya. Dan tatkala ia menyaksikan ayahnya ikut terjatuh sepulang mencari makanan, Nuning tersentak & berupaya membangunkan ibunya untuk memberitahukan apa yg ia lihat. Namun, betapapun ia ingin, Nuning tak dapat bangkit lagi.(*)