Mendung hitam di langit seperti turut berkabung atas petaka yg membuatku kalap di pagi buta itu. Uang Rp 36 juta, ongkos Emak naik haji yg kutaruh di laci lemari, raib. Aku percaya si pencuri itu ialah Mas Jarwo. Siapa lagi kalau bukan dia?
Semua bermula tatkala gue mengutarakan niat menghajikan Emak. Entah mengapa, rona wajah Emak terlihat datar saja. Aku menjadi juru bicara dua saudaraku yg lain. Tapi, tak setitik pun kulihat binar semringah di wajahnya yg semakin terpahat keriput.
Kami, anak-anaknya, ingin sekali membahagiakan Emak yg berusia 57 tahun, orang bau tanah kami yg tersisa sekarang (bapak telah wafat 10 tahun silam). Kami bertiga seminggu lalu, sepakat meminjam duit ke bank swasta buat ongkos Emak naik haji. Tiap bulan kami bertiga dengan-cara bergilir menyicil utang tersebut ke bank.
“Lebih baik, kalian kembalikan saja uang itu ke bank, Nduk,” gue terperenyak tak percaya mendengar kalimat Emak barusan. Pada saat banyak orang tua ingin dihajikan anak-anaknya, tetapi … ah, kenapa Emak malah menolak?
“Kenapa Emak ngomong begitu? Memangnya Emak ndak pingin apa naik haji seperti kebanyakan orang?” ujarku pelan dgn kening berlipat. Kulihat bibir Emak melengkungkan senyum tipis. Sekilas.
“Setiap orang yg mengaku beriman pada Allah & Rasul-Nya niscaya sangat merindukan berziarah ke Tanah Suci, Nduk,” ujar Emak pelan, menciptakan kerut di keningku kian bersilipat.
“Tapi, kenapa Emak menolak didaftarkan haji?”
“Nduk, haji itu cuma wajib bagi yg bisa …” suara Emak lirih terpenggal. Pandangannya mengawang jauh ke area persawahan gersang yg terbentang di depan halaman rumah. Kemarau tahun ini memang terasa begitu panjang & bikin capek. Membikin ketar ketir warga kampung yg menggantungkan hidup dr bertani.
“Tapi, soal ongkos, kan kami bertiga yg nanggung, Mak. Pokoknya, Emak ndak perlu mikirin dilema biaya haji, Emak cukup hadir tiap ada panduan haji di kantor KUA,” gue terus membujuk Emak. Lagi, bibir kisut Emak melengkungkan senyum tipis sekilas.
“Dengan cara berutang ke bank, Nduk?”
“Ya, apa salahnya, tho, Mak. Toh, nanti pula akan lunas dgn sendirinya,” gue terus berupaya meyakinkan ia.
“Tapi, kalau dgn cara berutang, itu sama saja memaksakan diri. Sementara, Gusti Allah ndak pernah mEmaksa hamba-Nya yg belum mampu. Pokoknya selama Emak belum memiliki duit sendiri buat haji, Emak ndak akan memaksakan diri,” ucapan Emak kian buatku terperangah. Sungguh jawaban Emak di luar dugaanku.
“Tapi, kapan Emak punya duit yg cukup buat haji, sementara hasil dr Emak berjualan sayuran di pasar hanya cukup buat keperluan sehari-hari saja, Mak.”
“Nduk, rezeki itu Gusti Allah yg ngatur. Emak percaya ananda pasti lebih paham ihwal hukumnya haji, ananda kan anak kuliahan,” pandangan Emak kembali menerobos ke area persawahan gersang yg membentang luas di depan halaman rumah.
Emak benar. Tapi … ah!
“Gimana, Ti?” cecar Mas Jarwo, kakak lelakiku yg kedua, tatkala gue baru tiba di halaman rumahnya untuk melaporkan ‘misiku’ tadi. “Gagal, Mas,” sahutku lesu.
“Emak nolak?”
Aku mengangguk tak semangat. Lantas, kuurai keberatan yg barusan dituturkan Emak. Mas Jarwo manggut-manggut saja mendengar ceritaku. Dan yg membuatku mengerut dahi, tak kulihat kelesuan sedikit pun di wajah sawo matangnya.
“Yo wislah, Ti.”
“Wis piye ta, Mas?” kedua mataku melebar.
“Ya, kalau Emak ndak mau, jangan dipaksa. Kalau menurutku, Emak itu ada benarnya juga. Ndak perlu memaksakan diri kalau belum mampu,” ucapan Mas Jarwo menciptakan dadaku hampir meleduk. Memang sedari permulaan, Mas Jarwolah yg kurang baiklah dgn rencana ini.
Berbeda dgn Mas Slamet, kakak laki-laki pertama, yg langsung menyambut dgn bergairah ideku untuk menghajikan Emak.
“Ti …” Mas Jarwo tersenyum misterius menatapku. Aku pribadi bisa menangkap gelagat tak baik dr sorot matanya.
“Gimana kalau … uangnya gue pake dahulu, soalnya gue lagi butuh buat bayar sawahnya Pak Gunadi,” lanjut Mas Jarwo sambil garuk-garuk kepalanya yg gundul berminyak.
“Lha, Mas, iki piye ta, kita kan sudah sepakat kalau uang itu buat menghajikan Emak, bukan untuk keperluan lain,” sahutku mulai kesal dgn sikap Mas Jarwo yg mencla- mencle.
“Tapi, barusan ananda bilang, Emak udah nolak.”
“Iya, tapi kan belum niscaya juga, Mas. Siapa tahu Emak berganti pikiran. Bisa saja, kan?” gue benar-benar mulai aus keteguhan menghadapi Masku yg sejak dahulu hinggi sekarang hobi membeli sawah tetangga yg tengah terjepit persoalan.
“Sudahlah, Ti, ndak perlu rayu-rayu Emak lagi, wong terperinci-jelas sudah ndak mau ya jangan dipaksa. Benar kata Emak, haji itu hanya bagi mereka yg mampu,” ucapan Mas Jarwo membikin dadaku seperti diguyur bensin. Tanpa permisi, gue lekas meninggalkan rumahnya.
“Lho, Ti, ananda mau ke mana, hei … tunggu dulu, gue belum selesai ngomong!” Langkahku kian lebar, tak sedikit pun menggubris kata-katanya.
“Ya, kalau dipikir ada benarnya juga, sih,” kata Mas Slamet saat kuceritakan penolakan Emak. Gurat parasnya terlihat prihatin. Sungguh berlainan dgn respons Mas Jarwo yg malah bungah ketika mendengar Emak menolak dihajikan.
“Terus, solusinya gimana, Mas?”
“Coba nanti gue yg bicara, gampang mudahan Emak berubah fikiran.”
“Tapi, kalau Emak tetep nolak …”
“Ya, terpaksa uangnya ananda simpan dahulu, buat jaga-jaga bila suatu ketika Emak butuh uang, kan kita bisa menggunakan duit itu buat bantu Emak.”
Aku mengangguk. Aku sungguh baiklah dgn usulnya.
“Tapi, gimana dgn Mas Jarwo?” tiba-tiba gue teringat Mas Jarwo yg ingin menggunakan uang tersebut untuk kebutuhannya.
“Nanti gue yg bicara padanya.”
Ternyata, Emak tetap kukuh pendirian. Malah Emak bilang, jikalau uang yg bersumber dr bank itu sedikit sekali keberkahannya. Aku tak menanggapi apa-apa alasannya adalah gue malas berdebat dgn Emak.
Akhirnya, gue & Mas Slamet mengalah & bersepakat menyimpan duit itu untuk sementara, buat jaga-jaga bila Emak membutuhkan. Hanya Mas Jarwo yg terlihat keberatan dgn ilham kami berdua. Bahkan, beberapa kali, ia tiba & memintaku biar menyerahkan uang tersebut untuk kepentingannya. Tentu saja gue tetap bersikukuh, tidak ingin menyerahkan uang itu.
Hujan deras masih mengguyur bumi. Suaranya bergemeretap di atap seng rumah kami. Musim hujan rupanya sudah tiba. Dengan mencengkeram payung hitam dibarengi dada bergemuruh mahir, kuayun langkah lebar menuju rumah Mas Slamet yg berjarak 200-an meter dr samping rumah di mana gue & Emak tinggal. Sebagai bungsu yg belum menikah, gue memang masih tinggal bersama Emak.
Mendung hitam yg masih setia menyelimuti langit seperti turut berkabung atas petaka yg membuatku kalap pada pagi buta itu. Bagaimana tidak? Uang yg kutaruh di laci lemari kamar itu raib. Aku yakin Mas Jarwo pencurinya.
“Jangan buruk sangka dahulu, Ti,” ujar Mas Slamet dgn nada tenang meski wajahnya terlihat terkejut dgn kabar hilangnya duit itu.
“Tapi gue percaya banget kalau Mas Jarwolah pencurinya, Mas!” suaraku menggelegar, seiring bunyi halilintar yg merobek langit.
Merasa kesal alasannya Mas Slamet tetap tak memercayai keyakinanku, lekas kuputar badan & kembali bertandingmelawan hujan yg masih menderas.
“Ti! Kamu mau ke mana?”
“Rumah Mas Jarwo, Mas!”
“Kamu jangan asal nuduh, Ti!” seru Mas Jarwo emosi.
“Wis ta Mas, ngaku saja! Mas kan yg nyuri duit itu!” gue lebih tak bisa menguasai emosi.
“Heh, dengar ya, gue memang ingin pinjam duit itu, tetapi asal ananda tahu, gue ndak sekeji yg ananda tuduhkan, gue masih eling sama Gusti Alloh, Ti!” seru Mas Jarwo seraya menunjuk ke langit.
“Oke, kalau memang Mas Jarwo benar ndak nyuri, apa Mas Jarwo berani sumpah di atas Quran ?”
“Kamu menantangku? Baik! Aku siap!”
Dan, sumpah itu pun akibatnya betul-betul dijalankan Mas Jarwo sehari berselang. Kami sengaja merahasiakan hal ini dr Emak. Kami tak ingin Emak jatuh sakit memikirkan anak-anaknya yg sudah cukup umur saling bertikai.
Namun, tetap saja gue tak memercayai sumpahnya yg menurut bisik batinku palsu.
Sehari. Dua hari. Sepekan. Bahkan, tak terasa bulan telah berganti nama. Tapi, tak ada tanda-tanda Mas Jarwo mengalami sebuah bencana alam. Karena sebagaimana kebiasaan yg sudah-sudah, jika sumpah yg terucap palsu, tak menunggu usang, ia akan terkena bencana alam.
Tiga bulan kemudian. Sore itu, sepulang kuliah, Mbak Harsih, istri Mas Slamet, duduk cemas menungguku di teras rumah bersama Emak. Raut Emak tampaksedih nian. Bahkan, beberapa detik kemudian, tanpa mengucap sepatah kata, Emak langsung menangis sesenggukan.
“Ono opo, Mbak?” seraya duduk menjejeri kakak iparku.
“Mas Slamet, kecelakaan, Ti, ia tertabrak mobil ketika naik motor sepulang dr pasar,”
terangnya lirih, wajahnya dipenuhi air mata.
“Masya Allah! Gimana keadaan Mas Slamet, Mbak?” gue ketakutan bukan main.
“Mas, Mas Slamet, me … meninggal di daerah ke … insiden, Ti.”
“Apa? Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.”
Sepekan pasca meninggalnya Mas Slamet. Pada suatu sore yg ditingkahi rinai gerimis, Mbak Harsih datang menenteng sepucuk surat untukku. Surat itu katanya ditemukan di laci meja Mas Slamet:
“Maafkan aku, Ti. Aku terpaksa mengambil uang itu tanpa seizinmu, gue gundah hendak mencari utangan ke mana lagi buat biaya masuk kuliah Galuh, anakku.”
Aku terperangah. Betapa sukar memercayai kenyataan ini. Hatiku seketika mencelus ketika prosesi sumpah tiga bulan kemudian—dan nyaris terlewatkan—tiba-tiba kembali terekam dlm memoriku.