Di hadapan kami, terhampar pasir putih yg indah, sebuah teluk, sebuah pantai yg permai, bagai memeluk daratan yg menjorok ini. Lalu kami berjalan menuruni potongan pantai yg landai, menapakkan kaki telanjang kami ke hamparan pasir tembaga yg terpapar senja. Kami berlangsung pelan, terus sambil membiarkan kaki-kaki kami terbelai ombak yg meriak-riak letih, memandang pohon-pohon kelapa yg gemulai melambai-lambai, bagai berharap menanti kekasih.
“Asni, kita ke sana, yuk!” ajakku pada perempuan di sampingku.
“Sekarang?”
Aku mengangguk sambil menggamit tangannya. Lalu kami berlangsung menaiki undakan, mengikuti belum dewasa tangga yg tersusun dr jejalan kerikil yg tak beraturan. Setelah beberapa jenak, berhenti memandang laki-laki renta yg menggunakan ikat kepala sambil menjajakan manisan & gula merah. Aku pun menghampiri. Asni mengikuti, mengiringiku dr belakang.
Setelah bercakap beberapa patah dgn laki-laki bau tanah itu, kami membeli dua buah gula merah, kemudian duduk di bawah gubuk sambil memandang hamparan biru yg terhampar hingga ujung cakrawala. Sambil merasakan gula itu, gue memejam, merasakan aroma khas dr sari pohon nira. Indra penciumanku berkembang menjadi menjadi demikian peka, gue merasakan pikiranku mengembara ke suatu kawasan.
“Seperti di kampung halaman…” Aku menggumam sendiri.
“Kau merindukan kampung halaman?” tanya Asni.
“Ya, gue merindukan tanah yg sudah memelihara & menemani masa kanak-kanakku. Di sana pula ada pasir putih, lambaian daun kelapa, & gula merah, tetapi tak ada maritim mirip ini.”
Kampung halamanku, di Kalimantan dahulu, pada suatu kurun waktu, sarat dgn ruap aroma gula merah. Tanahnya kaya, memendam banyak barang tambang & minyak mentah. Di atasnya pohon-pohon rindang menyimpan banyak rawa di belakang hutan. Permukiman penduduk membujur mengikuti kelokan sungai. Dari sana, akan tampak jajaran rumah panggung yg memanjang di sepanjang aliran hingga pangkal muara.
Setiap pagi merayap, seiring kokok ayam, & pekik sorak pencari rotan, mereka—para penduduk—berangkat menuju ladang. Lelaki pada masa itu pintar mengolah rawa yg penuh perdu menjadi jajaran sawah, membelah semak yg menyesaki padang, kemudian menyulapnya menjadi ladang-ladang subur, siap untuk dicocok tanam. Namun, sebelum berangkat ke sana, para perjaka apalagi dahulu menaruh tabung bambu di bahu mereka, menerobos pagi yg masih berselimut embun, mirip prajurit yg letih tersadar sambil menaruh selongsong senjata di pundak mereka.
Di pinggir-pinggir hutan, sudah terlihat batang-batang pohon nira yg menunggu untuk ditampung air sarinya. Dengan buaian Subuh yg masih remang, mereka menderes tangkai nira & mengganti tabung bambu yg sarat terisi air sari dgn bambu gres yg akan kembali terisi & akan terus terisi, lalu diambil di sore harinya. Kemudian mereka pulang menenteng banyak sari nira ke gubuk-gubuk kawasan pengolah manisan & memasaknya hingga utuh menjadi gula merah. Di bawah cipratan cahaya lentera, diserakkanlah gula-gula telanjang tersebut di ruang keluarga, lalu dipilah mana yg layak & tak serta dibungkus untuk dijual ke esokan harinya.
Keadaan akan tetap stabil di sepanjang ekspresi dominan. Apabila musim panen padi sudah berlalu & kemarau akan menjelang, rotan-rotan meranggas, pohon-pohon pisang tak lagi berbuah, sayur-mayur tak kunjung subur, atau banjir tahunan menggenang (karena kampung kami bertempat di dataran rendah), pohon-pohon nira tetap saja tumbuh & bertangkai. Pohon nira yaitu pohon yg sabar & senantiasa menjadi pokok cita-cita. Hampir setiap rumah di kampung kami yaitu pembuat atau pengolah gula merah.
Maka, tak aneh jikalau kami mendengar dr ekspresi ayah-ibu kami bahwa tak ada satu pun orang di kampung yg merasa kelemahan. Hidup mereka tenteram & tenang. Beberapa dr kami memang tetap miskin, tapi kami tak pernah merasa terhina. Rasa hening & sejahtera seolah senantiasa ada meski kami tak pernah betul-betul menjadi kaya.
Sejak bertahun merantau, gue telah terperangkap dlm hiruk-pikuk metropolitan. Entah berapa lama sudah gue tak lagi sempat mengingat tanah kelahiran. Arus rutinitas memaksaku menjalani hidup yg monoton. Dan nyaris di setiap final pekan, gue menghibur diri melepas kejenuhan. Itulah, mungkin akhir pekan lalu yg memaksaku untuk kembali mengingat kampung kelahiran. Sejak bertemu kakek tua penjaja gula merah itu, gue mirip melihat sorot mata yg teduh seperti sorot mata orang-orang kampungku.
Sorot mata yg sejak kecil kerap kujumpai. Sorot mata sarat rasa tamah tatkala memandang kami bermain-main di tepi ladang. Bagi anak nakal seusiaku dulu, sorot mata itu amat menenangkan. Tak mem beri kami rasa khawatir mendapat amarah lantaran tingkah menyebalkan yg kami kerjakan. Di sanalah, tatkala jasus itu lengah, kami kabur menerobos bekas ladang yg penuh belukar. Menjelajahi perdu & kesengsem pada beraneka-ragam pohon tak berjulukan yg tinggi menjulang. Di hampar belukar yg sarat perdu itulah pohon-pohon nira tumbuh subur, orang-orang kampungku leluasa memilih pohon mana yg akan mereka pilih ditampung air sarinya untuk mengolah gula merah.
Sejak gue teringat kampung halaman, simpulan-simpulan ini gue selalu menyempatkan diri berbelanja beberapa buah gula merah. Memakannya di sela-sela kesibukan kerja membuatku kembali bernafsu. Aku ternyata masih suka mencampurkan sepihan-serpihan gula merah pada secangkir teh yg kuminum saban pagi. Dan gue sadar….
Pola hidupku berganti cuma lantaran beberapa potong gula merah.
Entahlah, gue seolah terikat dgn kenangan itu. Kenangan masa kanak yg terkubur bersama manisnya gula & sekarang kugali kembali. Sewaktu sari nira masih terjerang di tungku besar, sewaktu buih-buih lengketnya masih mendidih-didih, ketika itulah kami kerap memasukkan beberapa butir pisang ataupun ubi kayu yg sudah dikupas kulitnya ke dlm jerangan yg masih meluap-luap. Dan di saat ayah kami mengangkat jerangan & mengaduk-aduk adonan yg mulai kental, kami sudah dihidangkan dgn pisang atau ubi matang yg enak tak terkira. Kenangan-ingatan manis itu mengendap di kepalaku. Apalagi, tatkala kami berlarian di sela-sela gula merah yg panas & kental tatkala sedang di keringkan di pencetakan, kami kerap mengerik-ngerik kerak gula yg masih tersisa atau tumpah tatkala adonan dituangkan. Kami selalu menghirup aroma gula yg khas, sepanjang malam, tatkala anggota keluarga berkumpul membungkus gula yg manis untuk dijual. Aroma itulah yg lengket di tubuh kami, menempel sepanjang hari, hingga kami lelap di pembaringan.
Namun, sehabis banyak pabrik yg bangkit mencampakkan limbah sekenanya, banyak pohon nira menjadi rusak & tak dapat dipakai. Pokoknya tak mati, tetapi pula tak patut hidup, sarinya menjadi masam, & tak lagi bisa dimasak menjadi gula.
Setelah banyak protes yg diutarakan tak lagi berguna, orang tuaku membawaku ke kota. Kami memasarkan tanah untuk kemudian pindah. Banyak cowok di kampungku yg sakit hati, menentukan pergi mengadu nasib, merantau, & meninggalkan desa. Kami kehilangan masa kemudian & terpaksa merelakannya.
“Kalau kau merasakan di gula merah itu, ada ruap kampung halamanmu, ada baiknya kau mengunjunginya sewaktu-waktu. Bukankah sudah lama sekali kamu meninggalkan tanah kelahiranmu itu?” ujar Asni menimpali.
“Ya, gue akan ke sana. Kalau perlu gue pula akan mengajakmu serta.”
“Sebenarnya gue pula penasaran & ingin menyaksikan kampung halaman yg sering kamu ceritakan itu.”
Sudah berapa lamakah gue meninggalkan kampung halaman? Aku sudah pangling. Namun, pertama kali gue mengin jak kan kaki kembali, tampak di hadapanku suatu kampung yg aneh. Beberapa yg kukenali dahulu adalah semak & belukar yg hening sekarang sudah disulap menjadi metropolis yg serba gemerlap, benderang, & bising. Tak ada lagi lahan kosong mirip dahulu. Di tengah deru kendaraan, lengkingan para pencari rotan serta siulan-siulan para bocah terngiang kembali di benakku.
Aku bersama Asni terus melangkah menyusuri jalan sempit yg tak cukup lebar memuat banyak kendaraan. Tampak di ujung sana diadakan proyek perluasan. Suara kendaraan yg berseliweran di sebelah kiriku pula terdengar sungguh nyaring. Namun, semua itu tak gue pedulikan. Kini, tak ada lagi hutan. Tak ada lagi rawa. Tak ada lagi pohon-pohon yg dulu kerap kami panjati. Tak ada lagi setiap rumah yg mengolah gula merah. Kini, seakan gue mengais-ngais sisa ingatan yg dulu pernah bersemayam pada masa kanakku. Semua seperti pupus & berlalu.
Di tengah pengerjaan proyek, kawasan semen dicampur-aduk, tampaklah lelaki jangkung yg mempesona perhatianku.
“Kau Kalan?” teriakku, sehabis yakin bahwa mataku tak salah menyaksikan.
Lelaki itu menatap ke arahku beberapa jenak lamanya. Kami saling memandang. Saling menimbang kebenaran pandangan. Lalu ia berlari mendekat ke arahku. Lupa dgn pekerjaannya. Beberapa buruh sempat mengawasi melanjutkan pekerjaan mereka yg tampaknya serba bikin capek.
“Kapan kau datangkah? Tak bawa kabar, mentang-mentang jadi orang kota, lupa kamu pada kampung sendiri,” cecarnya beruntun, tanpa memberiku jeda untuk menyikapi.
Kuperkenalkan Kalan pada Asni. ia inilah salah satu dr kawanku yg bersikeras untuk bertahan di kampung. Dari pertemuanku yg singkat itu, banyak tergali lagi ingatan & masa kemudian. Meski sepintas, gue mampu menyaksikan gurat kesengsaraan di wajah kawanku itu. Begitu berlainan dgn tampang-paras yg ada di balik rumah-rumah mewah yg mulai berdiri di pemukiman belakang mereka.
“Begitulah kondisi kampung kita,” ujar Kalan serba salah. Aku tak tahu mesti menanggapi apa.
Ia mengajakku & Asni menuju gubuk tempat pekerja beristirahat. Di sela-sela langkahnya, sempat ia bercerita ihwal banyak tanah warga yg diserobot & diganti rugi untuk dibuat proyek. Dalam pengertian, tanah itu memang diganti, tetapi tetap saja rugi. Itu pun masih dikategorikan untung sebab sebagian tanah kawasan pohon-pohon nira tumbuh mungkin sudah punah, disulap begitu saja menjadi lahan pabrik & proyek permukiman.
Sebenarnya ingin sekali gue menumpahkan ribuan pertanyaan yg memberati kepala pada Kalan, tetapi tak mampu. Semuanya seperti menggumpal di tenggorokanku, seakan disumpal oleh waktu yg memisahkan kami. Ingin sekali gue menumpahkan ribuan kemarahan yg menyesaki dada, namun pada siapa? Seiring cakrawala meremang, senja yg terpampang tampak begitu muram, kelam, & tak berpengharapan. (*)