Nilai-Nilai Kehidupan pada Cerpen – Cerpen tidak hanya diciptakan untuk hiburan atau bacaan semata. Akan namun kalau kita mendalaminya suatu cerpen niscaya mengandung sebuah nilai-nilai kehidupan yang mampu kita ambil hikmahnya. Cerpen disususn berdasarkan komponen pembentuk yang berupa tema, tokoh, karakter tokoh, alur, latar, serta pesan/amanat. Selain bagian intrinsik tersebut cerpen juga memuat nilai-nilai yang merupakan amanat dari cerpen tersebut.
Nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen, antara lain :
1. Nilai etika
Nilai sopan santun adalah nilai yang berhubungan dengan akhlak/kebijaksanaan pekerti/sopan santun atau baik jelek tingkah laku.
2. Nilai sosial/kemasyarakatan
Nilai sosial adalah nilai yang berhubungan dengan norma-norma yang terdapat dalam penduduk .
3. Nilai religius/keagamaan
Nilai keagamaan yakni nilai yang berkaitan dengan agama
.
4. Nilai pendidikan/edukasi
Nilai pendidikan yakni nilai yang berhubungan dengan pendidikan/pelajaran hidup
5. Nilai estetis/keindahan
Nilai estetis ialah nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang menawan/menggembirakan/keindahan (nilai seni).
6. Nilai budbahasa
Nilai etika ialah nilai yang berhubungan dengan moral dalam kehidupan.
7. Nilai politis
Nilai politis adalah nilai yang berkaitan dengan situasi politik (pemerintahan).
8. Nilai budaya
Nilai budaya yaitu nilai yang berkaitan dengan kebudayaan (budbahasa istiadat).
9. Nilai kemanusiaan
Nilai kemanusiaan adalah nilai yang bekerjasama dengan sifat-sifat insan. Nilai-nilai kemanusiaan mampu berbentukideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, edukasi, dan sebagainya.
Sebagai latihan tentukanlah nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen di bawah ini!
Saya gres datang, tatkala lelaki yang tinggal satu RT itu datang ke tempat tinggal. Dengan gaya hero, lelaki itu marah-murka. “Jangan sok ya Pak? Apa mentang- mentang bapak seorang dosen? Istri bapak seorang wanita karier. Kalau istri aku hanya seorang ibu rumah tangga dan aku sendiri terpaksa menjadi seorang satpam,” demikian mulutnya nyerocos, tak karuan. Tak jelas juntrungan-nya.
Saya membisu. Ini ada masalah apa? Saya membatin. Kenapa tiba-datang Suhono bicara status pekerjaan. “Jangan suka nyindir keluarga satpam, Pak,” lanjutnya.
“Apa maksud Pak Suhono,” kata aku. “Lagi pula siapa yang menyindir?”
“Tadi istri bapak mengatakan, ‘biar jadi satpam segala’. Apa sih maunya?” Saya membisu. Pasti telah terjadi miss comunication, pikir aku. Tapi, aku berupaya untuk tidak meladeninya. Percuma, pikir saya. Lelaki yang tinggal satu RT dengan kami itu memang bawaannya selalu curiga. Mungkin karena profesinya selaku satpam.
Benar. Sikap dan akhlak seseorang, diakui atau tidak, kadang-kadang akan sangat dipengaruhi profesi yang digelutinya. Nah, alasannya menjadi seorang satpam (pekerjaannya menuntut supaya selalu waspada, apalagi semenjak bom meledak di mana-mana. Tuntutan kewaspadaan ini acapkali diterjemahkan mereka sebagai harus bersikap curiga kepada siapa saja), tidak heran bila pembawaan Suhono selalu curiga. Bahkan terhadap tetangga sendiri. Segala sesuatu ditafsirkan secara picik. Pola pikir laki-laki berhidung sempok itu selalu negative thinking.
“Kalau memang istri aku salah, maafkan beliau. Nanti biar aku kasih tahu.”
“Mestinya bapak harus bisa mengajar istri.” Saya diam. Saya berupaya mencari kalimat yang sempurna untuk disampaikan kepada orang yang satu ini. “Terima kasih atas peringatannya, Pak,” kata aku setelah mendapatkan kalimat yang pas untuk disampaikan kepadanya. “Orang hidup bertetangga memang perlu saling mengingatkan.
Ya, kadang kala apa yang kita anggap tidak mengusik orang lain namun kenyataannya, tanpa kita sadari yang kita lakukan mengusik orang lain. Ya, misalnya saja kita menyetel radio keras-keras. Benar. Radio itu milik sendiri. Disetel di rumah sendiri. Tapi, kalau bunyi radio itu terlalu keras mampu mengusik tetangga.”
“Kalau itu lain, Pak,” Suhono memangkas kalimat aku. Seketika itu pula wajahnya berubah. Merah. Entah alasannya malu atau bertambah tersinggung.
“Lain bagaimana? Apa kalau ada tetangga sedang sakit gigi, kita tahu? Kalau kita menyetel lagu keras-keras tidak mengganggu tetangga kita yang sedang sakit? Karena itu, bila kita bilang menyetel lagu keras-keras.” “Assalamualaikum,” sebuah uluk salam menghentikan kalimat yang belum usai aku lontarkan. Karena aku terburu-buru menjawab salam yang diucapkan Pak RT yang gres tiba itu. Ketika Pak RT masuk, suami Wulan itu eksklusif pulang. Entah kenapa. Yang niscaya, seperti kata orang-orang, Suhono bergotong-royong kurang pede. Untuk menutupi kekurangannya itu, ia senantiasa bicara dengan bunyi keras. Terkadang bernada garang. Namun, bila ada yang meladeninya, lelaki itu tak mampu berbuat apa-apa.
Hanya saja, memang, jarang sekali orang mau melayaninya. Ia juga kurang bergaul dengan tetangga sekitar. Jika ada pertemuan warga, contohnya, pun beliau tidak mau datang.
Demikian artikel perihal Nilai-Nilai Kehidupan pada Cerpen. Semoga berfaedah.
Selamat Belajar… 🙂