Nikah Siri Menurut Persepsi Aturan Islam

Belakangan ini, duduk perkara sikah siri mencuat kembali. Seiring dengan munculnya blog online penyuplaijasa ijab kabul secara siri yang menggemparkan. Kontan saja, hal ini, memanggil protes dan tanggapan yang bermacam-macam di golongan masyarakat. Sehingga, nikah siri ini menjadi kontroversi. Maka bagaimana kajian nikah siri berdasarkan persepsi hukum Islam?
Dalam kajian aturan Islam, masalah nikah diposisikan dalam ranah aturan muamalah. Ini memberikan, bahwa nikah lebih berdimensi sosial kemasyarakatan. Karena itu kesempurnaan nikah bukan semata-mata tercukupi syarat dan rukunnya saja. Namun, bersahabat kaitannya juga dengan standar kepatutan dan kepantasan menurut adab dan norma yang berlaku.
Oleh alasannya adalah itu, mampu diketahui jika nikah siri menjadi kontroversi. Memang secara syarat dan rukun nikah telah tercukupi. Misalnya didatangi oleh kedua calon penganten, disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki, ada maskawin dan ijab qabul, serta dinikahkan eksklusif oleh wali mempelai wanita. Namun apakah nikah siri seperti itu telah menyanggupi persyaratan kepantasan dan kepatutan menurut etika dan norma yang berlaku di masyarakat? Inilah masalahnya, dan ini pula yang menjadi pokok pangkal nikah siri menjadi penuh kontroversi.
 Seiring dengan munculnya blog online penyedia jasa pernikahan secara siri yang menghebohk Nikah Siri Menurut Pandangan Hukum Islam

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sangat menekankan budpekerti atau budpekerti. Bahkan, di antara tujuan utama diutusnya Rasul yakni untuk menyempurnakan adab. Sehingga dalam masalah adat, Beliau menjadi rujukan dan panutan yang harus diteladani dalam segala faktor kehidupan. Keluhuran dan kemuliaan akhlaklah yang menjadi diam-diam keberhasilan dakwah Rasulullah saw sehingga dapat merubah masyarakat Arab yang tadinya biadab menjadi beradab.
Namun dalam realitas kehidupan umat Islam, tampaknya adab ini agak dihindari. Kehidupan umat Islam lebih didominasi oleh pengertian dan pengamalan fiqh yang kerap kali cendrung hitam-putih. Padahal, kalau kita cermati esensi kitab suci Alquran, ternyata proporsi etika lebih besar daripada ibadah ritual. Bahkan pelaksanaan ibadah ritual itu harus berpengaruh pada kesalehan sosial. Misalnya pelaksanaan ibadah shalat harus mampu menghalangi dari tindakan keji dan munkar.
Begitu pula ibadah zakat, harus bisa menghidupkan perilaku kepedulian sosial dan mengikis sifat arogansi serta kekikiran yang ada pada dirinya. Ketika Quran merinci sifat-sifat mulia orang mukmin yang hendak mewarisi surga Firdaus, dari 7 sifat yang dikemukakan cuma 2 sifat yang diidentifikasi sebagai ibadah ritual, adalah shalat dan zakat. Sebagaimana diterangkan dalam Alquran surat Al-Mu’minuun [23] ayat 1-11, sifat-sifat orang Mukmin yang mau mewarisi nirwana itu yakni: (1) melaksanakan shalat dengan khusyu’; (2) menjauhi perbuatan yang tiada memiliki kegunaan; (3) menunaikan zakat; (4) menjaga kemaluan; (5) memelihara amanat; (6) memelihara janji-akad; dan (7) memelihara shalat.
   
Mengacu pada ayat di atas, bahwa di antara sifat orang Mukmin yang memiliki budpekerti mulia yaitu mempertahankan kemaluannya dengan menyalurkan syahwatnya terhadap isteri yang sah lewat pintu ijab kabul. Maka dalam Islam, nikah bukan semata-mata ‘dukhul’ atau korelasi intim, atau ‘menghalalkan yang haram’, tetapi lebih dari itu nikah merupakan prosesi sakral yang mempunyai ikatan yang sangat berpengaruh.
Kalau ungkapan Quran bahwa nikah itu ‘mitsaqan ghalidza’, ikatan yang sangat kuat. Karena, nikah itu bukan semata-mata menyatukan dua insan, tetapi menyatukan juga keluarga dan marga. Nikah juga bertujuan membina rumah tangga yang harmonis dan sejahtera yang melahirkan keturunan dan generasi. Pertanggungjawaban nikah ini bukan hanya di dunia, tetapi sampai juga ke akhirat.
Oleh alasannya itu, kita ditugaskan untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya api neraka. Allah SWT berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah insan dan watu; penjaganya malaikat-malaikat yang berangasan, keras, dan tidak mendurhakai Allah kepada apa yang ditugaskan-Nya kepada mereka dan selalu menjalankan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]:6).
Dengan demikian, kita dilarang coba-coba dengan nikah. Karena akan berakibat fatal kepada kelancaran keluarga dan kurun depan generasi. Keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian akan meninggalkan luka yang mendalam utamanya pada pihak perempuan dan anak keturunan. Maka sebelum terlanjur dan memakan korban lebih banyak, perlu ada langkah-langkah pencegahan terhadap upaya-upaya desakralisasi akad nikah, contohnya nikah siri.
Mengapa kejadian nikah siri perlu dicegah?  Karena dilihat dari sisi namanya saja telah mencurigakan. ‘Siri’ itu artinya belakang layar, sembunyi atau membisu-diam. Mengapa nikah mesti dilaksanakan secara membisu-diam, ada apa gerangan? Jelas nikah siri ini berlawanan dengan sunnah Nabi SAW. Karena berdasarkan informasi beberapa hadits, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar ijab kabul itu diumumkan dengan mengundang orang-orang lalu dihidangkan menu dan diadakan hiburan kalau memungkinkan. Maka diketahui ungkapan ‘walimatun nikah’, jamuan akad nikah. Ini bukan tindakan riya tetapi untuk menepis kecurigaan dan mempertegas kesakralan ijab kabul.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW menyaksikan bekas kuning pada (leher) Abdurrahman bin ‘Auf. Ketika ditanyakan beliau menjawab, “Ya Rasulullah SAW, aku gres menikahi seorang wanita dengan maskawin setimbang satu biji dari emas”. Maka Beliau bersabda, “Semoga Allah berkahi kamu, buatlah walimah (jamuan) walaupun dengan seekor kambing”.
Oleh sebab itu, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim menjelaskan, selain ada yang namanya syarat dan rukun nikah, juga yang tak kalah pentingnya adalah budpekerti dan sunnah nikah yang serupa-sama harus dipenuhi, di antaranya adalah: Khutbah nikah dengan ungkapan rasa syukur terhadap Allah dan washiat takwa dengan mengutip sekurangnya 3 ayat yang menyuruh biar bertakwa kepada Allah SWT Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Ahzab [33] ayat 70-71: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kau kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sebetulnya dia telah mendapat kemenangan yang besar”.  Karena takwa ini merupakan bekal utama perjalanan, tak kecuali perjalanan rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan.
Walimah, yakni makanan yang disajikan pada waktu merayakan akad nikah. Orang yang dipanggil untuk hadir pada walimah ini wajib hadir. Ini menurut sabda Nabi saw, “Barangsiapa yang dipanggil untuk menghadiri walimah akad nikah atau yang yang lain, hendaklah dipenuhi” (HR. Muslim). Dimeriahkan dengan memukul rebana yang diiringi lagu yang diizinkan. Nabi saw bersabda, “Sesuatu yang membedakan antara yang halal dengan yang haram ialah rebana dan suara (nyanyian)” (HR. Ashabussunan). Mendoakan pengantin dengan doa, “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu dan semoga mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Tirmidzi).
Hikmah dari adanya adat dan sunnah nikah ini yakni untuk lebih menawarkan bantuan watak dan sosial ihwal pentingnya mengekalkan bangunan rumah tangga. Kalau diumpamakan menanam tanaman, adat dan sunnah nikah itu menyerupai pupuk dan siraman air untuk menyuburkan tanaman yang gres ditanam. Sehingga bagi pengantin menjadi modal sosial dan mempunyai tanggung jawab budbahasa untuk menjaga bangunan rumah tangga sekalipun banyak rintangan dan angin ribut yang menghadang.
Berbeda dengan nikah siri yang terkesan longgar dan kurang pemberian sosial. Sehingga dapat memperlemah posisi daya tawar rumah tangga. Bahkan dalam beberapa kasus pihak perempuan dan anak menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya dengan entengnya pihak suami meninggalkan dan membuang anak isterinya. Sementara pihak isteri tidak bisa berbuat banyak alasannya adalah tidak mempunyai bukti yang berpengaruh. Anak pun tidak bisa mengorganisir akta lahir contohnya karena orangtuanya tidak mempunyai surat nikah. Jelas ini membawa imbas tidak maslahat bagi kelancaran rumah tangga dan anak keturunan ke depan.
Oleh karena itu, mampu diketahui kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, mengusulkan pemidanaan dalam draf RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Tujuannya terperinci, untuk menunjukkan derma kepada perempuan dan anak dalam kelancaran rumah tangga. Karena rumah tangga atau keluarga itu merupakan unit terkecil dari bangunan suatu bangsa. Apabila bangunan keluarga tidak kokoh maka akan besar lengan berkuasa besar kepada keutuhan tatanan suatu masyarakat dan bangsa ke depan. Islam pun sangat mengkhawatirkan nasib generasi dalam suatu keluarga kalau lemah dan tidak berkualitas.
Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa terhadap Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. An-Nisaa’ [3]:9).
Demikian di antara persepsi dan usulanmengapa nikah siri menjadi kontroversi. Nabi SAW juga berusaha untuk menangkal nikah siri ini jangan hingga terjadi. Karena hal ini tidak cocok dengan budbahasa dan sunnah nikah serta dikhawatirkan akan menyebabkan kemadharatan khususnya bagi pihak perempuan dan anak. Oleh sebab itu, kita berharap biar umara dan ulama mampu mengambil keputusan yang terbaik dan sempurna dalam duduk perkara penyelesaian masalah nikah siri ini demi kemaslahatan penduduk dan bangsa ke depan. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.