Negeri Penidur | Cerpen Toni Lesmana

Oleh: Toni Lesmana

LELAP sekali dirimu terbaring di lantai. Tak ada yg bergerak selain isyarat lemah napasmu. Mimpi apa yg berkembang dlm tidurmu? Aku cuma bisa memandangmu. Tubuhmu nyaris telanjang. Aku terus memandangimu sambil perlahan merayap di tembok, memanjat beling jendela & meloloskan diri pada lubang angin.

Tak tahan melihatmu terus tertidur, gue ingin pergi sebentar melihat negerimu. Barangkali gue akan memperoleh sesuatu yg mampu membunuh seluruh rinduku padamu. Atau mungkin pergi darimu selamanya. Tidak, gue tak mungkin sanggup. Tapi gue mesti lepas & bertualang. Masih sempat kulirik tumpukan buku & kertas yg berserak di lantai. Tulisan yg belum final di layar komputer. Sama seperti dirimu, mereka pula pulas & lelap. Dari kamarmu, kutangkap badan istrimu yg meringkuk, mirip memeluk. Ada gerak-gerik di sana. Namun gue tak tahan lagi. Betapa gue sakit menatapmu terus tertidur.

Pekarangan yg dingin, kabut merubung lampu-lampu. Aku menyusupinya. Rumah-rumah kelabu. Gang yg lembab. Ada suara yg cukup nyaring di ujung gang. Aku melayang perlahan di tanah berair. Dan melesat menuju bunyi itu. Seorang pedagang nasi goreng nampak sedang sibuk mendorong gerobak sambil menghantam-mukul wajannya. Dua orang pemuda mabuk menghampirinya, tawar-menawar. Akhirnya dgn wajah sedikit murka penjual nasi goreng itu meluluskan keinginan sang pembeli. Kedua cowok itu duduk di trotoar. Meracau tak tentu. Mata mereka rapat terpejam. Begitu pula mata sang pedagang. Bagaimana mereka mampu mabuk & berjualan dlm keadaan tertidur? Keparat. Aku teringat dirimu. Dirimu yg melulu tidur. Dirimu yg sering kukutuk alasannya tak pula membuka mata barang sekejap. Ternyata tak hanya dirimu. Negeri apa sesungguhnya yg kau tinggali & tak pernah usai kau cintai ini?

Lepas dr ekspresi gang, gue cepat-cepat meninggalkan pemandangan suram yg tadi kukejar dgn penuh pengharapan. Berlari dlm kabut menuju pusat kota. Orang asing berteriak-teriak di jembatan. Gelandangan memeluk kardus di trotoar. Sepasang manusia berciuman di bawah lampu jalan. Seorang fotografer asyik memotret sebuah bangunan kuno. Serombongan anak punk bernyanyi-nyanyi sambil berlangsung. Satpam suatu rumah repot mengejar pencuri. Tapi mata mereka semuanya terpejam. Mereka semua tidur. Itulah kehidupan dlm tidur. Aku terus berlari. Berlari dlm ingin tau. Kususuri seluruh pelosok kota. Memasuki gedung demi gedung. Melewati perempatan demi perempatan. Melesat ke alun-alun. Berdiam di terminal. Menyaksikan pasar. Mengaduh di stasiun. Apa yg kudapati adalah orang-orang yg tertidur. Semuanya berlangsung sambil tidur. Tak ada mata yg terbuka. Tak seorang pun terjaga. Tubuh-badan itu bergerak dgn mata tertutup.

  Potret Pengemis | Cerpen Toni Lesmana

Malam dalam waktu dekat usai. Orang-orang & kendaraan mulai menyanggupi jalanan. Lampu-lampu mati & kabut berkurang entah ke mana. Aku menyaksikan matahari pagi terbit di sebuah pelataran gedung pemerintahan. Orang-orang dgn busana rapih & berseragam nampak mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Sepertinya bakal ada program. Ada panggung lumayan besar dgn peralatan band & tata suara lengkap. Kursi-dingklik tertata rapih. Hajatan di gedung yg paling besar & megah. Perlahan kian banyak yg datang. Para pejabat, pengisi program, pula penduduk , tiba sebagai penonton. Puluhan bahkan ribuan orang mulai memadati pelataran gedung yg luas. Acara yg semarak. Pidato-pidato dgn bunyi yg lantang & bersemangat, tangan yg terkepal, & riuh sorak penduduk . Doa-doa dipanjatkan. Puisi, lagu, & tarian dipentaskan. Mereka melaksanakan itu dgn mata terpejam. Padahal matahari nyaris meraih puncak ketinggian di langit.

Aku pun mengikuti bawah umur sekolah yg berjalan riang menuju sekolah mereka. Tak berapa lama lalu di dlm kelas kulihat guru mengajar sambil tidur & anak-anak sekolah belajar sambil bermimpi. Dan kecewa membawaku melayang dr satu kantor ke kantor yg lain. Tak berlainan adanya. Orang-orang bekerja sambil tidur. Mereka mengerjakan & menyaksikan korupsi tanpa membuka mata. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis dgn mata tertutup. Sipir penjara menjaga narapidana pula tanpa membuka mata. Semua berjalan dgn tenang tanpa gejolak. Dan gue berlari lagi ke pabrik-pabrik yg riuh & gaduh. Para buruh berpeluh dlm tidurnya. Sang majikan mengkalkulasikan uang sambil tidur pulas.

Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, barangkali masih ada kehidupan yg tersadar & berhati-hati. Sepasang mata yg terbuka. Namun, di jalanan gue menemukan sekelompok demonstran yg meneriak yel-yel berani pula dgn mata yg tidur. Beberapa melakukan perusakan & terjadi bentrokan sambil berimajinasi . Dengan sedikit malu-malu gue singgah di beberapa rumah ibadat, mengikuti sejumlah ritual yg khusyuk. Hanya mirip khusyuk, nyatanya mereka pula beribadah dlm tidur.

*****

PERJALANAN secepatnya saja membosankan. Siang hari saja sudah begini. Apalagi malam hari. Tak ada seorang pun yg membuka mata. Semuanya hidup dlm tidur. Kesadaran seperti suatu kondisi yg tak lagi diperlukan. Sementara ketidaksadaran menjadi sebuah kehidupan. Barangkali gue sedikit mampu memahami apa yg terjadi pada dirimu, setelah selama ini gue menganggap dirimu ajaib. Kini tak dapat disanggah, bahwa kau ialah pecahan dr sebuah negeri yg memang lelap & tak pernah berdiri. Sepanjang perjalanan pulang gue mulai mencar ilmu menutup mata sambil melayang. Namun berkali-kali gue kesasar. Dan makin jauh dr rumahmu, dr dirimu. Alih-alih semakin akrab, ini malah kian menjauh. Aku timbul di pasar yg terbakar, di samping suatu bom yg meledak, di sekolah yg runtuh, pula di suatu rumah ibadat yg dilempari batu. Betapa sulit menggenapi perjalanan sambil menutup mata.

  Taman Kesedihan | Cerpen D. Hardi

Tiba-tiba gue berada di perempatan bareng pengamen & bawah umur kecil pedagang cobek watu, malah tak sengaja masuk ke kamar hotel & menyaksikan seorang pejabat memeluk tubuh wanita muda yg niscaya bukan istrinya. Aku melayang-layang tak tentu arah. Heran sungguh aku, bagaimana dirimu & penghuni negeri ini bisa melakukan seluruhnya dgn kelopak mata yg terkunci. Akhirnya kubuka kembali mataku lebar-lebar, lantas melayang cepat di atas kota. Senja nyaris habis. Dan gue ingin secepatnya kembali ke rumahmu. Ke tubuhmu. Cukup sudah perjalanan ini. Setidaknya dapat kupahami apa yg terjadi pada dirimu.

Hinggap di atap rumahmu, gue memasuki celah-celah genting. Meluncur turun ke lubang di langit-langit rumahmu. Aku melihat dirimu masih terbaring di lantai. Sementara istrimu seperti sedang menyusui.

Kau tertidur dgn telentang. Wajahmu begitu damai. Dadamu bergerak halus. Napasmu lemah. Tubuh yg sering kucaci sekarang nampak sangat indah. Indah dlm tidurnya yg lelap. Tubuhmu. Aku cepat meluncur kembali. Namun gue tak dapat menjejak lantai. Aku cuma terbang-layang mengitari tubuhmu. Tanganku menggapai-gapai namun tak mampu menjamah. Tanganku tak dapat menyentuh apa pun. Semuanya. Rambutmu. Hidungmu. Bibirmu. Tanganmu. Dadamu. Kakimu. Semuanya tak dapat kusentuh. Tanganku hanya menembus seluruhnya.

*****

TIBA-TIBA gue menjadi begitu takut. Aku lupa bagaimana gue meninggalkanmu. Meninggalkan tubuhmu. Aku lupa. Kini gue begitu merindukan memasuki kembali tubuhmu. Tubuhku. Namun gue tak tahu bagimana caranya. Aku mulai berteriak-teriak. Namun tentu kau tak akan mendengarku. Tak akan ada yg mendengarku. Aku terbang-layang dlm rumah. Aku tabrak semua barang. Namun tak satu pun yg bergerak.

Tubuhmu nampak makin indah.

Tubuhmu. Tapi sekarang tubuhmu tak lagi telanjang, namun mengenakan kemeja & celana jeans. Berarti tubuhmu telah bergerak selama gue pergi. Bagaimana mungkin? Bagaimana kamu bergerak sementara gue pergi meninggalkanmu. Tubuhmu yakni tubuhku.

  Piknik | Cerpen Agus Noor

Itu tubuhku! Aku berteriak tiba-tiba entah pada siapa. Ketakutan semakin merajalela. Aku tak mampu memasuki tubuhku sendiri. Aku cuma melayang berputar-putar seperti layangan putus. Tatkala gue melihatmu terbangun. Berdiri. Berjalan menuju kamar. Lantas berbalik, mengarah ke dapur. Memanaskan air. Menyeduh teh. Dan membawanya ke ruang tengah. Tubuhmu menyalakan komputer. Menyalakan sebatang rokok. Aku menghalang-halangi. Namun aku, tubuhku, kau tembus begitu saja. Ah, matamu yg terus terpejam itu, membuatku seperti ajaib.

Itu tubuhku! Aku berteriak berulangkali. Kini dgn tangisan & jeritan.

Tubuhmu mulai menulis di komputer. Asyik sendiri.

Aku melihatmu. Hanya dapat melihatmu. Aku ingin memasukimu. Tubuhmu ialah tubuhku. Tubuhku. Aku terbang kesepian di sudut ruangan. Tak tahu hendak bagaimana. Sungguh, mulai mampu kupahami kau hidup sambil tertidur. Namun sekarang, gue tak mampu mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak cuma hidup dlm tidur, barangkali mereka pula hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu sekarang. Tubuhku, tubuhku. Alangkah malang tubuhku.

Aku terus mengingat cara untuk dapat memasukimu. Aku ingin menceritakan perjalananku. Aku ingin mengajakmu untuk menulis dgn mata terbuka. Namun gue cuma mampu melayang-layang. Tersesat sendiri tanpa tubuh.