Negara itu sudah memisahkan gue & Papa. Bahkan, dikala ia meninggal, gue tak bisa memandang wajahnya untuk terakhir kali. Kabar duka kuterima lewat e-mail yg diantarOm Sugeng, sepupu Papa, sehari setelah dimakamkan. Mama terenyak. ia lama termangu meski tak menangis seperti yg kucemaskan.
Lima tahun silam Papa mencetuskan niatnya. Aku nyaris tersedak kopi panas dikala mendengarnya. Kupikir ia sedang bercanda tatkala berujar ingin ke Indonesia, menghabiskan sisa umur di sana. Itu banyolan tak lucu di minggu pagi. Papa mengaku sudah lama kangen negeri kelahirannya. Entah apa yg membuatnya ingin pergi. Buatku, keinginan Papa abnormal & sentimental. Jerman & Indonesia jauh jaraknya. Jika sekadar nostalgia, cukuplah beberapa ahad ke sana. ia sudah beberapa kali pakansi ke Indonesia. Mencintai suatu negara tak harus hidup di negara itu. Sejak pensiun, Papa lebih banyak di rumah. ia tak kesepian & tak kelemahan apa pun. Ada saja rutinitasnya, membaca buku & merawat kebun kecil di belakang rumah. Jika bosan di rumah, ia ke toko kaset & CD bekas milik temannya; berlama-lama di sana, mendengarkan lagu-lagu lawas.
Tak kuasa membendung niat Papa, kami pun terpisah. Papa erat memeluk kami di bandara. Aku sedih sekaligus turut mencicipi senang yg mekar di hatinya. Mama mendukung apa pun kehendak Papa sepanjang itu baik baginya.
Dari negeri jauh, Papa mengirim e-mail, mengabarkan keadaannya baik-baik saja. Papa berbelanja rumah kecil di suatu kampung. Tanah belakang & samping rumah ditanami singkong, sayur, & buah. ia suka keliling kampung bersama sahabat masa kecilnya, masuk ke pasar-pasar, atau pakansi ke luar kota. Lewat sejumlah foto yg ditambahkan, kulihat rambut peraknya kian jarang. ia masih suka mengenakan celana sedengkul tiap bepergian. Kacamata yg dikenakan masih yg sama tatkala ia meninggalkan kami.
Seiring waktu, komunikasi kami perlahan menyusut. Ingatanku ihwal Papa muncul-karam di tengah rutinitas sebagai mahasiswi, menemani Mama di rumah, pula bareng pacar & teman-teman.
Ada darah Indonesia dlm tubuhku. Opaku asli Belanda, puluhan tahun silam tinggal di Indonesia. Opa menikahi wanita Jawa & mempunyai empat anak. Papa anak sulung. Menjelang negeri itu merdeka, orang-orang Belanda berbondong-bondong pulang ke negeri asal. Opa menjinjing Oma & semua anaknya. Papa masih kecil ketika itu, tak mengerti apa-apa perihal perang. Setelah sampaumur, Papa menikahi Mama kemudian pindah ke Jerman. Papa pernah bilang, gue putri tunggalnya, mewarisi garis wajah Oma, perempuan yg tak pernah kulihat alasannya meninggal sebelum gue lahir.
Cukup banyak orang Indonesia tinggal di Jerman. Mayoritas sedang menempuh studi. Dari mereka, gue menabung info tentang negeri itu. Beberapa kolam sales tempat rekreasi mempromosikan tempat-tempat eksotis di sana. Aku lebih terpesona pada Tika. Perempuan kurus & berkacamata itu justru nampak jengah tatkala kutanya perihal Indonesia.
“Renee, orang-orang pandai & idealis tak dapat tempat di sana. Tak dihargai dgn patut. Negeri itu kaya tapi salah urus di tangan orang-orang tamak & metode yg kusut. Akibatnya rakyat tak mampu menikmati kemakmuran,” cetusnya ketus.
Lain waktu, ia berkata banyak pemimpin bermental korup di sana. “Barangkali di kehidupan sebelumnya mereka tikus-tikus raksasa, semua giginya taring tajam, mengerat apa saja tergolong ekornya sendiri.” Ia enggan pulang & ingin pindah kewarganegaraan. Menurutnya, banyak orang Indonesia pergi ke luar negeri demi mencari kehidupan yg lebih baik. Sebagian berhasil, dihargai, & hidup mapan. Yang bernasib malang pula banyak. Dalam rangkaian kisah itu, Papa kerap hadir dlm benakku. Entah bagaimana nasibnya di sana.
Sebulan sesudah Papa meninggal, tiba paket dr Indonesia. Kardus berisi barang-barang Papa. Ada sepucuk surat berisi goresan pena tangan Om Sugeng. Papa menitip amanat supaya semua barang itu kusimpan. Pakaian, kacamata, buku, album foto, tongkat kayu, wayang, pula pernak-pernik yg tak kutahu gunanya.
Perhatianku tertuju pada suatu CD dikemas plastik transparan. Bersama Mama, kuputar kepingan itu di laptop. Isinya film. Lebih terkejut lagi melihat Papa jadi tokoh utama di dalamnya. Meski dibuat ala kadar, gue mampu menyaksikan Papa semasa hidup. Bagaimana kesehariannya di rumah; menyapu lantai, menjemur pakaian, membaca koran, memasak nasi, & memberi makan merpati. Adegan & latar silih berubah. ia menunjukkan gerbang sekolahnya dahulu, keliling kota naik delman, kiri kanannya sawah hijau membentang, gerombolan anak sekolah dgn beragam ekspresi tatkala disorot kamera. Papa pula sempat mencetuskan cintanya padaku & Mama. Aku menonton film sepanjang nyaris satu jam itu dgn perasaan campur aduk: bahagia, terkejut , heran, haru, pula rindu. Ah, Papa serasa jauh untuk kujangkau.
Indonesia tak pernah jadi pecahan mimpi-mimpiku. Dari sejumlah tempat di dunia yg ingin kusinggahi, negeri itu abai kucatat. Namun, siapa bisa menduga hidup. Seperti meniup balon, niatku pergi ke Indonesia makin membengkak. Mama mengizinkanku berlibur musim panas di tanah leluhur. Menurut Mama, gue mewarisi sifat Papa, suka bertualang & keras kepala. Maka, begitu roda pesawat Air Berlin membentur landasan bandara, kubayangkan sedang melangkah ke ekspresi macan lapar. Lampu kuning dlm benakku berkedip-kedip, mengingatkan untuk senantiasa waspada. Sesuatu yg jelek mampu saja menimpaku di sini. Beruntunglah gaya angkuhku menciptakan nervous itu tak mendominasi.
Tengah malam di Jakarta tatkala gue berada di antara kerumunan insan, Om Sugeng yg wajahnya cuma kuhafal lewat beberapa foto, telah menanti di bandara. Ia jauh-jauh tiba menjemput. Tak kusangka mampu bertemu famili yg tinggal di belahan dunia lain. Aku akan bermalam di rumahnya. Perjalanan ke Semarang ternyata sungguh jauh, dgn rute meliuk-liuk & jalan rusak di banyak tempat. “Negeri ini perlu dijajah Belanda lagi untuk punya jalan raya yg manis & infinit.” kata Om Sugeng sambil terkekeh. Duduk di dingklik tengah, gue memandang bahunya yg duduk di sebelah kiri sopir.
Di tempat Genuk, gue teringat Tika. Ucapannya terbukti. Jalan raya di tempat ini rusak parah. Mobil & truk mirip merangkak. Debu tanah beterbangan, siap menyakiti kanal pernapasan. Parit-parit di tepi jalan, airnya hijau pekat, tak mengalir, & banyak sampah terapung.
Papa mewariskan rumahnya untuk warga kampung. Jika ada hajat bareng , bisa memanfaatkan rumah itu. Ada suami-istri yg diberi amanat untuk tinggal di sana & merawatnya. Garasi kosong disulap jadi perpustakaan gratis. Banyak buku & tumpukan koran di sana. Untuk mengenang Papa, sejumlah fotonya dipajang di dinding perpustakaan.
Satu dua tetangga datang ke tempat tinggal Om Sugeng. Aku tak paham yg mereka bincangkan. Kata Om Sugeng, mereka memuji Papaku selaku orang baik. Aku tersanjung tatkala ditawari singgah ke rumah mereka. Hari ketiga gue bersua Om Karel, sobat karib Papa. Menjelang petang, ia datang. Tubuhnya tambun, tinggi besar, berkacamata tebal, & rambutnya berwarna perak. Kami bertiga larut dlm obrolan perihal Papa. Rupanya Om Sugeng & Om Karel pernah lama di Eropa. Mereka pula tahu dongeng cinta Papa & Mama. Om Karel mengungkapkan bahwa Papa meninggal dlm pelukannya. “Papamu tersenyum saat itu, Renee.” Di balik kacamata tebalnya, meski tersenyum, mata Om Karel berkaca-kaca. Aku hanya mampu meremas gagang kursi ketika itu.
Om Sugeng mengeluarkan dua album berisi foto lama. Banyak foto Papa ketika belasan tahun. Mengamati satu per satu, gue terkesima & haru menyaksikan isinya.“Papamu paling ganteng ketika itu,” puji Om Sugeng. Papa memegang gitar & biola, mengapit bola kaki, berpose di depan mobil renta, sedang menikmati makanan, berangkulan dgn beberapa sahabat, & banyak lainnya.
Esoknya Om Sugeng & Om Karel mengantarku ke semua tempat dlm film yg kutonton. Deretan kios pedagang merpati, sawah yg dilintasi belum dewasa sekolah, gerbang sekolah, pula masuk ke lorong-lorong pasar yg kumal & amis. Berada di tempat-tempat itu serasa Papa hadir di antara kami tetapi tak terlihat. Lain hari, gue diajak ke Kota Lama, dijuluki Little Netherlands, tempat leluhurku pernah tinggal nyaris seabad kemudian. Banyak bangunan berarsitektur Belanda di sana. Sebagian masih berfungsi, yang lain terbengkalai.
Om Sugeng & Om Karel mengantarku ke makam Papa. Kondisinya menyedihkan. Jika Papa dimakamkan di Jerman, takkan begini bentuk rumah terakhirnya. Gundukan tanah memanjang, dipagari watu-kerikil kecil. Kemarau menciptakan tanah makam retak-retak. Dua papan menancap di ujung gundukan. Di papan paling atas tertera nama Papa, tanggal lahir, & wafatnya. Ada taburan bunga yg sudah kering. Om Karel menaburnya beberapa hari kemudian sekaligus mengabari Papa bahwa gue akan tiba.
“Setiap orang punya definisi berlawanan terhadap kebahagiaan, Renee. Papamu sudah menentukan bahagianya sendiri.” Om Karel menatapku tajam di malam terakhirku di Indonesia. Aku tak sanggup merespon petuahnya.
Setelah hampir dua pekan berlibur di sana, lampu kuning yg berkedip-kedip di benakku sudah berubah lampu hijau. Aku tak tahu apakah negeri itu menerima cinta Papa. Satu hal yg kuyakini, Papa begitu mengasihi Indonesia & memperoleh bahagianya di sana. (*)