Sejak kecil gue tak pernah jauh dr asap. Pagi hari, asap membubung dr dapur ketika Emak mengolah makanan. Asap mengepul di dapur sebelum terlempar jauh tinggi ke awang-awang. Aku senantiasa ingin ikut Emak memasak, tapi Emak melarang. Kata Emak, asap itu tak baik, suatu saat mampu membunuhku. Mendengar ucapan Emak, gue heran. Sebab, Bapak selalu menghirup asap sambil memegang rokok kretek. Toh Bapak tak mati.
Setiap hari gue pula menciptakan asap seperti Emak. Sore hari, gue & dua temanku, Enggar Cino & Halim Kliwir, suka sekali aben uwuh di belakang rumah. Sebelumnya, kami kumpulkan uwuh berupa daun-daun kering & sampah dr dlm rumah. Kami menghimpun & membakar ramai-ramai. Asap ke mana-mana, sebelum membubung ke langit.
Kami bertiga sepakat memberi nama itu negeri asap, alasannya seluruh udara putih kental. Mirip negeri dongeng yg pernah Emak ceritakan.
Semua kecintaanku terhadap asap bermula dr situ. Dari sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu & berlantai tanah liat.
Setiap hari jikalau Emak mengolah makanan, tanpa diperintah gue mengumpulkan kayu di belakang rumah. Emak tak membolehkan gue ikut mengolah makanan. Aku beberapa kali menawar, merengek, semoga diberi tugas mengkremasi kayu. Emak risikonya baiklah. Aku senang sekali. Mulai saat itu tatkala Emak hendak mengolah makanan, pagi & sore, gue menjadi tukang bakar. Aku yg menciptakan nyala api di dapur Emak.
Mulai saat itu tugasku bertambah. Bukan cuma jadi juru kumpul kayu. Pangkatku pun naik, jadi juru bakar. Aku senang sekali. Setiap kali Emak bersiap mengolah makanan, kayu sudah kutata di tungku. Tungku itu yang dibuat dr dua watu kotak besar dgn lubang di tengah-tengah. Disitulah daerah mengkremasi kayu; asap membubung. Aku senang sekali, negeri asap buatanku alhasil jadi.
Suatu sore, setelah membuat negeri asap di dlm rumah, gue pergi ke belakang rumah. Enggar Cino & Halim Kliwir sudah menanti. Sore itu kami bertiga akan menciptakan negeri asap lagi. Seperti biasa, sampah rumah & daun kering kami kumpulkan. Lalu kami bakar ramai-ramai dgn korek kayu. Aku meminjam korek kayu Bapak, meski tak minta izin. Sore-sore lazimnya Bapak tak menghirup asap. Bapak sedang tidur di kursi bambu depan rumah.
Asap kembali mengepung kami bertiga. “Negeri asap! Horeee!” teriak kami.
Negeri asap ciptaan kami hari itu sungguh istimewa. Asap yg kami buat lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Hari itu sampah & daun-daun kering yg kami kumpulkan banyak sekali. Kami berburu uwuh dengan sangat bagus.
Suatu tatkala gue punya planning membuat asap lebih besar lagi. Aku secepatnya mengundang Enggar Cino & Halim Kliwir untuk berkumpul. Aku memberikan rencanaku. Rencana yg tiba-tiba tiba bagai inspirasi tatkala gue berak. Aku menganjurkan sebuah permainan ”Pembakar Hutan & Polisi-polisian” . Saat itu kami sepakat menciptakan undian. Dengan suit kami menentukan kiprah. Aku kalah. Aku menerima peran jadi pembakar hutan, sedangkan Enggar Cino & Halim Kliwir jadi polisi.
Dibantu mereka, gue menyiapkan sampah & daun kering. Beberapa daun kelapa yg gres jatuh pula kami kumpulkan. Batang-batang kayu kering kami pangkas & tumpuk. Semua serabut kelapa didalam rumah kami cerabut dr batok. Akar kering & daun jati kami pangkas habis. Bahan bakaran sudah siap. Permainan siap kami mulai.
Enggar Cino & Halim Kliwir berlari ke pos, tak jauh dr bebakaran. Mereka berdua siaga disana. Aku sembunyi ditempat yg tak mereka ketahui. Tugasku jadi pembakar hutan. Akulah pencuri kayu & pembuka lahan gres. Aku si pembakar hutan harus lihai. Semua harus berjalan lancar agar tak tertangkap tangan. Permainan ini sungguh mendebarkan.
Aku pun berjingkat. Berjalan pelan & sesekali menengok ke arah mereka. Aku sembunyi diantara pohon-pohon besar. Badanku yg kecil mendukung aksiku. Aman. Dengan memanfaatkan kelengahan mereka, gue mendekati lokasi. Tujuanku membakar tumpukan sampah. Karena pengamanan mereka kembali ketat, tak mudah bagiku sampai ke materi bebakaran.
Sewaktu Enggar Cino & Halim Kliwir berpencar untuk bergerilya, gue mengambil kesempatan untuk menyerang. Akhirnya, dgn gerakan cepat, gue sampai ke target. Segera ku nyalakan korek api, membakar daun-daun kering, kemudian menempatkan dibagian paling bawah. Tidak lama uwuh itu terbakar. Api menyala begitu besar, melampaui tinggi badanku. Asap mengepul ke mana-mana. Jantungku berdebar. Negeri asap di belakang rumah menyala mahir & melepaskan asap begitu banyak.
Setelah kebakaran ahli itu, segera gue lari sekuat tenaga agar mereka tak menangkapku. Terlambat. Enggar Cino & Halim Kliwir sudah mengepungku. Enggar Cino dihadapanku, Halim Kliwir tepat di belakang. Mereka merentangkan tangan sambil memindah kaki ke kanan & ke kiri. Aku terdesak. Susah payah gue mengelak , berlari ke kanan. Namun Enggar Cino segera menawan lenganku. Halim Kliwir menjangkau kakiku. Kami bertiga jatuh di tanah. Keadaan menegangkan. Tiba-tiba suara Emak melengking dr dapur. Emak membentak kami yg masih terjungkal. Kami terkejut bukan main. Akhirnya permainan itu selsai dgn kemarahan Emak padaku. Kami bertiga bubar sembari tertunduk lesu. Enggar Cino & Halim Kliwir melirikku. Kami bertiga tersenyum kecut. Setidaknya asap buatan kami membubung bagus, menerobos daun-daun, & melayang ke langit. Dalam hati, gue memekik girang.
Sejak sore itu, tatkala Emak sibuk memasak, kami bermain ”Pembakar Hutan & Polisipolisian” lagi. Aku bertugas kembali mencuri kayu & membuka lahan baru. Sembunyi-sembunyi kami membuat negeri asap dibelakang rumah. Hari selanjutnya, negeri asap kami buat lebih jauh dr dapur rumah. Tentu biar Emak tak curiga & agresi kami berjalan tanpa hambatan.
Sejak saat itu pula, alasannya gue yg sering jadi pembakar, julukan itu semakin melekat padaku. Enggar Cino & Halim Kliwir menjulukiku Joko si Pembakar.
Setelah keluargaku & beberapa tetangga mendapat perintah pindah ke luar pulau, julukan itu rampung. Mereka berdua pindah ke tempat berbeda. Aku duka sekali.
Ketika gue tanya, Bapak cuma berkata itu acara pemerintah. Begitu seingatku.
Negeri asap sudah berlalu. Bertahun-tahun telah lewat. Setelah dewasa, gue pun mengelana, tiba ke sebuah kota besar untuk melanjutkan sekolah. Disini, tanpa kuduga, gue mirip kembali ke masa kanak dulu.
Saat ini, gue berdiri memimpin suatu rombongan besar. Aku bersiap melawan siapa pun, mengkremasi apa pun. Aku seperti tengah berhadapan dgn Enggar Cino & Halim Kliwir, dulu, dibelakang rumah.
Aku secepatnya berlangsung pelan, lalu melaju, kian cepat, terus melaju. Hari ini, seperti dahulu, gue bersiap membuat negeri asap lagi. Kami menembus hujan peluru, membakar kendaraan & apa pun yg bisa kami bakar. Kami terus melawan.
Sedikit demi sedikit, kami mirip meruntuhkan tembok besar, menghancurkan kekukuhan kekuasaan. Bukankah perdamaian tercipta dr kehancuran & akhir hayat? (*)