Sejak ditemukan dan kemudian diserahkan ke Perpustakaan Bodleian, Oxford pada tahun 1627 oleh Saudagar Andrew James, seorang Saudagar asal Newport, naskah Bujangga Manik (BM) sempat terlewatkan selama era waktu tiga masa lamanya. Barulah lalu pada tahun 1968 (341 tahun kemudian!), seorang peneliti Sunda asal Belanda, Jacobus Noorduyn, memanfaatkan data yang terdapat dalam naskah BM. Dan cuma seorang Noorduyn pula, yang selama berpuluh-puluh tahun mengabdikan dirinya bergelut dengan naskah ini. Upayanya berujung pada postingan singkatnya “Bujangga Manik Journeys through Java : Topographical Data from an Old Sundanese Source” (BKI, 138:413-42).
Sayangnya, Noorduyn berpulang sebelum sempat menginformasikan penelitiannya yang menyeluruh atas naskah ini. Untunglah, seorang teman yang juga peminat budaya Sunda dan Nusantara berkebangsaan Belanda, A. Teeuw melengkapi kajian-kajian Noorduyn atas tiga puisi Sunda kuna (termasuk Bujangga Manik) dan lalu diterbitkan dalam bukunya ‘Three Old Sundanese Poem’ (2006). Noorduyn dan A Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada kurun Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Seperti biasa diketahui, bahwa Malaka menguasai jalur perniagaan sejak tahun 1440. Dalam rentang waktu itulah kiranya, perjalanan suci Bujangga Manik berjalan.
Dari hasil-hasil observasi itulah kita mampu memperoleh citra, bahwa teks Bujangga Manik menceritakan seorang petapa Sunda-Hindu yang, walaupun berkedudukan selaku Tohaan (Pangeran) di istana Pakuan, lebih menentukan hidup selaku petualang yang senantiasa mencari kepuasan rohaninya. Petualangannya menjelajahi kawasan-daerah itulah, yang selalu kita ingat di periode sekarang. Tempat yang ia singgahi lebih dari 450 kawasan, termasuk di antaranya ada sedikitnya 90 nama gunung dan 50 nama sungai, terbentang dari Sunda bagian barat (Pakuan) hingga pulau Bali. Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Teeuw, selain mempunyai fungsi sastra yang indah dan menghibur, teks BM juga menjadi petunjuk ensiklopedis perihal banyak sekali segi kehidupan kontemporer: baik budaya, geografi, sejarah, bahasa, dll. Keistimewaan lain dari naskah puisi yang berjumlah 1641 baris ini, adalah bahwa pada kenyataannya– mirip naskah-naskah Sunda antik yang pada umumnya otentik dan tidak disalin – naskah BM tiada duanya dan cuma satu-satunya di dunia (codex uniqus).
Memory of the World
Memory of the World (MOW) ialah salah satu acara UNESCO yang mulai dirintis pada tahun 1992. Program ini dilatar-belakangi oleh kesadaran akan pentingnya kelestarian, dan akses ke, warisan dokumenter di banyak sekali kepingan dunia. Perang dan pergolakan sosial, serta kurangnya sumber daya, telah memperburuk duduk perkara yang signifikan kepada koleksi di seluruh dunia: penjarahan, penyebaran, perdagangan ilegal, kerusakan, kurangnya sarana dan prasarana dan pendanaan menjadi cukang lantaran dibentuknya acara ini.
Sejak Indonesia menjadi bagian dalam MOW pada tahun 2006 (dengan terbentuknya Komite Nasional MOW), sampai ketika ini setidaknya sudah didaftarkan tiga karya unggulan bangsa Indonesia, ialah Negarakretagama (Manuskrip berbentuk Kakawin berbahasa Jawa Kuno), I La Galigo (Karya prosa lirik panjang asal bugis), dan Mak Yong (Kesenian Melayu). Pada tahun ini pun sedang diupayakan Babad Diponegoro untuk dijadikan Memory Of The World.
Menurut hemat penulis, naskah Bujangga Manik merenah pisan apabila terdaftar selaku salah satu masterpiece melalui MOW ini. Bagaimanapun, BM merupakan salah satu kekayaan budaya penduduk Sunda dan Nusantara yang mampu ‘mengembalikan’ kenangan urang Sunda pada kurun lalunya, menyembuhkan amnesia utamanya terhadap kawasan-tempat yang pernah dia singgahi. Simak saja catatannya dalam perjalanan lewat citarum: “leumpang aing ka baratkeun/ tiba ka bukit Paténggeng/ Sakakala Sang Kuriang/ kurun dék nyitu Ci-Tarum/ burung tembey kasiangan”. Dari sekelumit catatan itu terang sudah bahwa dongeng legenda Sangkuriang membuat bendungan sudah ada sekurang-kurangnya pada kurun ke 16, dan ingatan itu tetap menempel pada urang, Sunda, berabad-abad lamanya.
Naratas Jalan
Dari gambaran singkat diatas, kiranya kita bisa ngabungbang naratas jalan, menyebabkan naskah ini bagian dari dunia melalui Memory of the World yang menjadi program UNESCO. Tarekah untuk itu mampu dimulai dengan membentuk komite local yang terdiri dari para ahli, praktisi, budayawan, dan pemangku kebijakan tingkat setempat. Dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud, bukan Disbudpar), peneliti, filolog, akademisi dan forum pendidikan mirip UNPAD, UPI, UNPAS, dan UIN mampu bersinergi merumuskan langkah-langkah strategis sekaligus merencanakan semua keperluan teknis yang diperlukan, untuk lalu diajukan kepada Komite Nasional. Komite nasional sendiri berisikan lembaga-forum, baik pemerintah maupun swasta, seperti LIPI, Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Musium, Media Cetak dan Elektronik, Swasta dan Perguruan Tinggi. Barulah kemudian, Komite Nasional melanjutkan pada Komite Internasional.
Secara formal, poin-poin justifikasi kelayakan terhadap naskah BM tidak perlu diragukan. Keotentikan naskah ini sudah dibuktikan dengan cukup membuat puas oleh telaahan Noorduyn dan Teeuw semenjak tahun 1968, bahkan data-data yang terdapat di dalamnya sudah dimanfaatkan oleh disiplin lain. Signifikansi dan keunikan naskah BM telah menyanggupi syarat sebab di dalamnya berisi rekaman perjalanan, gambaran geografis, sosial, kehidupan keagamaan, yang ditulis menurut kesaksian seorang pribumi. Jangan lupa pula bahwa Bujangga Manik, layaknya Mpu Prapanca yang menggubah Nagarakretagama, dengan penuh kesadaran mempunyai visi jauh ke depan untuk generasi selanjutnya ketika ia menegakkan lingga dan membuat arca “(nu peundeuri).
Memang agak disayangkan, bahwa naskah Bujangga Manik pada kenyataannya bukan milik lembaga penyimpanan di Indonesia. Ia tersimpan dalam sebuah daerah penyimpanan nun jauh di Oxford, Inggris sana. Tapi ketika kita membaca kisahnya yang fantastis, dengan ungkapan Sunda bihari yang sebagian masih dapat dikenali oleh orang Sunda kiwari, menciptakan kita (baca: urang Sunda) bergumam dalam hati “Ini yakni milik kita”. Oleh : Aditia Gunawan.