Nashr Al-Din Tusi Filosuf Islam Pasca Ibnu Rusyd

Nashiruddin at-Tusi
Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Yang dimaksud dengan ungkapan Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd adalah tradisi kefilsafatan yang berkembang di daerah teritorial Islam di kala setelah wafatnya Ibn Rusyd.

Istilah Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd (Post-Averroes Philosophy) sendiri dipopulerkan oleh seorang ahli Iran berjulukan Henry Corbin, untuk membantah pandangan arus-utama bahwa sesudah Ibn Rusyd simpel tradisi Filsafat Islam ‘mandeg’ dan ‘mandul’.

Buku-buku teks persyaratan perihal Filsafat Islam yang dikarang baik oleh orang Arab maupun orang Barat orientalist sampai ketika ini masih menilai bahwa tradisi kefilsafatan di Dunia Islam simpel hilang sehabis wafatnya Ibn Rusyd.

Tuduhan ini tidak mendapatkan kebenarannya ketika menyaksikan begitu banyaknya tokoh filsof Islam yang timbul, bahkan melebihi Ibn Rusyd itu sendiri. Contoh faktual yaitu hadirnya seorang tokoh filsafat dalam Islam yakni Nasiruddin Al-Tusi. Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi kemajuan ilmu wawasan modern sungguh tak ternilai besarnya.

Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan bermacam-macam ilmu mirip, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, sampai ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu mempunyai nama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa anutan filsafat Nnasirudin At-Tusi, biografi dan karyanya.

B.       Nashruddin Tusi

1.        Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya yaitu Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasan. Ia seorang sarjana yang jago dalam bidang ilmu wawasan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya At-Thusi alasannya ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya berjulukan Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Kemudian ia mempelajari fiqih, ilmu pesan yang tersirat, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan matematika.[1]

Ia lahir pada awal periode ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami abad-abad sulit. Karena apada abad itu tentara mongol yang begitu besar lengan berkuasa menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan orangnya dibantai habis serdadu Mongol dengan sungguh kejam.[2] Thusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di sana dia berguru tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al Din, matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari Salim ibn Badran.

Di periode kehidupannya, Nashiruddin Ath-Thusi diketahui selaku Ilmuwan yang serba bisa (multi talented). Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan modern sangat tidak terhitung nilainya besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan bermacam-macam ilmu astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang pada zamannya Nashiruddin memiliki banyak nama, antara lain; Muhaqqiq Ath-Thusi, Khuwaja thusi, dan Khuwaja Nasir.

Sebagai permulaan karirnya beliau populer andal di bidang astronomi, ialah pada pemerintahan Nasir Al din ’Abd Al Rahim di benteng gunung Ismailliyah Quhistan. Popularitasnya makin melesat sampai pemerintahan ’Ala Al Din Muhammad, Syek Agung VII dari Alamut.

Pada tahun 1259 M, Nashiruddin membentuk Observatiorium Maraghah, yakni sebuah majlis yang mahir yang terdiri atas orang-orang arif dan pintar dengan menciptakan rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat. Observatorium Maraghah mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dan dibantu oleh jago astronomi dari Cina. Teknologi yang digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di Observatorium itu ternyata merupakan inovasi Nashiruddin, salah satunya ialah ’kuadran azimuth’. Selain itu, beliau juga membangun perpustakaan di Observatorium itu. Koleksi bukunya terbilang lengkap, terdiri atas beragam ilmu pengetahuan. Di kawasan itu, Nashiruddin tidak hanya membuatkan dibidang astronomi saja. Dia pun turut berbagi matematika serta filsafat.[3]

2.        Karya-Karyanya

Nashiruddin At-Thusi yakni seorang sarjana populer selaku seorang yang lebih mahir ketimbang andal pikir yang inovatif. Ia banyak menciptakan pencerahan-pencerahan dalam agama, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk realisasi aktifitas kesehariannya. Sebagai seorang ilmuwan pastinya tercermin dari karya-karya tulis yang mampu kita lihat hingga hari ini, di antara karya-karyanya antara lain:

1.         Karyanya di bidang logika;

a.    Asas Al-Iqtibas,

b.    At-Tajrid fi Al-Mantiq,

c.    Syarh-i Mantiq Al-Isyarat,

d.   Ta’dil Al-Mi’yar,

2.         Karyanya di bidang Metafisika;

a.    Risalah dar Ithbat I Wajib,

b.    Itsat-i Jauhar Al-Mufariq,

c.    Risalah dar wujud-i Jauhar-i

d.   Mujarrad,

e.    Risalah dar Itsbat-i ’Aql-i Fa’al,

f.     Risalah Darurat-i Marg,

g.    Risalah sudur Kathrat az Wahdat,

  Filsafat Islam Dunia Islam Barat Ibnu Bajjah Dan Ibnu Thufail

h.    Risalah ’Ilal wa Ma’lulat Fushul,

i.      Tashawwurat,

j.      Talkis Al-Muhassal, dan

k.    Hall-i Musykilat Al-Asyraf.

3.         Karyanya di bidang budbahasa;

a.    Akhlak-i Nashiri,

b.    Ausaf Al-Asyraf.

4.         Karyanya di bidang teologi/kepercayaan;

a.    Tajrid Al’Aqa’id,

b.    Qawa’id Al-’Aqa’id,

c.    Risalah-i I’tiqadat.

5.         Karyanya di bidang astronomi;

a.    Al-Mutawassithah Bain Al-Handasa wal Hai’a

b.    Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a

c.    Zubdat al-Hai’a (yang terbaik dari astronomi),

d.   Al-Tahsil fil An-Nujum,

e.    Tahzir Al-Majisti,

f.     Mukhtasar fial-Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan astrologi dan penanggalan),

g.    Kitab Al-bari fi Ulum At-Taqwin wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum (buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman).

6.         Karyanya di bidang aritmatika, geometri, dan trigonometri;

a.    Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab (Ikhtisar dari seluruh perkiraan dengan tabel dan bumi),

b.    Al-Jabar wa Al-Muqabala (Risalah perihal al-Jabar),

c.    Al-Ushul Al-Maudua (Risalah perihal Euclidas Postulate),

d.   Qawaid Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri),

e.    Tahrir al-Ushul,

f.     Kitab Shakl Al-Qatta (Risalah wacana triteral), sebuah karya dengan keaslian hebat, yang ditulis sepanjang era pertengahan.

7.         Karyanya di bidang Optik;

a.    Tahrir Kitab Al-Manazir,

b.    Mabahis Finikis Ash-shur’ar wa in Itaafiha (penelitian perihal refleksi dan dedfleksi sinar-sinar),

8.         Karyanya di bidang seni (syair), meskipun tidak sepopuler Omar Khayam dan Jalaluddin Rumi, beliau juga menghasilkan karya yang diabdaikan dalam bukunya yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-siqi dan Kanz At-Tuhaf.

9.         Karya di bidang medikal adalah Kitab fi Ilm Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku perihal cara diet, peraturan-peraturan kesehatan, dan kekerabatan seksual.

3.        Pemikirannya

a.      Filsafat Metafisika

Menurut Nashiruddin Ath-Tusi, metafisika terdiri atas dua bagian, pertama ilmu Ketuhanan (’Ilmi Ilahi), kedua filsafat pertama (falsafahi ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, logika, dan jiwa, pengetahuan perihal alam semesta dan hal-hal yang bekerjasama dengan alam semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan wacana kalangan-kalangan ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan keberadaan, kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang (furu’) metafisika itu termasuk wawasan ke-Nabian (nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi fuilsafat Islam dan lingkup pemberian terutama bagi sejarah gagasan-pemikiran .[4]

Bagi Ath-Tusi eksistensi Tuhan selaku postulat (yang sudah jelas akan kebenaran bahwa Allah Itu ada), mesti di yakini oleh manusia , dan bukan mesti dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan atau wujud Tuhan bagi manusia yaitu mustahil, alasannya pengertian insan perihal wujud Tuhan sungguh terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Ath-Tusi membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama, namun di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian keberadaan Tuhan, alasannya ini sebuah hal yang di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Nashiruddin Ath Tusi beropini sama halnya dengan filosof yang lain yang mengulas teori cretio ex nihilo ialah sebuah teori yang menyatakan adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. Yasiin: 82;

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin 36:82)

Dalam ayat ini sungguh jelas bahwa dalam pedoman Islam memisahkan antara Allah dengan alam yang intinya juga berstatus pada teori cretio ex nihilo yaitu bahwa alam pada awalnya tidak ada, lalu ada dengan perintah Allah.[5] Ia berpandangan Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan namun, dalam Fushul, dia meninggalkan perilaku itu sepenuhnya. Di situ ia menilai Tuhan selaku pencipta yang bebas dan menumbangkan teori tentang penciptaan alasannya adalah desakan. Jika Tuhan mencipta alasannya Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan, bermakna tindakan-langkah-langkah-Nya pasti berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, kalau satu bab dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu pasti juga menjadi tiada. Ini dikarenakan penyebab eksistensi-Nya itu diputuskan oleh ketiadaan bab-bab lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung kepada kebutuhan Tuhan, ketiadaan mereka risikonya menyebabkan ketiadaan Tuhan sendiri.[6]

Selanjutnya,  mengenai apakah alam ini qadim atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan (hadis), merupakan suatu dilema yang masih menjadi perdebatan dalam filsafat Islam. Ath Tusi berusaha memarpakan wacana alam ini di dalam bukunya yang berjudul Tashawwurat ( di tulis pada masa pemerintahan Ismailliah), ia melakukan suatu perujukan atas usulan Aristoteles dan Ibnu Maskawaih yang menyampaikan bahwa dunia ini infinit, alasannya adalah menyifatkan gerakannya pada penciptaan Tuhan. Ath-Tusi membantah pendapat ini, ia mengawali dengan mengecam iktikad cretio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan lalu Tuhan menciptakannya dari ketiadaan, “secara terang mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelu adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih potensial yang pada lalu hari gres diwujudkan, ini ialah penyangkalan atas daya cipta-Nya yang kekal. Kemudian Ath-Tusi menutup pembahasannya dengan istilah bahwa dunia ini abadi alasannya kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, dan dia tercipta (muhdats).

  Ibnu Tufail

Adapun dalam karyanya yang lain berjudul Fushul (risalah yang terkenal dan paling banyak di ulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya keyakinan ortodoks tentang cretio ex nihilo. Ia mengelompokkan Zat menjadi yang niscaya dan yang mungkin, beliau mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang niscaya; dank arena ia maujud balasan sesuatu yang lain dari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa dia dalam kondisi maujud alasannya penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakannya yang tidak mungkin itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdats).

b.      Filsafat Etika

Tujuan dari filsafat adab (akhlak) Nashiruddin Ath-Tusi ini ialah untuk menemukan cara hidup untuk mencapai suatu kebahagiaan. Agar bisa meraih kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta.

Menurut Plato, yang tergolong tindakan baik menyangkut kecerdikan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang mencakup nalar, kemarahan, dan hasrat. Namun Ath-Tusi dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori Plato, melainkan pertimbangan Tusi sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta selaku sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.

Sebagaimana kondisi dari tindakan baik, senantiasa di usik dengan tindakan jahat. Aristoteles menatap kejahatan selaku sebuah kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibnu Maskawaih, setelah ia menyebutkan kejahatan satu demi satu sampai hingga kedelapan terlalu kelihaian dan kebodohan (safat dan balahat), ceroboh dan pengecut (tahawwur dan jubbun), pemanjaan dan pemantangan (syarakat dan khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahanat). Berdasarkan contoh Aristoteles ini, iaa menggambarkan karena-alasannya adalah dan cara-cara menetralisir rasa takut dan duka. Namun, Ibnu Maskawaih tidak menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka duduk perkara ini Tusi mengkaji dan mendapatkan masalahnya.[7]

Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal lagi yang mempengaruhi budbahasa yaitu penyakit. Penyakit yang dimaksud dalam hal ini adalah penyakit adab insan, dimana penyakit ini ialah penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Ath-Tusi, penyakit budpekerti ini bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga alasannya, yaitu; keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran akal, kemarahan atau keinginan.[8]

Dari teori tiga alasannya ini, Tusi menggunakannya dengan cara mengelompokkan penyakit-penyakit fatal menjadi tiga kelompok penyakit-penyakit fatal akal teoritis yang terbagi menjadi tiga huruf, ialah:

1.        Kebingungan (hairat).

Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling berlawanan dan argumentasi yang semrawut, untuk dan kepada suatu duduk perkara yang kontroversial. Untuk menetralisir kebingungan, maka Tusi menyarankan biar orang yang resah disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, itu semua bertentangan dengan sifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam satu benda pada waktu yang serupa, sehingga ia mungkin mampu teryakinkan bahwa jikalau suatu hal benar, beliau mustahil salah, dan jikalau salah, ia mustahil benar. Setelah ia mengetahui prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran perihal hukum-hukum silogisme untuk mempermudah penemuan kekeliruan dalam alasan.

2.        Kebodohan Sederhana (jahl-i basit).

Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa beliau mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan sebuah keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari wawasan, namun sangatlah fatal jikalau merasa puas dengan keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakakanlah, dan bukannya penampilan lahiriah, yang menciptakan manusia berhak disebut manusia, dan bahwa manusia yang terbelakang itu tidak lebih baik dibandingkan binatang; bahkan lebih jelek dari itu karena hewan masih mampu dimaklumi sebab ia tak mempunyai logika.

3.        Kebodohan Fatal (jahl-i murakkab).

Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan insan kan sutau hal dan beliau merasa mengenali hal itu. Walaupun ia bodoh, ia tidak tahu bahwa ia memang bodoh. Menurut Ath Tusi, penyakit ini yaitu penyakit yang nyaris tak mampu disembuhkan, namun dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bareng .[9]

Pandangan Tusi secara keseluruhan, dia menganggap bahwa insan yaitu makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap dibandingkan dengan insan itu sendiri, insan harus mencapai sebuah etika yang bagus terhadap sesamanya samapi batas tepat. Kesempurnaan ini disebutnya dengan perdaban. Manusia hidup saling membutuhkan maka sangat tidak mungkin insan bisa hidup sendiri tanpa derma orang lain.

  Al Kindi & Al Razi

c.       Filsafat Jiwa

Pandangan Tusi tentang jiwa, beliau berpendapat bahwa jiwa merupakan sebuah realitas yang mampu terbukti sendiri dan alasannya adalah itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. secara kasat mata. Masalah semacam ini, pedoman yang lepas dari keberadaan orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab sebuah argumen masyarakat tentang adanya spesialis argumen dan sebuah problem untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama yang berjulukan jiwa.[10] Jiwa mmpunyai sifat sebagai substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk mengendalikan tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, namun jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat badan.

Kalau melihat kepada para filosof sebelumnya maka ada dikatakan dengan jiwa vegetatif ialah pada manusiawi dan hewani. Di luar dari itu, Ath Tusi menambahkan  satu jiwa lagi yakni jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (natiq) yang menerima pengetahuan dari logika pertama. Akal itu, ada dua jenis ; (1) nalar teoritis dan nalar simpel, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles. Dilihat dari pertimbangan al-Kindi, maka Ath Tusi berpendapat bahwa logika teoritis ialah suatu potensialisme yang perwujudannya meliputi empat tingkatan, yaitu logika material (‘aql-i hayulani), logika malaikat (‘aql-i malaki), nalar aktif (‘aql-i bi alfi’l), dan logika yang diperoleh (‘aql-i mustafad). Pada tingakatan terakhir (logika perolehan) setiap bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi aktual terlihat seperti tampang seseorang yang ada di dalam beling yang mampu dilihat oleh orang tersebut. Di segi lain, akal simpel berkenaan dengan langkah-langkah-langkah-langkah yang tak sengaja dan yang disengaja. Sebab itu, potensialnya diwujudkan melalui langkah-langkah-langkah-langkah sopan santun, kerumahtanggaan dan politis.[11]

Adapun tentang tradisi yang diterima Ath Tusi dari Ibnu Sina dan al-Ghzali, ia mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan logika sehat (mushawwirah) di awal bab pertama ruang otak yang kedua, khayalan di bab depan ruang otak yang ketiga, sedangkan ingatan berada dibelakang otak (otak kecil).

C.      Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Nasiruddin Al-Tusi yaitu Ilmuwan serba mampu. Julukan itu rasanya amat layak disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi kemajuan ilmu wawasan terbaru sungguh tak ternilai besarnya.

Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk menyebarkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, sampai ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu mempunyai nama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.

Pemikiran epistemologinya, At-Tusi mendukug akidah ortodoks mengenai cretio ex nihilo. Filsafat etikanya menerangkan bahwa manusia dalam mencapai kebaikan dituntut untuk sering berbuat baik, menerima kebaikan di atas keadilan dan cinta. Sedangkan filsafat jiwannya, dia berasumsi bahwa jiwa ialah sebuah realitas yang bias terbukti sendiri dan alasannya itu tidak membutuhkan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bias dibuktikan.

DAFTAR BACAAN

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’cendekia, 1976

______________,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

Syarif, M.M. (edt), History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Supriyadi, Dedi,  Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 311

[2] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009),  hlm. 246

[3] M.M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 236

[4] M. M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…,  hlm. 252

[5] A. Mustofa., Filsafat Islam … , hlm.320

[6] H. A. Mustofa (Edit), Thusi “dalam Akhlaki Nasiri” …, hlm.321

[7]  A. Mustofa., Filsafat Islam …, hlm. 315

[8] M.M. Syarif, Para Filosof … , hlm. 214

[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam …, hlm. 2253-254

[10] M.M. Syarif, Para Filosof … , hlm. 249

[11] Ibid., hlm. 250