close

Nalea | Cerpen Sungging Raga

Tidurlah, Nalea. Esok kita awet.

*****

Gadis kecil itu memucat, bibirnya membiru alasannya adalah dingin. Hujan belum pula reda semenjak sore tadi. Jalanan berair & sebagiannya menampakkan genangan pekat mirip mengambarkan begitu kelamnya kehidupan kota ini.

“Ini, pakai jaket,” kata ayahnya. Lelaki itu menjamah kening Nalea, & memang terasa hangat. “Sepertinya ananda masuk angin.”

Mereka sedang berteduh di etalase toko. Kemilau berair lampu-lampu jalan, papan reklame, pula sorot kendaraan beroda empat & motor, semua yakni cahaya yg menyelingi udara masbodoh di sekujur kota.

Nalea masih berbaring di pangkuan lelaki itu. Ia berkeringat, membuat helai rambutnya melekat di kening. Napasnya berat, & matanya setengah terpejam. Lelaki itu tak bisa membayangkan perasaan anak gadisnya sehabis segala insiden yg mereka alami: Kios sederhana mereka diangkut petugas penertiban siang tadi.

Siang itu, Nalea sedang duduk di pinggiran taman kota. Seperti biasa, ia berkumpul dgn bocah sebayanya yg berpakaian lusuh. Adakah yg lebih menggembirakan menyaksikan beberapa anak kecil tertawa riang, yg bahkan giginya belum lengkap, tetapi tetap mampu merasa bahagia walaupun kehidupan ini sesungguhnya teramat keras? Namun begitulah kebahagiaan mereka secara tiba-tiba berhenti tatkala mendengar bunyi keributan tak jauh di arah belakang. Tampak beberapa petugas berseragam turun dr kendaraan beroda empat. Rupanya hari itu ada penertiban preman, pengamen, & pedagang asongan.

Weh, ada satpol!”

Beberapa pengamen yg berusia dewasa sudah lebih dahulu melesat di gang-gang pertokoan. Ada yg bersembunyi di warung makan, di warung internet, sampai di toko pakaian. Sebagian petugas mengejar anak-anak itu, sebagian lagi mengontrol barang barang jualan yg ditinggalkan begitu saja. Perempuan-perempuan pengemis lari sambil menggendong bayi entah milik siapa, begitu pula peminta-minta yg awalnya berjalan terseok-seok datang-datang seperti menerima mukjizat untuk lari menghindari kejaran petugas.

Nalea segera teringat kios ayahnya yg berjarak sekitar dua ratus meter dr situ. Ia pun eksklusif berlari, menyeberang jalan, mengagetkan beberapa pengendara kendaraan beroda empat yg lantas membunyikan klakson berkali-kali.

  Ampo | Cerpen Andri Saptono

Woi! Sial anak kecil liar! Mampus saja!”

Nalea terus berlari. Ia melalui pedagang soto, pejalan kaki, tukang becak, tukang ojek yg sedang sibuk dgn gadget, & orang-orang lain yg tak ada relevansinya dgn kisah ini. Namun ada dua orang petugas yg terus mengejarnya.

Gadis itu pun hingga di suatu kios kecil. Ia membuka pintu samping kios, membangunkan seorang lelaki yg tengah tidur berbalut sarung.

“Ayah! Ayah! Aku diburusatpol.”

“Ha?” dlm keadaan setengah sadar, laki-laki itu lantas meminta Nalea masuk. Namun cuma berselang beberapa detik sampai dua petugas itu menemukannya.

“Oh, jadi curut kecil ini tinggalnya di sini,” salah seorang petugas berkata, lalu mengambil HT, “Mobil bawa ke sini, dua ratus meter arah barat. Ada kios yg mesti dimuat.”

Dalam keadaan masih tampak sakit kepala, ayah Nalea mengajak anaknya segera merapikan beberapa barang mirip buntalan baju, radio, & tas. Mereka mesti terburu-buru pergi jikalau tak ingin dibawa ke panti sosial.

“Lho, hei mau kemana?”

Lelaki itu menggendong Nalea & secepatnya menyelinap di pagar. Maka keduanya pergi, sambil sesekali menoleh pada petugas yg sibuk merobohkan kios semi-permanen itu…

*****

Nalea & ayahnya kemudian berjalan di pinggiran sungai. Setelah cukup lama, mereka duduk di suatu taman yg gres diresmikan oleh wali kota pekan kemudian.

“Ayah, kapan mau ambil kios kita lagi?”

“Tidak bisa, Nalea. Kita sudah mujur tak ikut dibawa.”

Gadis itu teringat beberapa temannya yg menangis minta tolong, namun tetap diseret pula ke atas mobil kolam terbuka. Belum lagi kalau melawan. Ia teringat Salem, bocah lelaki yg selalu menjadikannya tertawa karena suka bertingkah layaknya orang kaya, yg dgn tingkahnya itu justru menjadikannya terlihat semakin mengenaskan. Tatkala hari penertiban, bocah itu diseret & ditelanjangi sebab meronta & menendang selangkangan salah satu petugas.

Bayangan itu bantu-membantu bukan hal baru bagi Nalea. Ini hanya belahan lain dr hari-hari yg biasa.

Di taman, sekarang mereka makan jagung rebus, melihat orang-orang berlalu-lalang, sepasang anak muda bergandengan tangan, pedagang balon mendekati bawah umur kecil, pedagang rokok mengobrol dgn pedagang minuman, termasuk pula perempuan-perempuan yg gres pulang kerja.

  Yang Mulia Cerpen Insan Budi Maulana

“Ayah, perempuan yg itu anggun, ya.” Nalea menunjuk seorang perempuan dgn blazer merah yg sedang berlangsung sambil menghubungi.

Lelaki itu tersenyum. “Kamu ada-ada saja.”

“Apa dulu ibu pula anggun?”

“Ha-ha-ha. Ibumu… Lebih bagus! Lihat, ia melahirkan anak semanis kamu.”

Nalea tersenyum. Sebenarnya, laki-laki itu sudah usang ingin bercerita, bahwa ia bukan ayahnya. Dahulu, tatkala sedang memulung barang bekas, ia melihat seorang wanita turun dr mobil, meletakkan kardus di bawah sudut jembatan layang, kemudian kembali ke mobil & pergi. Tatkala didekati, didapatinya di dlm kardus itu seorang bayi. Saat itulah, laki-laki itu merasa iba, kemudian merawatnya. Ia memberi nama Nalea, nama yg ditemukannya dlm suatu cerita pendek di koran lama. Nalea kemudian berkembang dlm tumpukan sampah, kadang-kadang lelaki itu heran bagaimana bayi itu bisa bertahan hidup. Tatkala usia Nalea satu tahun, beberapa pengemis perempuan sering menyewanya untuk digendong mengemis seharian. Dan tatkala sudah bisa berlangsung, Nalea ikut memulung sampah, ia mulai mengetahui mana yg berguna & yg tidak. Sekarang ia lebih senang menjadi pedagang asongan.

“Kita cuma mesti menjalani hidup ini dgn sebaik-baiknya,” kata laki-laki itu tatkala Nalea berumur enam tahun.

Pernah pada masa kampanye wali kota, selama setengah tahun tak ada penggusuran alasannya berganti poster foto kandidat wali kota, kehidupan Nalea & ayahnya berada di titik terbaik: Mereka punya kios, sambungan listrik ilegal, & televisi. Nalea suka menonton kartun pagi hari sebelum pergi berjualan di lampu merah. Sementara ayahnya terus mempertahankan kios, ia sudah berhenti memulung & berganti berdagang rokok.

Namun apakah yg bisa ditawarkan televisi pada mereka? Selain program pernikahan selebiritis, televisi cuma menayangkan sosok inspiratif, pengusaha muda yg berhasil, keberhasilan penelitian, orang miskin yg kuliah di mancanegara. Semua itu demi sebuah optimisme, tak peduli bahwa lebih banyak yg gagal dlm hidup ini. Sementara kemiskinan cuma menjadi obyek dlm program realita sosial. Sudah miskin, diuji pula apakah jujur dgn kemiskinannya.

  Bapak Ingin Jadi Halimun | Cerpen Cerpen Pangerang P. Muda

Televisi itu sudah usang rusak. Dan kios itu pun kini sudah diangkut.

Matahari makin rendah di barat. Lelaki itu kembali berjalan, kali ini Nalea digendongnya. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya terasa ditindih batuan gunung, namun lelaki itu bertahan. Hingga tatkala hari pun gelap, mereka mulai mencari daerah untuk beristirahat. Namun mereka harus menanti sampai toko-toko tutup supaya mampu beristirahat diemperannya. Awalnya mereka sempat ingin mencari kolong jembatan, bantaran sungai, atau pinggir rel, namun semua tempat itu seakan sudah penuh oleh orang-orang bernasib serupa.

Akhirnya mereka melihat emperan toko alat-alat musik yg sepi & cukup higienis. Lelaki itu terlihat kian menggigil. Ia menghamparkan alas dr koran.

“Ayo pulang, Yah.”

“Pulang ke mana? Kita tak pernah punya rumah… Tidurlah dulu, besok kita beli obat biar demammu turun.”

Gadis kecil itu memeluk ayahnya. “Lho, badan Ayah pula panas?”

Namun laki-laki itu tetap menyelimutinya. Ia merogoh sakunya, tentu saja kosong. Bagaimana semoga mampu beli obat? Namun ia merasa tenaganya pun sudah habis, setidaknya untuk hari ini. “Besok saja kupikirkan,” gumamnya.

Malam pun lantas menidurkan keduanya, mirip nina bobo paling sunyi, dlm mimpi sisa kebisingan kota, dlm cuek sisa hujan yg seakan tanpa jeda.

*****

Pagi harinya, situasi berangsur ramai. Kesibukan yg sama nyaris saban hari, angkot berhenti menaik-turunkan penumpang. Suara klakson. Asap knalpot kembali memenuhi udara. Orang-orang terburu-buru, wanita mengenakan masker, berjalan sambil menghubungi. Pedagang koran meneriakkan isu utama. Bus kota sarat dgn wajah-wajah diam.

Suara tindakan kaki menciptakan Nalea tersadar, ia menyelisik selimut, & mengusap matanya. Di dekatnya terlalu banyak langkah kaki, terlalu banyak insan yg tak ia kenal, namun melihat kepadanya.

“Ayah, Ayah…”

Gadis kecil itu menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya, orang-orang yg kebetulan melintas akan menoleh kepadanya sesaat, kemudian lewat begitu saja. Sebab begitu banyak jadwal, begitu padat rutinitas. Begitu berguna satu helaan napas.

“Aku mau minum.”

Gadis kecil itu menepuk-nepuk pipi ayahnya. Tapi tak ada gerakan.

“Ayah?” (*)