Nabi Pernah Mencela Makanan?

“Duh masakan ini kok kayak kotoran kucing rasanya!”

“Rasa masakan ini kayak cucian belum kering.”

Anda barangkali pernah mendengar cacian terhadap kuliner seperti di atas. Tidak sama barangkali atau mungkin sejenis itu.

Tentang mencela makanan, fatwa ini merupakan isyarat , etika, budbahasa mulia & interaksi baik yg dilaksanakan Nabi Muhammad SAW Abu Hurairah meriwayatkan, ”Nabi tak pernah mencela makanan. Bila beliau menyukainya, beliau memakannya. Dan bila beliau tak menyukainya, dia tak memakannya (serta diam tanpa mencelanya).” (HR. Al-Bukharidan Muslim)

Dalam Syarh Muslim, An-Nawawi menjelaskan, “Ajaran ini merupakan etika yg disunnahkan terhadap makanan. Mencela maka : ialah seperti dgn mengucapkan, ‘Makanan ini asin, -dikit garam, masam, tak matang,’ atau kata sejenisnya. Adapun hadits yg menjelaskan bahwa Nabi SAW tak memakan binatang Dhabb; bukan merupakan hadits yg pertanda perbuatan mencela makanan, namun hanya mengabarkan bahwa makanan khusus ini tak ia senangi.”

Dalam kitab Fath Al-Bari, Ibnu Hajar mengungkapkan. “Kata ‘Nabi tak pernah mencela makanan’ ini berlaku untuk kuliner yg mubah, sedang untuk kuliner haram, Nabi akan mencela, menangkal, & melarangnya. Sebagian ulama menyebutkan bahwa bila cacat itu dilihat dr segi khilqah (sikap), maka ia akan mencelanya; Sedang bila dilihat dr sisi penciptaannya, maka ia tak akan mencelanya. Golongan ini menambahkan bahwa ciptaan Allah tak boleh dicela, sedang ciptaan/bikinan insan boleh dicela.”

Ibnu Hajar beropini, “Pendapat yg jelas menyatakan bahwa larangan mencela ini bersifat lazim (untuk ciptaan Allah maupun ciptaan/buatan manusia), alasannya adalah perbuatan mencela mampu mematahkan hati sang pembuat atau pencipta.”

An-Nawawi mengatakan, “Kata ‘Dan kalau dia tak menyukainya, dia tak akan memakannya’ adalah mirip langkah-langkah beliau atas hewan dhabb. Dalam riwayat Abu Yahya disebutkan, ”Bila dia tak menyukainya, ia akan diam (tidak mencelanya)! Sedangkan lbnu Bathal mengungkapkan, ‘Hal ini merupakan etika yg cantik, alasannya kadang-kadang seseorang tak menyukai sesuatu, namun orang lain menyukainya. Semua kuliner yg diizinkan syara’ untuk disantap tak boleh dicela…”

  Sudah Menjadi Tanggung Jawab Semua Untuk Menciptakan Sebuah LingkunganYang Bersih, Indah, Dan Nyaman. Setiap Individu Memiliki Tanggung JawabYang Sama Untuk Peduli Terhadap Iingkungannya, Dan MemastikanLingkungannya Tersebut Tetap Terjaga Serta Menjadi Lingkungan YangSehat.

Lihat pula Syarh Riyadh Ash-Shalihin, karya Ibnu Utsaimin.

Wallahu a’lam.  [Paramuda /Wargamasyarakat]