Mustajab dan Pak Bupati | Cerpen Sigit Widiantoro

Mustajab buta. Mata Mustajab tak bisa menyaksikan. Namun, tak ada orang di kampung kami yg begitu amat optimistis menghadapi hidup selain Mustajab. Hidup bukan gelombang maritim lepas atau hantaman ombak, begitu katanya. Hidup adalah sungai jernih & bening yg mengalir hening. Tak ada kotor, tak timbul keruh, & tak timbul kumal .

Mustajab galau bila ada orang yg stres menghadapi hidup. Hidup itu indah, tegas Mustajab, tak layak orang stres, sakit, bahkan memilih bunuh diri saat menjalani hidup. Dalam hidup memang hadir masalah, namun dlm hidup pula ada solusi. Dalam hidup timbul kesulitan, tapi dlm hidup hadir akomodasi.

Saat orang dibuat cemas menghadapi kerasnya hidup karena susah mencari kerja atau dipecat dr pekerjaannya, Mustajab tak beringsut dr menyambangi rumah-rumah. Ia mencari orang yg direndam penat, tak peduli perempuan atau pria, sampaumur atau belum dewasa, & mengelus-elus tubuh mereka hingga terlena. Hanya dlm tempo kurang dr satu jam, puluhan ribu rupiah masuk ke sakunya.

“Orang kerja dgn membuka mata. Itu pun duit belum tentu dapat. Namun, aku, cukup tutup mata, duit mengalir deras,” begitu Mustajab melukiskan pekerjaannya sembari tertawa & sedikit menyombongkan diri.

Mustajab memang sekadar tukang pijat tunanetra. Sekadar? Jangan ucapkan kata “sekadar” pada Mustajab, apalagi dgn nada merendahkan lantaran ia pasti naik darah. Bagi Mustajab, tunanetra & pijat yakni dua kata yg istimewa. Keduanya telah menciptakan Mustajab terkenal & diketahui hingga ketika ini hingga ia bisa memadai kebutuhan hidupnya dgn satu istri & dan tiga anak.

Tunanetra? Entah apa yg terjadi kalau Mustajab tak buta. Nasibnya mungkin bisa ngenes seperti Towil & Panut, dua karibnya yg mati disergap polisi gara-gara menjarah kayu jati. Berbekal keberanian minim, keduanya nekat. Towil ditembak di dada, Panut kekurangan napas hingga klenger di pinggir kali ketika menyelamatkan diri. Media-media menyebut mereka selaku penjarah kambuhan, padahal Mustajab tahu benar, Towil & Panut baru pertama kali mencuri jati.

Pijat? Siapa saja boleh memijat & dipijat. Namun, bagi Mustajab, pijat yg lezat, pijat yg melenakan hanyalah pijat yg dikerjakan para tunanetra. Karena, bagi tunanetra, tubuh manusia menyerupai tuts-tuts piano yg menimbulkan irama musik nan indah. Mustajab hafal benar, mana belahan tubuh yg ditekan & mana kepingan tubuh yg cukup disentuh semoga muncul harmoni.

Maka, pantas apabila Mustajab menjadi pujaan banyak orang. Hampir saban hari ia keluar rumah demi pasien-pasiennya. Dari rumah ke rumah, dr kampung ke kampung, bahkan Mustajab mulai mengenal dr desa ke desa. Nama Mustajab semakin dikenal setelah banyak pejabat menyenangi pijatannya. Mulanya pak lurah, kemudian pak camat, sekarang tubuh pak bupati sudah langganan ia pijat.

  Biografi Ayam Betina | Cerpen Dody Widianto

“Mengapa kemarin tak tiba, Jab?” Suatu ketika pak bupati pernah protes pada Mustajab lantaran ia tak muncul dikala pak bupati butuh pijatannya.

“Sakit mata, Pak,” jawab Mustajab sekenanya.

“Sakit mata?”

“Saya kira orang buta seperti saya sudah tak lagi terkena sakit mata, ternyata salah. Saya bisa pula kena belekan, Pak.”

Pak bupati tertawa, Mustajab tersenyum. Begitulah, di sela memijat, pak bupati mengajak Mustajab bercakap-piawai. Mustajab paham, mungkin pak bupati ingin menyerap kisah orang-orang kecil seperti dirinya alasannya adalah dr orang seperti dirinya itulah pak bupati mampu mengetahui nasib orang yg ia pimpin. Namun, Mustajab pantang mengeluh, termasuk di depan pak bupati. Hidup sudah terlalu indah bagi dirinya. Alhasil, justru di hadapan dirinyalah pak bupati yg kerap mengeluh.

Pak bupati mengeluhkan beberapa pejabat di bawahnya yg cakap bicara, tetapi jelek kerjanya. Orang-orang mirip ini, kata pak bupati akan tega bicara apa saja demi menutupi kejelekan dirinya. Pak bupati pula menyesalkan beberapa orang yg suka mengambil pungutan dr beberapa proyek yg tengah berlangsung. Bagi pak bupati, orang mirip ini tak akan segan menghalangi suatu pekerjaan kalau kantongnya belum terisi.

Mustajab jadi sedikit paham situasi pemerintahan. Di tengah pijatan nikmat yg ia keluarkan, pak bupati acap kali bicara tanpa sadar saat mata mulai diserang kantuk. Ia bicara apa adanya, bahkan tanpa rem, ngelantur. Mulut pak bupati bukan lagi bejana bocor, melainkan sudah jadi baskom pecah. Ia mirip tak sadar bahwa dirinya pejabat & yg ia hadapi ialah tukang pijat.

Situasi di kamar pijat antara Mustajab & pak bupati ternyata diketahui bawahan pak bupati. Mereka percaya bahwa Mustajab menyimpan seabrek belakang layar pribadi maupun kantor. Akhirnya para bawahan bupati, seperti lurah, camat atau kepala dinas, pula pengusaha, seperti para kontraktor atau broker proyek menggemari pijat Mustajab. Mereka minta Mustajab ke rumah seraya dipijat, tetapi selanjutnya mereka meminta & menyerap isu dr Mustajab.

Mustajab jengah mulanya. Ia menolak memanfaatkan & dimanfaatkan suasana itu. Mustajab cinta memijat. Ia tidak mau dunia pijatnya dikotori politik. Namun, sesudah orang-orang itu merayu & sedikit memberi tekanan, Mustajab hasilnya mengalah. Apalagi Mustajab melihat sendiri bagaimana orang-orang itu memberi jasa pijat pada dirinya seolah tanpa menjumlah. Mustajab ketagihan.

  Yang Mulia Cerpen Insan Budi Maulana

Namun, bukan karena argumentasi ini kalau Mustajab lalu berhenti ngider menjumpai pasiennya di rumah-rumah mereka. Mustajab merasa sudah waktunya dunia pijat-memijatnya dijadikan perjuangan serius. Selama ini Mustajab merasa pijat-memijatnya cuma begitu-begitu. Ia merasa waktunya habis saat berada di jalanan. Belum lagi, badannya cepat terserap letih. Akhirnya Mustajab tak optimal tatkala memijat pasiennya.

Memang istri Mustajab—yang pula pemijat tunanetra—bisa mengembalikan kebugaran dirinya. Namun, semua itu cuma sesaat. Mustajab tak tega meminta istrinya untuk menjamah & memijat dirinya saban hari sesaat ia diterjang lelah sehabis ngider. Apalagi, istrinya pula sering ketiban pulung, memijat orang yg tiba ke tempat tinggal mereka.

“Aku akan bikin rumah pijat di ruko bersahabat pasar,” cetus Mustajab pada istrinya.

“Yakin laris?” ujar istrinya mengingatkan.

“Di pasar banyak orang letih. Di situ pasti butuh tukang pijat. Belum lagi, pasien pijat yg selama ini sudah jadi langganan. Mereka akan tiba.”

Perkiraan Mustajab tepat. Berduyun-duyun orang lalu datang ke rumah pijatnya di ruko yg ia sewa. Dari mulai pedagang di pasar, sopir angkutan, para pegawai, hingga para penanggung jawab keselamatan & ketertiban kota, mirip polisi atau serdadu. Pukul delapan pagi Mustajab sudah membuka rumah pijatnya & pukul delapan malam ia tutup. Total Mustajab bisa memijat 6-7 orang setiap harinya.

Bawahan pak bupati? Mustajab tak akan lupa. Mustajab selalu siap menyediakan waktu bagi lurah, camat, kepala dinas, atau pengusaha yg ingin menerima pijat darinya, selain tentu informasi darinya. Mereka tinggal memanggil. Di rumah, di losmen, atau di hotel. Pak bupati? Mustajab tahu diri. Setiap pekan ia menyempatkan waktu untuk mengunjungi rumah dinas pak bupati. Dan, pak bupati tetap tak berubah. Di sela-sela dipijat, pak bupati selalu bercerita ihwal segalanya.

Mustajab besar hati. Pak bupati sudah tertarik dengannya. Hampir lima tahun ia menggunakan tenaga Mustajab. Di simpulan masa jabatannya, pak bupati bahkan menghadiahi Mustajab kabar istimewa. Pak bupati minta Mustajab menemaninya berhaji. Mustajab terkejut, tak yakin.

“Benar, ini Pak?” tanya Mustajab pada pak bupati. “Apa gue pernah membohongimu?” Pak bupati balik bertanya.

Mustajab tersipu. Namun, saat tiba di Makkah, Mustajab gres mengerti kenapa pak bupati mengajaknya berhaji. Pak bupati tak semata memberi kabar istimewa, pak bupati tak sekadar memberi kado, tetapi pak bupati membutuhkan Mustajab sebagai tukang pijatnya. Di sela-sela ibadah, apabila letih mencengkeram, pak bupati tak segan mengundang Mustajab untuk memijat badan, kaki, atau tangannya.

  Negeri Penidur | Cerpen Toni Lesmana

Mustajab mengabaikan keluh karena kerap tak bisa fokus dlm ibadah. Bagi Mustajab, bisa berangkat haji saja sudah berkah, terlebih tanpa biaya sedikit pun & apalagi bersama pak bupati. Makara, kenapa ia mesti berkeluh sekali pun di sana ia harus memijat pak bupati mirip tanpa henti? Mustajab sadar, masuk akal bila pak bupati meminta, sedangkan ia telah diberangkatkan ke tanah suci. Kaprikornus? Ah, betapa indahnya hidup.

Mustajab bahkan tetap tersenyum dikala pulang haji, meski ia mendapati istrinya cemberut. Istrinya bersikap tak mirip biasa. Mustajab gres mengerti kemudian, kalau ternyata dua salon bergaya terbaru sudah bangun, tak jauh dr rumah pijat miliknya. Istrinya cemas rumah pijatnya menjadi sepi lantaran dua salon baru itu tak cuma menyajikan potong rambut, tetapi pula pijat. Beberapa pelanggan tetapnya sudah mulai bertanya-tanya & melirik kedua salon itu.

“Rumah pijat kita bisa-bisa nggak laris, Pak. Pelanggan akan berpindah ke kedua salon itu karena di situ pula ada pijat,” kata istrinya.

Mustajab tersenyum. Katanya, “Rezeki sudah ada bagiannya masing-masing.”

Mustajab tak ingin mencampakkan-buang waktu. Hanya dgn penambahan satu kata, Mustajab mengubah nama rumah pijatnya biar dapat berkompetisi dgn kedua salon itu. Mustajab memakai kata “syariah” di belakang nama sebelumnya & aksara H di depan namanya. Jadilah, tempat pijat Mustajab berubah dr “Rumah Pijat Mustajab” menjadi “Rumah Pijat Syariah H Mustajab”.

Sayangnya, Mustajab menolak bercerita perihal rumah pijatnya yg bersyariah itu di kemudian hari. Ia tak berucap sepatah kata pun ketika berada di kantor polisi untuk memenuhi panggilan aparat keamanan lantaran dua alasan. Pertama, status rumah pijatnya yg tak berizin lantaran ternyata pula menjual obat-obatan. Kedua, penggunaan kata “syariah” yg menuai protes dr banyak pihak.

Mustajab sudah memohon pada pak bupati biar ikut menolong menyelesaikan masalahnya. Namun, pak bupati angkat tangan.

“Aku tak bisa membantumu, Jab. Aku sudah kalah dlm pilkada kemarin. Dan, ini semua gara-gara isu yg ananda berikan pada lawan-lawan politikku.”

Apakah dgn kejadian ini Mustajab masih optimistis menghadapi hidup & tetap menilai hidup itu indah? Entah, tak ada yg tahu. Sebab, sejak pemanggilan ke kantor polisi itu, Mustajab tak pernah lagi tertangkap basah batang hidungnya. Namun, seorang polisi yg menilik kasusnya bercerita, Mustajab raib karena diundang pak gubernur yg kasihan dgn nasibnya & penasaran dgn pijatannya. (*)