Aku sungguh murung hari ini. Sebab, Hutan Larangan & Lubuk Larangan sudah mulai habis dijadikan kebun & ladang serta perkampungan baru. Kawasan Larangan tergolong warisan nenek moyang kita tempo dahulu. Hutan Larangan ini selaku daerah penyangga pada hulu sungai sehingga air hujan tak penuh masuk ke sungai.
Lubuk Larangan yg dlm itu selaku penampung alami kala hujan tiba begitu deras. Entah mengapa, warga di kampung ini malah menyebut-nyebut Hutan Larangan & Lubuk Larangan selaku daerah pemujaan pada setan-setan.
“Begitulah,” kata Pak Madzkur pada Rahmat.
“Iya, gue sudah mendengar isu ini sehingga orang-orang kampung sepakat menghancurkan hutan rimba & mengejar hewanhewan liar di atas gunung. Aku tahu, jika kamu-sekalian tak tega melihat dua orang tetangga kita terkubur hidup-hidup di tepi lereng pegunungan. Aku sendiri menyaksikan, binatang-binatang terjun ke sungai besar di Lubuk Larangan & dimakan buaya besar.”
Rahmat meneruskan curhatnya. “Fakta itu mengerikan bagiku. Meskipun demikian, gue menyaksikan sobat-sobat tetangga kita tetap memperluas kebun jahe & kebun kubis mereka pada kawasan larangan. Madzkur, kau-sekalian mesti sabar atas tudingan pada nenek & kakekmu. Aku tahu, kau-sekalian tak terima jikalau kau-sekalian dikatakan pemuja setan. Padahal, hutan itu tergolong hutan penyangga kehidupan sehingga kakekmu dulu membuat hukum, bila hutan itu tak boleh dirusak.”
Aturan yg disebut Rahmat itu pernah dibawa dikala rapat budpekerti kampung. Alhasil, tak satu orang pun berani melanggar. Pada zaman itu, baik Pak Madzkur maupun Rahmat masih kanak-kanak. Salah satu poin hukum itu paling ketat. Yaitu, setiap orang tak diperkenankan untuk mengambil satu pohon pun, ikan & udang pada lubuk. Tidak boleh pula sembarang pilih bisa diambil. Rotan di hutan pula harus izin dulu pada Datuk Labiah, yg yaitu kakek Pak Madzkur.
“Aku ingat sekali waktu itu pernah terjadi banjir besar & longsor sehingga menghilangkan kebun & satu buah desa di desa sebelah,” ujar Rahmat.
“Kalau begitu, kau-sekalian masuk dulu ke pendopo rumah. Mari kita masuk,” kata Pak Madzkur.
Sebelumnya, mereka berbincangbincang di depan halaman rumah. Kebetulan, Pak Rahmat yakni tetangga depan rumah Pak Madzkur. Percakapan mereka berlanjut hingga membahas wacana hutan larangan.
Bagi Pak Madzkur, kerusakan Hutan Larangan sulit dihentikan lantaran ia sendiri tak mempunyai tanah tersebut. Kawasan itu tergolong wakaf hutan pada zaman Datuk Labiah.
Pak Rahmat pula bilang, kalau setiap musim hujan, korban jiwa tak bisa di hindarkan pada wilayah tersebut. Mendengar itu, Pak Rahmat kian prihatin, sedangkan warga telah kehilangan mata pencaharian.
Mereka lebih senang menebang pohon kemudian dijual eksklusif. Lagi pula, harga satu batang kayu cukup umur—mirip kayu laban—sangat tinggi. Masyarakat berbondong-bondong menebang pohon jelutung, rengas, & sialang.
Seluruh pohon itu memang tumbuh subur pada Hutan Larangan. Sebab, pohon sudah berumur lebih dr 80 tahun tak pernah dirusak.
Sekitar setengah jam perbincangan mereka, Pak Dadan tiba melaporkan kembali, telah ada binatang ternak warga yg dimangsa ular piton besar—berukuran panjang tujuh meter. Mereka mengobrol sambil mata memerah lantaran senantiasa dapat kabar berita memilukan. Kalau tak warga tertimbun, ternak dimakan binatang liar.
Pak Rahmat & Pak Madzkur lebih terkejut lagi. Tatkala Pak Dadan bilang, jika didapatkan pula ceceran tulang-belulang manusia, mulai dr tulang kaki, tangan, tengkorak. Semua rusak. Bercak darah pun berceceran di sekitarnya. Beberapa warga sempat mengikuti ke mana arah dr tulang-belulang itu sehingga dikenali, pelaku kejahatan itu: harimau buas. Wajah Pak Madzkur memerah. Matanya mulai berair akibat mendengar kisah duka yg menusuk ke dlm jiwa.
Pak Madzkur memerintahkan Pak Dadan biar berhenti bercerita. Sebab, ia tak mampu mendengar lagi. ia telah membayangkan bagaimana rasa sakit tatkala nyawa hilang akhir dikunyah binatang.
Kata Pak Rahmat, “Kadang, kita bersedih begitu jauh, namun kadang kita lupa jika akar persoalan berada pada insan.”
Alam tak marah, namun pula jangan dirusak. Sebab, ada makhluk hidup yg bergantung pada alam, tergolong binatang-binatang liar. Habitat mereka sudah rusak akhir berjejer kebun kubis & perkampungan.
Pada risikonya, rusa & kancil serta monyet ekor panjang pergi menjauh. Sementara, binatang mirip ular & macan butuh daging. Kaprikornus, insan disantap sebagai pengganti hewan liar.
“Iya, gue setuju,” kata Pak Dadan sembari menengok pada Pak Madzkur.
“Warga memang kesusahan hidup ketika ini sehingga tanpa berpikir panjang mereka sepakat untuk membuka tempat hutan. Aku pula melihat warga sudah mulai berani mengambil labi-labi, udang galah, & ikan baung dr Lubuk Larangan,” cerita Pak Dadan.
“Padahal, kita memiliki dua hukum, yakni aturan agama & akhlak untuk mengorganisir sumber daya alam. Agama dijadikan oleh nenek moyang kita agar kita senantiasa mempertahankan hutan. Sebab mempertahankan alam itu ibadah. Sedangkan pada hukum adat, seluruh isi Hutan & Lubuk Larangan harus izin dulu pada ketua budbahasa ketika ingin mengambil faedah,” kata Dadan meneruskan keluh kesahnya.
“Entah kenapa warga tak izin kepadamu lagi, Pak Madzkur. Aku yakin, kau-sekalian orang baik. Orang kampung telah terprovokasi oleh provokator jikalau hutan itu tempat memuja. Jadi, akar masalah terletak pada Hutan Larangan & Lubuk Larangan ditemukan aneka macam jenis sesambahan pada alam. Semua dikaitkan dgn mistis. Makara, orang kampung sangat murka & menganggap kamu-sekalian sebagai ketua adat membolehkan,” cergah Pak Rahmat.
Mendengar itu, Pak Madzkur diam sejenak.
“Tetapi … tetapi apa?” Pak Madzkur tiba-tiba melambung, “Sekarang, warga sudah berganti asumsi, tak lagi memikirkan itu alasannya provokator sudah tertangkap oleh warga. Hanya saja, sekarang mereka berpikir, hutan bernilai dengan-cara materialistik. Apalagi, harga rotan sungguh tinggi dikala ini. Rupanya, di Hutan Larangan pula ada sarang lebah besar. Hampir setiap pohon sialang ada sarang lebahnya. Mereka berlomba-kontes mengambil madu untuk dijual.”
“Harga madu cukup tinggi & tokeh pembeli rotan sudah berdatangan ke kampung kita. Jadi, kini kita bersedih melihat hutan rotan rusak, tetapi wargamu telah senang karena mereka mendapatkan berkah dr daerah larangan. Aku melaporkan ini kepadamu lantaran kamu-sekalian jarang pergi ke tempat larangan,” katanya lagi.
“Kalau sekarang, apa rencana kita?” tanya Pak Rahmat, “Bagaimana jika esok hari kita kumpulkan seluruh petinggi akhlak?”
***
Semua karenanya membubarkan diri tanpa minum kopi atau teh pada pagi hari itu. Diskusi itu sangat serius hingga-hingga Pak Madzkur lupa bila tamu tak diberi minum apa pun. Tatkala itu, istri & keluarganya sedang bertandang selama seminggu di rumah mertuanya. Makara, tak ada yg melayani. Pertemuan kesannya dilanjut esok hari di Balai Desa.
Baru saja seluruh pemimpin etika tiba, terlihat kepulan asap menusuk hidung. Semua berlari menuju asap-asap itu. Terlihat dr kejauhan, kobaran api begitu ganas melahap seluruh hutan. Hanya dlm dua jam saja, hutan seluas 30 hektare itu hangus terbakar. Bukit asap gundul tampak dr jarak jauh. Seluruh pemangku budpekerti menatap pemandangan itu dgn begitu murung. Sebab, peristiwa sudah bisa dibayangkan akan tiba. Allah memang mengantarkan tragedi pada manusia untuk menguji keyakinan.
Meskipun begitu, insan jangan pula menghancurkan alam sehingga memperbesar kejadian tragedi. Seluruh pemangku adab sudah pasrah. Sebab, mereka pula tak bisa melarang masyarakat yg sudah mulai jatuh miskin.
Masyarakat butuh kehidupan, tergolong kebutuhan paling pokok, seperti beras, belanja anak sekolah, & lain-lain.
Tiba-tiba datang pula Pak Hilmi. ia salah satu orang kepercayaan tetua budbahasa. ia boleh disebut sebagai mata-mata bila di kepolisian.
Begitu hingga di Balai Adat Desa, ia menceritakan kabar jelek tersebut. Hutan Larangan rupanya sudah dijual tanpa sepengetahuan adat. Perusahaan besar kebun sudah berbelanja sehingga hutan dirambah. Pohon-pohon berukuran besar diambil, diangkat pakai truk besar & alat berat. Seluruh pekerja dr kampung desa.
Mendengar itu, Pak Madzkur murka besar, namun tak mungkin ia melaporkan hal ini pada polisi. ia pula tak mungkin memanjarakan orang kampung sendiri.
Apalagi, mereka sama-sama dr semenjak kanak-kanak berada di kampung tersebut. Rupanya, konferensi tak lagi perlu, begitu Pak Madzkur membatin.
Pak Rahmat tahu betul, bila acara tak lagi dilanjut selaku tanda pemimpin sudah murka besar. Semua orang bubar.
***
Sepekan setelah peristiwa itu, Pak Madzkur berjalan di perkampungan. Orang-orang memandang ia sungguh sinis. Seperti bukan lagi seorang pemimpin yg diakui. Kadang, ada yg jelas-terangan menawarkan hasil duit yg diperoleh dr menjual kayu besar. Ada pula yg pamer mobil baru. Sementara, pemimpin adat itu berjalan kaki. Itulah kebiasaannya bila tak pakai sepeda motor keluaran tahun 1970.
Pak Madzkur sambil berdoa di dlm hatinya. ia berharap kampung ini tetap diberkahi oleh Allah. ia takut sekali kejadian cinta dunia berujung pada musibah. Pak Madzkur pergi sendirian melihat lahan yg nanti ditanami kebun kubis oleh perusahaan. ia menangis melihat keindahan gunung & bukit telah berkembang menjadi bedengan-bedengan yg berundak-undak dr atas hingga kaki pegunungan. Lahan itu sudah siap ditanami bibit kubis. ia langsung ingat tatkala dirinya masih kecil, banjir & longsor pernah melenyapkan kampung ini.
Semua tak lain karena air hujan dr atas bukit tak lagi tertahan oleh akar pepohonan. Air seperti terjun bebas menjadi sungai-sungai baru yg seram bagi manusia. Waktu itu, ia masih ingat, bergema teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Ada pula lolongan minta tolong di mana-mana. Hanya dlm waktu beberapa menit, seluruh orang terkubur pada kawasan desa. Sungguh, ia takut insiden itu berulang.
Kemudian ia menipiskan lagi bayangan muram itu dr benaknya. Sebab, apa-apa yg dipersepsikan bisa terjadi pula pada zaman kini. ia melihat, warga masih banyak berada di bawah kaki bukit, di pinggir sungai, di gunung-gunung botak.
Dia tak bisa membayangkan, bagaimana teriakan warga tatkala mesti mati tertelan lumpur & air bah. Tragedi yg sangat angker.
Setelah itu, ia pulang ke tempat tinggal. Waktu sudah nyaris sore. ia mengajak seluruh kerabat supaya berdoa di surau bau tanah.
Tujuannya, meminta pada Allah semoga isu terkini penghujan tak menjadi bencana longsor. Secara ilmiah, jikalau keadaan geografis berbukit & bergunung tanpa pohon, tentunya akan riskan longsor. Apalagi, rumah-rumah di perkampungan tak bertempat pada lahan datar. Semua pada kawasan bergunung & berbukit.
***
Musim hujan pun tiba. Petir menggelegar & menggaung mengenai lekuk-lekuk lubang pegunungan.
Awan hitam pekat sudah mulai berada di atas perkampungan tersebut. Para pemimpin budbahasa cuma berdoa pada Allah supaya tak terjadi bencana. Cuaca kemudian terang lagi. Sebab, angin terlalu kencang sehingga butiran hujan jatuh pada daerah bentang lahan datar pada desa lain.
Kabar banjir tersiar pula di media surat kabar. Pak Rahmat selaku tokoh akhlak— selain Pak Madzkur—memberanikan diri untuk khutbah Jumat. ia angkat topik wacana tragedi ekologis.
Pak Rahmat sengaja menciptakan warga terjaga. Bilamana kampung mereka terdampak hujan lebat, maka tempat ini akan tinggal sejarah saja. Kawasan datar saja banjir besar, terlebih tempat tak rata lagi berbukit-bukit?
***
Pada dikala demam isu penghujan, rupanya ada anak Pak Rahmat yg sekolah pada Fakultas Geografi. ia bilang pada ayahnya kalau lingkungan itu bisa dimodifikasi dgn teknologi. Umpamanya, hujan bisa dipindahkan ke tempat lain. Mendengar itu, Pak Rahmat tiba ke rumah Pak Madzkur & rumah Pak Hilmi.
Mereka punya ilham. Datangi pihak kebencanaan agar mau menyebarkan zat-zat di alam bebas untuk mengusir hujan.
Mereka berangkat ke sentra kota untuk menemui para ahli. Sesampainya di lokasi tujuan, mereka memohon pada pegawapemerintah supaya zat yg bisa memindahkan hujan disebar ke desa itu.
Pihak kantor kebencanaan kota mau mengembangkan itu pada wilayah mereka.
Meskipun demikian, hewan liar kesudahannya masuk ke kebun kubis pada kawasan larangan. Gajah pula sempat terperangkap di Lubuk Larangan. Warga ramai-ramai mengevakuasi gajah dr lubuk tersebut. Sebab, binatang itu tak bisa lagi keluar.
Waktu itu, Pak Rahmat bilang pada warga. Mereka sudah melakukan pekerjaan sama untuk memindahkan hujan. Kini, mereka memohon pada warga biar mengembalikan uang hasil penjualan hutan larangan. Entah kenapa—mungkin lantaran rasa takut akan maut oleh tragedi—seluruh warga yg terlibat mengembalikan uang pada perusahaan.
Hutan & Lubuk Larangan kembali direstorasi selaku kawasan penyangga. Bencana yg seram mirip bayangan pemimpin adat tak pula terlaksana. Meskipun begitu, Hutan Larangan tak mungkin kembali. Sebab, jenis kayu-kayu bukan lagi kayu alam, namun tanaman akal daya hutan. Tidak bisa kembali alami dlm tempo sesingkat-singkatnya. (*)