Mulla Sadra Dan Pemikiran Teosofi Transenden

Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para mahir. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pertimbangan yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis hingga kini. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering berasumsi bahwa penyerbuan Mongol kepada dunia islam yang telah menghancurkan khilafah Timur dan terusirnya orang Islam dari Spanyol telah menetralisir khilafah Barat. Bersamaan dengan itu, umat Islam  pun karam dalam tidur panjang. Dalam arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seperti terhenti.

Dengan berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah Ismail, mengawali warna mistis dan filosofis pada penguasa-penguasa Persia dari kalangan Syiah. Perkembangan aliran  pada zaman Safawi ini mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung perkembangan Peripatetik (Masya’i), Illuminasionis (Isyraqi), Gnostik (‘Irfani) dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran ini berkembang pesat selama empat kala sebelum Mulla Shadra, yang merupakan jalan buat sintesis utama yang dijalankan oleh Mulla Shadra. Aliran filsafat yang digagas oleh Mulla Shadra ini biasa disebut Teosofi Transenden (al- nasihat al-muta’aliyah).

Meskipun sempat telat  dikenal dan diketahui, sehingga muncul kepercayaan bahwa filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah yakni sebuah metode filsafat yang koheren walaupun memadukan aneka macam mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik fatwa Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, sudah menyebabkan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, namun juga menunjukkan bahwa-lebih dari Paripateisme dan Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam yang bantu-membantu.

B.       Mulla Sadra

1.      Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya yaitu Muhammad bin Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan Shadruddin Asy-Syirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di golongan muridnya, dia lebih diketahui sebagai Shadr Al-Muta’allihin. Ia dinamakan dengan julukan itu karena ketinggian pengetahuannya ihwal Hikmah.[1] Ia dilahirkan di Syiraz ialah sebuah kota yang paling terkenal di Iran, dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H atau 1571/1572 M). Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya, ayahnya yakni seorang ningrat terhormat di kota tersebut.

Tidak lama di Syiraz, dia pindah ke Jisfahan, sebuah kota sentra kebudayaan yang penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (wafat 1640). Tetapi alhasil beliau kembali ke Syiraz sebagai guru pada suatu Sekolah Agama (Madrasah) yang diresmikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di Basharah pada tengah perjalanannya sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun 1641 M.[2]

Tradisi-tradisi intelektual, filosofis dan mistis Islam yang meningkat sebelumnya dan terus berlanjut dengan hadirnya generasi-generasi baru yang meneruskan dan membuatkan fatwa tokoh-tokoh sebelumnya, telah menunjukkan jalan bagi pertumbuhan intelektual dan pedoman Shadra. Di samping juga karena budaya tulis baca yang memungkinkan pedoman-pedoman tersebut dikodifikasikan sehingga memungkinkan bagi generasi setelahnya untuk mengakses, menyebarkan dan bahkan melakukan kritik terhadapnya. Kehidupan dan kontinuitas tradisi intelektual tersebut yang menunjukkan ruang bagisosok seperti Shadra untuk tidak tertinggal dalam mengakses karya-karya dan aliran-anutan, membuatkan dan melaksanakan perbandingan dan sintesa terhadap pedoman-pemikiran tersebut. Mazhab-mazhab pemikiran besar dalam Islam mirip masysya’i (paripatetik), isyraqi (iluminasi) dan mazhab wihdah al-wujud diambil dan dikembangkan menjadi satu bentuk formulasi intelektual baru dengan karakteristik yang juga gres dan unik. Dari karya-karya dia mampu dilihat bahwa beliau sukses mengakomudasi ajaran-aliran semenjak Yunani sampai anutan-fatwa yang dikembangkan pada masanya.

Setting sosial dimana ia hidup turut mendukung pertumbuhan intelektual dia. Dengan posisi dan status terhormat keluarga dia terperinci menawarkan ruang bagi dia untuk mendapatkan pendidikan dan peluang berguru yang mencukupi. Kota Syiraz, kota dimana dia berkembang dan berkembangsejak era ke-8 H/12 M, menjadi sentra kegiatan filsafat dan intelektual, misalnya saja Jalal Ad-Din Ad-Dawwani (835-908/1431-1502) menyusun beberapa karya filosofis yang bercorak paripatetik dan iluminatif dan juga tentang nalar dan Ilmu Kalam. Sementara keluarga Dasytaki melahirkan figur-figur cemerlang mirip Amir Ad-Din Shadr As-Din Muhammad Ad-Dasytaki (w. 903 H/1497-98 M) dan Giyas Ad-Din Manshur Ad-Dasytaki (w.948 H/1541-42 M). Mereka berdua ialah figur yang banyak mensugesti para pemikir dinasti Syafawi dan juga figur-figur intelektualMusli di anak benua India.[3]

Beliau termasuk seorang penulis yang produktif dan karya-karyanya mencapai sekita 40-an dalam bidang, baik dalam bentuk buku yang utuh ataupun risalah-risalah yang singkat. Di antara karya-karya dia yakni: Al-Hikmah Al-Mu’ataliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Suluki, Mafatih Al-Gaib, Kitab Al-Masya’ir, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Asrar Al-Ayat wa Anwar Al-Bayyinat, Mutasyabihat Al-Qur’an, Al-Masa’il Al-Qudsiyah, Ajwibah Al-Masa’il, Ajwibah Masa’il Syams Ad-Din Muhammad Al-Jilani, Ajwibah Al-Masa’il An-Nashiriyah, Al-Hikmah Al-Arsyiyah, Al Waridah Al-Qalbiyah Fi Ma’cerdik Ar-Rububiyah, Al-Mazahir Al-Ilahiyah fi Asrar Al-Ulum Al-Kamaliyah, Iktsir Al-Arifin fi Ma’rifah Tariq Al-Haq wa Al-Yaqin, Katsr Al-Ashnam Al-Jahiliyah, Relase Se Ashl, Risalah Fi Ittishaf Al-Mahiyah bi Al-Wujud, Risalah fi Tasyakhkhus, Risalah fi Surayan Al-Wujud, Risalah fi Al-Qadla’ wa Al-Qadr, Risalah fi Al-Huduts Al-Alam, Risalah fi Al-Hasyr, Risalah fi Khalq Al-A’mal, Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyah, Risalah fi At-Tasawwur wa At-Tashdiq, At-Tanqihat, Risalah fi Ittihad Al-‘Aqil wa Ma’qul, Tarh Al-Kaunaian, Diwan, Dibache Arsy Taqdis, Namayi Shadra bi Ustadi Khud Sayyid Mir Daman (I dan II), Syarh Al-Ushul Min Al-Kafi, Syarh Ilahiyat Asy-Syifa, Ta’liqah Syarh Hikmah Al-Isyraq dan Zad Al-Musafir. Di antara karya-karya yang disebutkan ini ada yang beberapa yang berbahasa Persia dan yang lainnya berbahasa Arab. Di samping itu masih banyak karya yang dinisbahkan terhadap dia, akan tetapi masih dalam perdebatan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui orisinalitasnya.[4]

2.      Karya-Karya Mulla Sadra

Mulla Shadra di era itu, diketahui sebagai penerus fatwa Isyraz dan penyempurna aneka macam fatwa filsafat Islam sebelumnya. Ia juga menciptakan banyak karya tulis, karya tulis yang dibentuk oleh Mulla Shadra lebih dari 20 karya, antara lain sebagai berikut :

1.        Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah

Kitab ini merupakan karya monumental sebab menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah pedoman pasca Avicennian kebanyakan. Kitab ini juga menerangkan pengembaraan intelektual dan spritual insan ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga menampung nyaris semua problem yang berkaitan dengan perihal aliran dalam Islam; ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Penyajian memakai pendekatan morfologis, metafisis, dan historis. Hingga ketika ini, kitab Asfar dipakai selaku teks-teks tertinggi dalam mengetahui pesan yang tersirat.

2.        Al-Hasyr (perihal kebangkitan).

Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda bahan, insan, dan tanaman aka kembali kepada-Nya.

3.        Al Hikmah Al ’Arsyiyah (nasihat yang diturunkan dari ’Arsy Ilahi).

Kitab ini menerangkan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan kehidupan insan sehabis mati.

4.        Huduts Al-’Alam (penciptaan alam).

  Al-Ghazali Corak Tasawufnya Dan Pengaruhnya Dalam Tasawuf

Kitab ini membahas asal-muasal penciptaan alam dan kejadiaanya dalam waktu berlandaskan atas al-Harakah al-Jauhariyyah dan penolakan atas aliran Mir Damad.

5.        Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi Dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi hebat sufi).

Mutashawifin dalam Kitab ini yaitu mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan memajukan syari’at.

6.        Kalq Al-A’mal

Kitab ini membicarakan sifat peristiwa tindakan insan, keleluasaan atau ketentuan atas tindakan manusia.

7.        Al-Lama’ah Al-Masyiriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya Illuminasionis dalam seni logika).

Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan merupakan modifikasi dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.

8.        Al-Mabda’wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).

Kitab ini terdiri dari wacana metafisika, kosmologi, dan eskatologi

9.        Mafatih Al-Ghaib (kunci alam ghaib)

Kitab ini tersusun sehabis Mulla Shadra sukses mencapai puncak kematangan ilmu, terdiri dari keyakinan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi yang berlandaskan atas dalil-dalil naqli.

10.    Kitab Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).

Kitab ini menjelaskan teori ontologi yang sangat ringkas

11.    Al-Mizaj (tentang sikap persaan)

Kitab ini membahas perilaku akibat dari bawaan, perangai, dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.

12.    Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an)

Kitab membicarakan ayat-ayat Qur’an yang susah diketahui dan metaforis dari sudut gnosis.

13.    Al-Qadha wa Al-Qadar fi Af’ali Al-Basyar (perihal problem Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).

Kitab ini membahas ihwal ketetapan, keleluasaan, dan bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata insan.

14.    Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan rohani)

Kitab ringkasan kepercayaan-doktrin Mulla Shadra yang paling komplet yang ditulis menurut tinjauan gnosis.[5]

3.      Pemikiran Filsafat Mulla Sadra

Mulla Shadra adalah tokoh yang dengan peluangpribadinya dan didukung oleh bentukan tradisi intelektual zamannya sukses mengambil akumulasi tradisi-tradisi wawasan yang meningkat pada zamannya dan juga pada era-kala sebelumnya. Ia sebagaimana disebutkan oleh para pengagumnya bukan semata-mata hanya mengadopsi dan mensintesakan fatwa-pemikiran yang telah ada, melainkan ia sudah melakukan yang lebih dari itu dengan menunjukkan nilai dan format gres sebuah kecenderungan intelektual.[6]

Menurut sumber-sumber yang otoritatif, anutan Shadra dipengaruhi oleh tiga mazhab besar filsafat dan teosofi yang pernah meningkat di dalam Islam. Mazhab-mazhab tersebut ialah masysyâ’iyah, isyrâqiyah dan wihdah al-wujud. Selain itu Shadra juga sungguh mengenal dan menguasai teologi Islam baik yang sunni maupun syi’ah dan juga aliran syariat secara lazim. Semua itu mempengaruhi mazhab aliran dan teosofi Mulla Shadra yang dikenal dengan mazhab Al-Hikmah Al-Mutâ’aliyah (theosophy transcendental).

Untuk lebih jelasnya kita akan melihat masing-masing dari mazhab pedoman tersebut secara sekilas agas mampu mengenali bagaimana posisi Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Mutâ’liyah. Mazhab masysyâ’iyah dengan tokohnya yakni Ibnu Sina dan juga toko-tokoh lain yang timbul belakangan mirip Nâshir Ad-Dîn Ah-Thûsî dan Atsîr Ad-Dîn Abharî telah dikenal dengan sungguh erat oleh Mulla Shadra. Bukti dari itu semua yaitu bagaimana Mulla Shadra memberikan komentar terhadap kitab karangan Ibnu Sina adalah Asy-Syifâ’ dan juga komentar kepada Al-Hidâyah karya Atsîr Ad-Dîn Abharî.[7]

Sedangkan Asy-Syuhrawardi sebagai guru dari mazhab isyraqiyahnya tidak diragukan lagi demikian secara umum dikuasai mempengaruhi Shadra baik secara akidah ataupun istilah-ungkapan yang dipakai. Banyak ungkapan-perumpamaan kunci yang dipakai oleh Shadra dalam merumuskan pemikirannya yang diadopsi dari Asy-Syuhrawardi. Ini diperkuat oleh realita bahwa para murid-murid dan pengagumnya menawarkan gelar kepadanya dengan “Shadr Al-Muta’lihhin” yang nota benarnya adalah perumpamaan dan desain yang dikeluarkan oleh guru mazhab iluminasi ini. Asy-Syuhrawardi pernah mengatakan bahwa orang yang pada dirinya sudah menyatu wawasan rasional dan pengetahuan intuitif-ilahiyah secara sebanding disebut sebagai Al-Hakim Al-Muta’allihin (filsuf yang dikaruniai sifat-sifat dewa dan mirip Tuhan). Ini tentunya bukan secara kebetulan, akan namun sebab memang kuatnya dampak mazhab iluminasi terhadap fatwa Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hakim Al Muta’aliyah.

Selain itu, Mulla Shadra juga terpengaruh oleh tokoh wihdah al-wujud yakni Ibnu Arabi dan bahkan banyak mengambil pedoman-pemikirannya yang lalu dijadikan salah satu dasar untuk membangun mazhabnya. Jejak-jejak Ibnu Arabi sungguh terlihat jelas dalam karya-karya dan pemikirannya utamanya sekali dalam teori atau konsepnya tentang masalah wihdah al-wujud dengan segala pembahasan-pembahasannya. Demikian juga dalam persoalan eskatologi, Mulla Shadra banyak dipengaruhi oleh desain-desain Ibnu Arabi dan bahkan dalam kitab Asfar Al-Arba’ah dikala membahas dilema eskatologi dengan judul Al-Ma’ad dia banyak mengutip dari guru sufi Andulusia tersebut terutama dari karya besarnya Futuhat Al-Makiyyah.

Selain mengenal dan mengerti secara mendalam mazhab-mazhab pemikiran tersebut, Shadra juga sukses melaksanakan sintesis lazim terhadap problem epitemologis. Menurutnya ada tiga jalan untuk mendapatkan wawasan yang sejati yang ketiga-tiganya tidak bisa dipisahkan jika ingin sampai terhadap tujuan yang sesungguhnya adalah wahyu (wahy), demonstrasi (burhân, ta’aqqul), dan pengetahuan irfân lewat mukâsyafah dan musyâhadah. Tiga hal ini sukses ia sintesakan dan lalu menciptakan pola dan sistem wawasan yang memadukan secara indah antara wahyu (al-Qur’an), burhan dan juga irfan.

Secara efistemologi, Mulla Shadra mengikuti Syuhrawardi dan mazhab iluminasi secara biasa yang membedakan antara wawasan konseptual (ilm al-hushuli) dengan pengetahuan dengan kehadiran (ilm al-khuduri). Pengetahuan konseptual (‘ilm al-hushuli) ialah apa yang diperoleh dari konsep-desain dalam fikiran tentang “yang dimengerti” sedangkan wawasan dengan kedatangan yaitu pengetahuan yang mengimplikasikan kehadiran realitas yang dikenali dalam akal atau intelek tanpa melalui desain-desain mental.[8] Dua klasifikasi pengetahuan ini secara sederhana mampu diterangkan bahwa yang pertama yaitu wawasan yang dimasyaratkan keaktifan rasio dan logika untuk mengetahui objek yang dikenali, sedangkan yang kedua yaitu pengetahuan pribadi yang sebaliknya mensyaratkan kepasifan akal untuk mendapatkan pancaran pribadi. Pengetahuan jenis kedua ialah pengetahuan iliminatif dan melebihi rasio, akan tetapi bukan mempunyai arti tidak mempunyai bobot intelektual. Bahkan bobot intelektualnya melampaui yang pertama alasannya adalah diantara karakteristiknya adalah bersifat menyeluruh, totalitas sedangkan yang pertama dicirikan dengan keberadaannya yang besifat particular dan terfokus. Hal lain yang perlu dicatat mengenai persepsi Shadra relevansinya dengan sumber pengetahuan adalah bahwa dia menerima iluminasi selaku wawasan dengan menyertakan wahyu sebagai sumber asasi bagi wawasan tentang problem filosofis dan teosofi.

a.    “Theosophy Transenden” (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah)

Sintesis ajaran yang dikerjakan oleh Shadra yang didasarkan atas tiga cara mengenali sebagaimana telah disebutkan di atas yang lalu membawanya kepada satu”pandangan dunia” dan membuat satu sudut persepsi intelektual baru yang diketahui dengan ungkapan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental). Sekalipun ungkapan ini bahwasanya telah ada dan disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelum Shadra, akan namun beliau dianggap sebagai tokoh yang merumuskan secara sistematis dan membuatnya selaku mazhab teosofi. Ia sungguh setia memakai ungkapan tersebut sehingga buku yang membicarakan secara sistematis dasar-dasar filsafat mistisnya diberikan judul “Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah”.

 Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya secara epistemologis Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan atas tiga prinsip, adalah: Intuisi Intelektual (dzauq atau isyraq), Pembuktian Rasional (‘aql dan istidlal), dan Syariat. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah tidak mengabaikan salah satu dari dua bentuk pengetahuan yakni rasional dan intuitif dan bahkan memadukan kedua-duanya dan ditambah dengan sumber yang ketiga adalah wahyu. Dengan demikian filsafat Mulla Shadra berupaya menemukan kebijaksanaan melalui pencerahan rohani dan disuguhkan secara rasional dengan memakai argumen-argumen rasional. Atau sebaliknya pengetahuan-pengetahuan rasional ditransendensikan biar mampu meraih pencerahan spiritual. Adapun dasar ontologis dari Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan pada beberapa hal, yakni: Pengistimewaan Wujud (ashâlah al-wujud), Kesatuan Wujud (wihdah al-wujud), Hirarki atau Gradasi Wujud (tasykik al-wujud). Masing-masing dari tiga pondasi ini akan dijelaskan satu persatu.

  Filsafat Islam Dunia Islam Barat Ibnu Bajjah Dan Ibnu Thufail

b.      Filsafat Wujud

Untuk memahami “teosofi transenden” Mulla Shadra, harus dimengerti bahwa yang menjadi landasannya dan juga keseluruhan bangunan metafisikanya adalah wawasan ihwal wujud. Oleh alasannya adalah itulah filsafatnya secara biasa mampu dikategorikan sebagai filsafat wujudiyah sebab dasar-dasar wawasan intelektual dan mistisnya menjadikan kajian perihal wujud sebagai titik tolaknya. Untuk lebih mengerti bagaimana aliran Mulla Shadra kita akan membicarakan perihal masalah ini dan akan memulai dari pembahasan pertama adalah perbedaan antara “rancangan wujud” (mafhum al-wujud) dengan “realitas wujud” (haqîqah al-wujud) dan kemudian mengupas konsepnya tentang fundamentaslis wujud (ashâlah al-wujud) terkait dengan perdebatan mengenai status “wujud” dan “mahiyah”. Dan sesudah itu juga akan dibahas mengenai pandangannya perihal kesatuan wujud dan hirarki atau gradasi wujud selaku desain lain yang melengkapi filsafat wujudnya.

c.       Perbedaaan Antara Wujud sebagai Konsep (mafhûm al-wujûd) dengan Wujud Sebagai Realitas (haqîqah al- wujûd).

Sebelum lebih jauh menyaksikan bagaimana Shadra membedakan antara wujud sebagai rancangan dan wujud selaku realitas, perlu didiskusokan terlebih dulu apa yang dimaksud dengan istilah wujud itu sendiri. Istilah ini adalah murni dari bahasa Arab yang sering diterjemahkan dengan eksistensi dalam terminologi filsafat secara umum. Dalam bahasa Arab, akar kata wujud ini terambil dari kata w-j-d yang makna dasarnya yakni “menemukan” atau “mengetahui sesuatu”.[9] Dalam diskusus filsafat, istilah ini telah menjadi terminologi khusus yang dipengaruhi oleh rancangan filsafat Yunani. Untuk mengerti istilah ini ada baiknya kita merujuk terhadap terminologi lain yang sering diperbincangkan oleh para filsuf yaitu ungkapan mahiyah (kuiditas).

Sedangkan mahiyah atau kuiditas yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan apa? Seperti pertanyaan apakah manusia? Mahiyah atau kuiditas ini yakni sesuatu yang bersifat “ideal” pada diri sesuatu mirip manusia yang mahiyah atau kuiditasnya yakni “binatang yang berfikir” akan tetapi tanpa menyaksikan keberadaannya secara eksternal. Adapun kalau sesuatu yang ideal ini dilihat sebagai bila menyaksikan aktualisasinya secara eksternal, maka dia dinamakan dengan realitas (haqiqat) dan jikalau melihatnya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan lainnya maka dia dinamakan dengan identitas (huwayyah), dan jika melihatnya sesuatu yang diturunkan dari lafaz, maka beliau dinamakan dengan makna (madlul) dan kalau melihat selaku kawasan segala bentuk pergantian dan bentuk, maka dinamakan dengan istilah substansi (jauhar).[10]

Makara secara sederhana bisa dikatakan bahwa mahiyah ialah kategori-klasifikasi yang bersifat partikar dengan banyak sekali tingkatan-tingkatannya, baik yang ideal ataupu yang riil, sedangkan wujud yakni kategori paling lazim dari semua itu dan melebihi kategori-klasifikasi yang pertikular. Ada dua cara untuk menggambarkan istilah wujud selaku kategori yang paling umum dan universal dengan mahiyah selaku klasifikasi-kategori yang partikular. Yang pertama yaitu realita bahwa Huzain secara identitas (huwayyah) dan realitas (haqiqah) berlainan dengan Syamsul, akan namun esensinya ialah sama yakni selaku “insan”. Demikian juga manusia mampu dibedakan dengan binatang lain yang tidak berpikir sehingga ada esensi binatang, dan juga esensi manusia. Akan namun hal yang menyamakan Huzain dan Syamsul atau manusia dengan binatang dan juga yang lainnya yaitu keberadaannya sebagai yang ada (wujud atau eksistensi).

Cara kedua untuk mengerti wujud ini sebagai kategori yang paling biasa yaitu dengan membedakan antara Huzain sebagaimana alam realitasnya dengan Huzain selaku yang ideal. Huzain yang nyata dan duduk manusia dihadapan kita ialah Huzain yang riil (aktual), sedangkan Huzain yang ada di anggapan ceweknya yang ada di Sulawesi yaitu Huzain yang ideal. Kedua-duanya berlawanan, sebab yang satu ialah Huzain yang riil dan yang yang lain Huzain yang ideal. Akan namun yang menyamakan ialah keberadaan kedua-duanya sebagai “yang ada” atau keberadaannya selaku wujud atau keberadaan. Ilustrasi lain yakni dikala Huzain sedang berkaca di cermin dan menyaksikan bayangannya yang berewok di dalam cermin. Pada dikala itu ada dua Huzain yakni Huzain yang riil yang ada di depan cermin dan Huzain yang tidak konkret adalah yang ada di dalam cermin. Kedua-duanya berlawanan akan namun sama-sama ada (wujud).

Dengan keberadaannya selaku klasifikasi yang paling umum dan universal, wujud pada hakekatnya yaitu satu yaitu wujud segala sesuatu. Wujud ini bersifat universal dan tidak terbatas dan dalam dirinya ada hirarki dan gradasi dari tingkatan yang paling rendah hingga yang paling tinggi, sebagaimana akan diterangkan pada point ketiga dan keempat.

Namun demikian Shadra membedakan wujud sebagaimana dalam desain (mafhûm al-wujûd) yang ialah hasil abtraskis rasional denga wujud selaku realitas yang hakiki. Bagi Shadra wujud dalam pemahaman konseptual seperti di atas tidak susah dan mampu dilaksanakan oleh siapapun. Berbeda dengan wujud hakiki (haqîqah al- wujûd) sebab itu cuma mampu diraih oleh pengalaman tingkat tinggi. Wujud yang hakiki bukanlah yang dihasilkan lewat penalaran rasional semata. Wujud selaku realitas yang hakiki ialah sesuatu yang dialami secara pribadi melalui jalan spiritual yang melebihi kategori-klasifikasi rasional. Yang pertama mensyaratkan adanya keaktifan nalar untuk mampu menginternalisasikan objek yang ada di luar, sedangkan yang kedua mensyaratkan adanya kesiapan mental dan penyucian jiwa supaya intelek yang ada pada diri insan tidak terhambat dengan tabir nafsu dan bisa mempersepsi secara langsung melalui musyâdah dan mukâsyafah. Inilah yang tergambar dalam prinsip “kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui” (ittihad al-aqil wa al-ma’qul).

d.   Ashalah al-Wujud (Pengistimewaan Wujud)

Untuk mengetahui ashâlah al-wujud ini, kita perlu melihat kembali terhadap polemik filosofis yang meningkat dalam tradisi-tradisi filsafat semenjak Yunani dan juga pada filsafat Islam secara khusus. Dalam filsafat Islam ada perbedaan antara wujud (eksistensi) dengan mahiyah (kuiditas). Segala sesuatu selalu tersusun dari dua unsur ini yakni wujud dan mahiyah. Wujud sebagaimana telah disinggung ialah klasifikasi paling biasa dan universal yakni eksistensi sesuatu sebagai yang ada, sedangkan mahiyah adalah bentuk yang membuat segala sesuatu berlawanan dengan sesuatu yang lain. Perdebatan klasik di golongan para filsuf muslim seputar pertanyaan: Manakah diantara dua hal ini yang pokok dan mendasar secara ontologis, wujud atau mahiyah?

Pemikiran Islam terpecah menjadi dua kelompok ialah mereka yang menyampaikan bahwa mahiyahlah yang pokok (ashalah al-mahiyah), sedangkan wujud adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi pikiran atau rancangan. Dan kalangan yang lain mengatakan bahwa wujudlah yang fundamental secara ontologi (ashalah al-wujud), sedangkan mahiyat yaitu skunder dan ialah hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.

Kelompok pertama yaitu mereka yang memprioritaskan mahiyah (ashalah al-mahiyah) antara lain yakni guru dari Shadra sendiri yaitu Mir Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua yakni “ashalah al-wujud” diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf paripatetik lainnya. Adapun Shadra pada permulaan perjalanan intelektualnya mengikuti persepsi yang pertama[11] dan pada akhir perjalanannya setelah mencapai pencerahan spiritual ia cenderung terhadap pandangan menganai ashalah al-wujud. Sekalipun demikian beliau berlawanan dengan penunjang guru filsafat paripatetik, Ibnu Sina, sebab pada Shadra problem ini telah diramu dengan nuansa irfan atau mistis dan dilengkapi dengan pengukuhan perihal wihdah al-wujud yang jelas-terang memiliki implikasi dan sungguh jauh, sedangkan Ibnu Sina sama sekali tidak mendapatkan pandangan perihal wihdah al-wujud.

  Qadariyyah Dan Jabariyyah

e.    Kesatuan Wujud (Wihdah Al-Wujud)

Dalam sejarah Islam, ajaran wihdah al-wujud ini sering diidentikkan terhadap Muhyiddin Ibn ‘Arabi, filsuf-sufi dari Andalusia. Beliau dianggap sebagai orang pertama yang secara lengkap dan sistematis membicarakan mengenai persoalan wihdah al-wujud ini, meskipun jejak-jejak persepsi ini bahu-membahu telah ada sebelum dia. Mulla Shadra mengambil pandangan ini dan bahkan sungguh mungkin ia mendapatkan visi spiritual mengenai wihdah wujud ini dari Ibnu Arabi, alasannya dalam karya-karyanya beliau banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi. Mulla Shadra mengambilnya dan membuatnya sebagai dasar metafisik bagi filsafat atau hikmahnya secara keseluruhan dan menambahkannya terhadap prinsip lain yang menjadi basis pemikirannya adalah gradasi wujud (tasykik al-wujud).

Shadra melihat kesatuan wujud dalam pluralitas atau keragamannya. Hakikat dari wujud yang paling dalam ialah adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena-fenomena yang nampak sebagai keragaman yakni penampakkan luar dan sesuai dengan cara insan memandangnya. Akan tetapi dari kontemplasi filosofis dan mistik akan didapatkan realita terdalam bahwa intinya wujud ini yaitu satu yakni Wujud Yang Universal dan Mutlak. Mulla Shadra dalam menerangkan ini menggunakan gambaran dengan matahari dan cahaya-cahayanya, dimana cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari akan tetapi pada ketika yang sama mereka tidak lain dari matahari.[12]

f.     Gradasi Wujud (Tasykîk Al-Wujûd)

Pengakuan kepada kesatuan wujud dalam pandangan Shadra harus diketahui dalam satu gradasi atau hirarki. Ini alasannya adalah dalam “kesatuan” tersebut terdapat “pluralitas (katsrah)” atau “sebaliknya” dalam keanekaragaman terdapat “kesatuan”. Pengakuan terhadap adanya kesatuan intinya mengandalkan adanya bab-bab atau bagian-bagian yang ada di dalamnya saling menyatu sehingga dan terciptalah apa yang disebut selaku “kesatuan” (wihdah). Kesatuan tidak bisa dibayangkan akan bisa terjadi jika hanya ada satu komponen secara mutlak alasannya pada dikala itu tidak ada yang menyatu. Sebagai konsekwensi dari adanya pendangan tentang wihdah al-wujud yaitu akreditasi terhadap pluralitas atau keragaman wujud. Kesatuan dan pluralitas yaitu dua yang berbeda akan namun tidak bisa dipisahkan. Ketika menekan pada kesatuan sedangkan tidak mengakui pluralitas, maka itu ialah omong kosong, demikian juga mengakui pluralitas dan tidak mengakui adanya kesatuan adakah persepsi yang persial dan sempit.

Prinsip kesatuan wujud menyiratkan pemahaman bahwa di dalam wujud yang memiliki kesatuan tersebut pada dasarnya ada hirarki dan tingkatan-tingkatan yang kemudian membentuk wujud secara keseluruhan. Hirarki atau gradasi ini berdasarkan Shadra mulai dari tingkatan atau hirarki yang terendah sampai yang paling tinggi. Dan masing-masing tingkatan yang lebih tinggi meliputi tingkatan yang lebih rendah darinya demikian seterusnya sehingga hingga kepada prinsip kesatuan secara mutlak.

Kecenderungan intelektual dan mistis Mulla Shadra dikenal dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental) sekalipun intinya Mulla Shadra sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa alirannya ia namakan dengan ungkapan tersebut. Akan namun alasannya kecenderungan intelektualnya secara sistematis memiliki dasar ontologis atau metafisik dan juga dasar epistemologis yang sistematis, maka pengidentikkannya selaku satu mazhab intelektual mempunyai dasar yang kuat.

Dasar metafisis dari keseluruhan kajian Shadra adalah pengertian tentang duduk perkara wujud yang didasarkan pada tiga pandangan ialah: Kesatuan Eksistensi (Wihdah Al-Wujud) yang diadopsi dari mazhab Ibnu Arabi, keaslian atau penitikberatan wujud dari kuiditas secara Ontologis (Ashalah Al-Wujud), dan yang ketiga yakni Gradasi atau Hirarki Wujud (Tasykik Al-Wujud). Tiga hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan bangunan intelektual dan mistis Ibnu Arabi baik dalam duduk perkara teologis, psikologi dan yang lainnya.

Doktrin Ashalah Al-Wujud persepsi yang mengatakan bahwa yang fundamental secara ontologis adalah wujud dan bukan mahiyah. Wujudlah yang sesungguhnya riil atau faktual, sedangkan kuiditas atau mahiyah yakni hasil dari abstraksi pikiran. Dengan akreditasi kepada fundamentalitas wujud, maka akan terbuka peluang untuk memahami wujud sebagai sesuatu yang ada secara hakiki. Akan namun wujud menurud Mulla Shadra harus dilihat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya terdapat gradasi atau hirarki. Ini mengandaikan adanya pengukuhan terhadap pluralitas atau keragaman wujud yang diikat oleh satu kesatuan. Keragamannya ialah sebab adanya hirarki, akan namun hirarki dan keanekaragaman tersebut mesti dilihat selaku satu kesatuan ialah sebagai Wujud Yang Universal.

C.           Kesimpulan

Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa pedoman filsafat yang meningkat sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan  sebuah tata cara filsafat yang koheren walaupun menggabungkan aneka macam mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat pesan yang tersirat diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disuguhkan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra adalah metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pedoman Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menimbulkan filsafatnya patut disebut filsafat Islam yang bantu-membantu.

DAFTAR  PUSTAKA

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Nur, Syaifan,  Filsafat Wujud Mulla Sadar, Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2001

—————-, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Jakarta: Teraju, 2003

Nur Mufidah, Luk Luk,  “Teosofi Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra” dalam Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Tulungagung: Pascasarjana STAIN, 2006, volume I, nomor 1

Nashr, Seyyed Hosen, (edt), “Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam” jilid II, Bandung: Mizan, 2004

Shaliba, Jamil, Mu’jam Al-Falsafi, jilid 2

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Wehr, Hans, A Dictionary Of Modern Written Arabic, Beirut: Maktabah Du Leban, 1974

[1] Dalam Madzhab Isyraq (Shadra), ketinggian ilmu wawasan seseorang tentang hikmah akan diberi gelar hakim Al-Muta’allih yang berarti seorang filsuf atau ahli pesan yang tersirat yang telah menjadi “sperti Tuhan”, lihat, Syaifun Nur, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 3

[2]  A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 336

[3] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2001), hal. 34-35.

[4] Ibid, hlm. 58-72.

[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 272, lihat juga, Luk Luk Nur Mufidah, “Teosofi Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra” dalam Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, (Tulungagung: Pascasarjana STAIN, 2006), volume I, nomor 1, hlm. 93-95

[6] Seyyed Hosen Nashr (edt), “Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam” jilid II, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 913.

[7] Ibid, hal. 192.

[8] Ibid, hal. 913.

[9] Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Written Arabic, (Beirut: Maktabah Du Leban, 1974), hal. 1049.

[10] Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafi, jilid 2, hal. 315.

[11] Seyyed Hosen Nashr (edt), “Ensiklopedi Tematik …, hlm. 917-918

[12] Ibid,. hal. 916