Di kamar kos-kosan pengap berukuran 3 x 4 meter itu, Muhsin tertidur lagi setelah sejam sebelumnya bangkit menunaikan dua rokaat sholat Subuh. Komputernya yg jadul masih menyala, sementara kertas & buku berhamburan di lantai tak tertata. Kipas duduk diselimuti debu tebal berputar menderu menenteng angin cuek ke arah Muhsin. Angin kipas itu bergerak mengipasi tumpukan kertas menciptakan kertas itu terangkat-angkat dr tumpukannya yg ditindih buku tebal. Semalaman Muhsin mesti bergulat dgn buku & bacaan. Semester ini ia menargetkan dirinya harus merampungkan skripsinya. Teman-temannya sudah banyak yg lulus. Mereka menemukan kerja entah selaku PNS atau pegawai swasta.
Cita-cita melanjutkan S2 menciptakan bara harapan untuk menyelesaikan kuliahnya berkobar-kobar di dadanya. Bara itu kian menyala-nyala jikalau ia mengenang usia ayah-ibunya pula semakin melaju renta. Sementara adik-adiknya pula memerlukan biaya sekolah yg terus meroket. Pikirnya sehabis ia lulus, beban orang tuanya akan lebih ringan. Orang tuanya tinggal konsentrasi membiayai adik-adiknya. Beruntung pula di semester-semester final, ia mendapatkan beasiswa dr kampusnya sambil ia melakukan pekerjaan di warung internet. Praktis ia tak terlalu bergantung pada kiriman orang bau tanah. Bahkan tak jarang, ia bisa menabung. Jika ia pulang, ia bagikan tabungannya untuk adik-adik, keponakannya atau tetangga kanan-kirinya yg dianggapnya kekurangan.
Gawainya berdenting, ada pesan masuk lewat saluran WhatsApp. Ia menggeliat membuka mata. Ia duduk lalu menjangkau pesawat gawainya. Ada nomor tanpa nama mengirim pesan. Ingat aku, Muhsin? Aku Toha. Aku mau ke tempatmu, bunyi isi pesan itu.
Bagaimana ia tak ingat. Bagi Muhsin, Toha ialah seniornya yg tepat: cerdas, tampan, kariernya melejit & kini sudah menjadi orang kaya di Surabaya. Karena kesempurnaan Toha itulah, ia dgn rela mengenalkan sahabat kuliahnya yg jelita, yakni Syahida. Si manis Syahida akan lebih layak menikah dgn Toha. Andaikata gue tampaknya, akan kuberanikan diri meminangmu, Syahida, ingatannya menggumpal mengenang peristiwa setahun lalu dikala ia ajak Syahida bermain ke Hotel Guardenia untuk menemui Toha, sang manager SDM di hotel tersebut.
Sejak di madrasah aliyah (MA), Muhsin yaitu pengagum Toha. Toha saat itu yaitu ketua OSIS, berilmu berbahasa Inggris sekaligus bahasa Arab. Ia selalu mendapat peringkat satu & menjadi lulusan contoh. Lulus MA, bukan main istimewanya Toha. Ia satu-satunya lulusan madrasah itu yg bisa menembus Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Mayoritas lulusan madrasah itu melanjutkan kuliah di sekolah tinggi tinggi agama Islam. Bagi mereka yg mahir bahasa Arab & kuat hafalan Alquran bisa melanjutkan kuliah ke Mesir. Namun Toha yaitu pengecualian, ia bisa menjangkau apa yg tak bisa dilaksanakan teman-temannya. Toha, selain akil bahasa Inggris, terpelajar pula matematika & IPA. Kepandaiannya itu menjadikannya bisa bersaing dgn lulusan-lulusan terbaik dr SMA- Sekolah Menengan Atas unggulan.
Lulus dr UI, tak sulit bagi Toha bergabung menjadi management trainee. Selanjutnya ia dgn cepat dipercaya sebagai manager SDM hotel bintang lima di Surabaya. Beberapa kali Muhsin diajak bermain ke tempatnya. Di mata Muhsin, tampilan Toha benar-benar mengesankan telah menjadi sosok direktur muda yg maco. Ia mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ya lulusan pesantrenlah, Sin, katanya. Saat Muhsin tunjukkan foto Syahida di gawainya, Toha mengangguk. Padahal bekerjsama Muhsin ingin pamer saja padanya bahwa ia bisa bersahabat & mempunyai teman perempuan secantik Syahida.
Akan tetapi Muhsin sadar siapa dirinya & siapa Syahida. Ia hanya anak petani gurem dr sebuah desa di Lamongan. Sementara Syahida ialah anak petambak sukses di Gresik. Selama kuliah di Surabaya, hampir Syahida tak pernah naik bus atau angkutan biasa untuk pulang ke Gresik & berangkat ke Surabaya. Ia senantiasa diantar naik Inova hitam. Hanya sekali ia naik bus saat sopirnya sakit & ayahnya sedang pameran bandeng di Semarang. Muhsinlah yg diminta mengantarnya naik bus. Sungguh gue rela & merasa bahagia bisa mengalah supaya ia bisa duduk di kursi bus. Biarkan gue saja yg berdiri. Mendampingi Syahida benar-benar sebuah kemegahan. Aku pun tak berani mengira: siapa yg ada di hati Syahida, Muhsin termangu.
Ia pun mengenalkan Toha dgn Syahida. Toha sungguh bersemangat & luwes sekali menerima Syahida. Ia menerima pinangan Toha. Aku pun merasa lega meskipun ada semacam batu perasaan cemburu yg mengganjal di hatiku. Lega karena setelah menikah dgn Toha tak ada lagi alasan bagiku untuk menginginkan Syahida. Kerikil cemburu itu pasti akan segera musnah.
“Mas kenapa harus ke sini. Aku saja yg ke sana,” jawabnya.
“Begini saja, kita ketemu di depot nasi angsa Jemursari saja,” balas Toha. Tentu saja Muhsin menyepakati. Depot itu tak jauh dr kosnya. Cukup berlangsung lima menit ke arah selatan. Di daerah itu pula dahulu ia menceritakan ihwal Toha pada Syahida. Ia menghembuskan napas yg agak mengganjal akhir pikirannya yg tiba-tiba dipenuhi kenangan pada Syahida kala itu.
“Gimana kabarnya Mas Toha & keluarga?” tanya Muhsin.
Toha terdiam menunduk. Tidak seperti lazimnya . Toha yg lazimnya ialah seorang anak muda dgn cara pandang yg lurus & cerah dilengkapi ucapannya yg senantiasa memberi inspirasi, namun tak untuk kali ini di hadapan Muhsin. Ia lesu & layu. Nampak sekali ia mengalami capek rohani (letargi) yg parah.
“Aku tak percaya rumah tangga Mas Toha berantakan. Jika bukan sampeyan sendiri, Mas, yg memberi tahuku, kupastikan itu berita hoax,” kata Muhsin dgn gelengan kepala sementara mulutnya setengah menganga.
Sambil meredupkan tatapan mata pada Toha, ia melanjutkan, “Bagaimana rumah tangga Mas Toha bisa koyak padahal apa yg kurang dr sampeyan dan Syahida, Mas?”
Toha pun mulai bercerita kilas balik perihal takhta rumah tangganya yg runtuh. Setelah ia berhasil menjinakkan sikap hambar Syahida, ia mengira nirwana dunia telah menjadi miliknya. Ia & Syahida bisa memerankan peran suami-istri dgn mesra, hangat & romantis. Jika di filmkan, tak ubahnya kami memerankan romantisme Ayat-Ayat Cinta,” kisah Toha.
Muhsin tersenyum, tetapi senyum tertahan agak kecut menanti lanjutan dongeng. Romantisme itu kesannya tergerus oleh waktu juga. Agaknya Syahida ingin secepatnya mempunyai anak. Lebih tepatnya orang tuanya, yg tak tabah ingin secepatnya menyaksikan cucu dr putri semata wayangnya. Sementara bagi Toha, umur ijab kabul yg gres setahun tanpa anak adalah lumrah belaka.
Bukankah, sangat banyak pasangan hingga berpuluh tahun belum pula punya anak. “Satu tahun belum punya anak, kenapa harus ketakutan, istriku. Sebagai lulusan pesantren, kau-sekalian niscaya sangat mafhum akan penantian sabar Nabi Ibrahim sebelum dikaruniai Ismail & Ishaq. Begitu panjang pula penantian Nabi Zakaria. Bahkan hingga rambut Sang Nabi itu telah memutih & usia istrinya kian tua, gres lahirlah Yahya?” terperinci Toha suatu kali pada Syahida dgn keinginan bisa meredakan hati sang istri.
Sayangnya Syahida selalu cemas. Jika mendengar ada teman punya anak, maka itu ialah isu intimidasi. Ia tak akan mau diajak menjenguk bayi. Kepanikan itu rupanya meledak tatkala sepupunya yg lebih muda & gres menikah tiga bulan kemudian diperiksakan & dinyatakan oleh dokter sudah mengandung. Syahida tak bisa menahan kesabarannya.
“Jadi ananda bisa mengira, Sin, pada dikala gue kehilangan pengertianku, ego keakuan Syahida menjadi-jadi. Ditambah lagi, gunung hasrat memiliki anak membuat emosinya semakin tak terkendali. Jika sudah begitu, keluarga kami tak ubahnya yaitu neraka. Asal ananda tahu, Sin, ini ialah talak yg ketiga. Tapi gue sungguh masih mencintainya, Sin,” kata Toha sembari tangan kirinya memegangi mulutnya sendiri. Sementara Muhsin menggeleng sembari minum sisa minuman beras kencur di gelasnya.
“Talak tiga? Sangat susah bagi Mas Toha rujuk lagi,” sela Muhsin. “Aku ikut menyesal & merasa bersalah kenapa dulu mempertemukan kalian,” lanjut Muhsin.
“Aku ingin rujuk lagi, Sin, jadi tolonglah,” Toha mengutarakan maksudnya dgn sarat kesungguhan pada Muhsin. Ia menjabat tangan Muhsin sembari menatap besar lengan berkuasa mata Musin sarat pengharapan.
“Ini ide gila, Mas Toha,” sergah Muhsin, “Aku menikahi Syahida cuma semoga menjadi muhallil (faktor penghalal) Mas bisa rujuk kembali?” nada suara Muhsin meninggi agak membentak ke Toha. Sementara matanya nanar mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan depot kalau-kalau bunyi bentakannya menyedot perhatian pengunjung. Rupanya tak ada yg mendengar bentakan Muhsin. Semua sibuk dgn urusannya masing-masing.
“Tolonglah saya, Sin, ananda ingin kan keluargaku kembali lagi?” Toha mengiba. “Aku janji gue akan membunuh egoku di hadapan Syahida. Jika ananda mau, gue pula sanggup membiayai semua keperluan adik-adikmu sampai mereka kuliah. Aku pula sanggup membantumu S2. Bantu saya, Sin,” Toha menghiba sekali lagi sambil menatap penuh rayuan pada Muhsin. Kali ini Muhsin yg terdiam sambil menghela napas.
“Kamu pertimbangkan yg matang, Sin, tak mesti kini ananda jawab. Jika perlu ananda istikharah. Tapi jangan sekali- kali ada orang lain yg tahu bahwa ananda menjadi muhallil untukku. Rahasiakan dokumen perjanjian kesepakatan kita ini. Katakan pada orang tuamu bahwa ananda sudah melakukan pekerjaan & bisa membiayai seluruhnya,” Toha melanjutkan bujukannya.
Muhsin masih terdiam. Kepalan tangannya menyangga dagunya. Ia gigit-gigit punggung tangannya yg mengepal. Ia membaca dokumen yg disodorkan Toha. Pada klausul Toha siap membiayai kebutuhan saudara & siap membiayai kuliah S2, matanya terhenti. “Yang tak bisa gue terima, gue menikahi Syahida kemudian begitu saja menceraikannya. Apa argumentasi menceraikannya?” ujar Muhsin dgn bunyi yg merendah. Toha pun sudah paham sekali jika sudah begini, Muhsin umumnya akan mengiyakan keinginannya.
Pikiran & batin Muhsin bergolak kencang. Menolak usulan Toha berarti kesempatan menolong kebutuhan orang tua, merealisasikan mimpinya kuliah S2, hilang. Hatinya terasa berdebar pula mengenang Syahida akan dinikahinya. Akan tetapi menerimanya bermakna mencederai kesakralan ijab kabul jikalau menikah cuma untuk bercerai. Bagaimana lagi dgn marwah Syahida: gonta-ganti lelaki. Namun kalau itu dapat menyatukan rumah tangga yg pecah lalu mereka bisa rukun kembali, kenapa tidak? Pernyataan & pertanyaan semacam itu silih berganti mengaduk-aduk pikirannya untuk menimbang ajuan Toha.
“Baik, Mas Toha, gue mendapatkan tawaranmu, namun dgn jaminan sampeyan bisa menyerah demi Syahida & keluargamu,” jawaban Muhsin melalu WhatsApp.
“Jaminanku ialah kesanggupanku menyanggupi semua kebutuhanmu, adik-adikmu, & keluargamu. Bukankah itu dapat menjadi bukti sikapku yg berusaha memahami, Sin,” Toha membalas dgn kalimat penutup, “Terima kasih, Muhsin.”
Dengan berbekal fasilitas dr Toha, Muhsin pun melaksanakan pendekatan pada Syahida. Tidak susah untuk merebut hati Syahida yg sudah menjanda. Bahasa badan & cara berkomunikasinya ditangkap dgn terperinci oleh Muhsin bahwa Syahida tak menolak. “Mengapa gres kini, Sin, tatkala gue bukan Syahida yg pernah kamu-sekalian antar naik bus dahulu?” jawab Syahida saat dipinang Muhsin. Ia gres menyadari bahwa bergotong-royong sedari dulu Syahida mempunyai rasa dengannya. Hanya ia yg tidak memiliki nyali.
“Ahad besok gue mau ke tempatmu, Sin, ada laptop untukmu. Pasti sungguh berguna untuk kuliah S2-mu.” Syahida berkirim pesan pada Muhsin.
“Ya… mempunyai arti gue mesti higienis-bersih dulu ini,” jawab Muhsin sumringah berbunga-bunga. Muhsin merasakan tiba-tiba banyak keberuntungan yg tiba melimpahi dirinya setelah mendapatkan tawaran Toha. Kali ini Syahida dgn entengnya memberinya hadiah laptop, padahal seminggu sebelumnya Muhsin telah diajak ke Plasa Marina berbelanja gawai baru. Belum lagi orang bau tanah Syahida yg akan mengirim sepeda motor jika kelak ia sudah tinggal di Yogyakarta atau Jakarta untuk kuliah S2. “Adakah ini yg dinamakan rahmat Ilahi? Benar-benar pintu langit terbuka untukku. Tidak salah keputusanku,” pikirannya berkicau sendiri.
Tiba hari Ahad, Syahida benar-benar tiba dgn menenteng laptop dilengkapi dgn printer & modem. Setelah selesai menyambung perangkat laptopnya dgn printer lalu memastikan jaringan internet melakukan pekerjaan & bisa diakses, Syahida menawari Muhsin jalan-jalan keluar mencari makan. Kali ini Muhsin yg menolak. Ia mengusulkan diri mencarikan jus buah di sebelah kos-kosan. Syahida menerima usulnya.
Saat Muhsin keluar, Syahida tak berencana membaca buku-buku koleksi Muhsin. Ia hanya iseng membuka-buka buku sambil menunggu Muhsin membawakannya jus alpukat. Syahida menjangkau satu buku dengan-cara asal-asalan di rak yg paling bawah. Ia buka untuk menyaksikan gambar atau judul-judulnya saja. Begitu ia menyingkap sampul buku itu, halaman yg dibatasi dgn suatu surat bermaterai terbuka.
Ia meraih dokumen itu. Jantung Syahida berdegup keras. Napasnya tersengal. Ia meremas-remas kertas itu seperti kesetanan lalu membuang remahan kertas di lantai. Sebelum keluar ruangan, ia sempat menendang printer & mempesona laptop terbanting keras di lantai. Ia pergi meninggalkan kos-kosan itu sambil menutupi wajah yg terisak dgn ujung hijabnya.
Berselang lima menit kemudian, Muhsin tiba. Begitu masuk kamar kosnya, ia terhenyak. Melihat remahan kertas yg sangat ia kenal berserakan. Sobekan kertas yg masih tertempel meterai tepat berada di ekspresi pintu kamar. Tidak terasa jus yg terbungkus plastik jatuh dr genggaman tangannya, Syahida sudah tahu.
Muhsin menggeleng-gelengkan kepala. “Rusak-rusak semua… gagal-gagal semua,” deru pedih hatinya.
Gawainya berdenting, “Kalian berdua sungguh lelaki yg keji & sadis. Tega berkonspirasi memasarkan diriku atas nama akad nikah. Andai adik perempuanmu diperlakukan mirip saya, atau ibumu, bagaimana, Sin? Relakah kau? Kelak jika gue punya anak & ini semua terjadi, bagaimana perasaan anakku tahu ibunya dicampakkan dr satu laki-laki ke laki-laki lain? Bangs*t kalian berdua,” bunyi pesan dr Syahida. Sementara Muhsin terduduk merenung. Ia sempatkan mengirim pesan ke Toha.
Tidak usang, Toha membalas, “Semua sudah berakhir, Muhsin, lupakan kesepakatan yg kita buat. Maafkan saya.” Muhsin bersujud, mulutnya melafalkan istighfar. Ia pun berusaha menghapuskan khayalan kuliah S2 & dukungan-dukungan dana untuk keluarga & adik-adiknya. (*)
Muhallil: Lelaki yg menimbulkan halalnya wanita dinikahi mantan suami sesudah talak ketiga diistilahkan dlm bahasa Arab: muhallil artinya penyela atau penghalal.