Monolog Angka | Cerpen Whani Darmawan

Di suatu waktu, temaram—tak merujuk kegelapan malam, pula terlalu suram untuk mewakili siang—menaungi sebuah bangunan besar. Superbesar. Nyaris sebesar gunung. Di halamannya terpancang papan nama besar dgn susunan karakter kemilau bertulisan “Perguruan Akal Budi Siap Pakai”.

Inilah kawasan beken bergengsi. Konon, daerah di mana para tunas bangsa ditempa. Jika dilihat dr luar, ia nyaris mirip bukit belaka. Menggunduk dlm ketenangan yg sunyi. Bukan. Ketenangan yg miris.

Bukan satu atau dua kali saja informasi kematian siswa dengan-cara misterius berembus dr sana. Tapi, toh gosip itu seperti helai kapas yg diembus angin pegunungan. Lenyap tak berbekas. Tetapi, ada pula orang yg menyatakan bahwa betapapun, bangunan itu yaitu candradimuka anak bangsa terbaik. Sementara, tidak sedikit yg dgn sinis menyatakan bahwa daerah itu tak lebih dr sekolah tukang jagal.

Berapa orangkah yg pernah menengok ke dlm bangunan? Kesimpulan satu orang dgn yg yang lain bisa berlainan. Terlepas dr itu, bukti bahwa bangunan itu tetap berdiri hingga hari ini pastilah sebab ada sistem yg kukuh. Orang memang tak bisa mendekati bangunan tersebut dgn praktis. Sebab, bangunan tersebut dilingkari sabuk jalan yg superlebar & berliku. Dan, itu bukanlah jalan lazim. Kaprikornus, jalan superbesar itu pun lengang.

Andai saja ada orang yg bisa mendekat ke bangunan itu, pasti akan mendengar bunyi ledakan-ledakan. Suara-suara itu sering terdengar dr dlm sana. Ledakan apakah itu?

Bukan. Itu bukan bunyi mercon, apalagi pistol. Itu yaitu bunyi ledakan ujung cambuk yg membelah udara. Suara yg ditimbulkan getas & nggegirisi. Suara cambuk itu dihasilkan oleh tangan seseorang yg di lingkungan itu disebut selaku Sang Penentu. Siapakah dia?

“Wooooeeeiiii!! Jangan jadi orang kampungan!” Terdengar orang yg bersangkutan melontarkan suaranya. “Kalian di sini dididik dengan-cara intelek! Jangan jadi orang berangasan macam orang jalanan saja! Woooeeiii! Kamuuu! Kamu siaapaaa!? Memangnya gampang ngurus tunas bangsa seperti kalian? Kita dibayar dgn uang rakyat! Kita mesti mengembalikannya dlm bentuk keberhasilan impian kalian. Ngerti tidaaaakk?”

Di ruangan tak ada seorang pun, kecuali Tokoh Bercambuk itu. Lalu, bicara dgn siapakah dia? Orang ini mengenakan pakaian safari, sebagaimana gambaran para pemburu di film-film Hollywood. Atau, mirip pakaian yg dikenakan Rob Bredl dr Bredl Wild Farm Australia atau almarhum Steve Irwin, pengelola Australia Zoo di Beerwah, Queensland.

Di tangannya terpegang cambuk kulit yg bila terjulur ke udara panjangnya bisa mencapai tiga meter. Setelah meledakkan ujung cambuknya ke udara, Tokoh Bercambuk tersebut mencantelkan cambuknya di sebuah kapstok. ia berdiri, mempesona napas dalam-dalam, & menyapu ruangan itu dgn pandangannya. ia kemudian berlangsung menuju kursinya. Di meja depannya ada sebuah papan nama bertulisan Prof Dr Didik ST, SE, SSos, SH, SKom, SS, SSn, PhD, SAP, SStat, MT, MSM, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, CFP, AffWM, BKP, QWP.

Entah gelar apa saja yg merumbai-rumbai di belakang namanya tersebut. Yang terang, kalau menyaksikan penampilannya, gelar itu TIDAK cocok. Penampilannya kurang sempurna selaku akademisi. ia malah ibarat pawang. Ah, jangan-jangan ia memang pawang. Pawang Didik. Ah, tak ada bukan gelar seperti itu? Kita sebut orang ini selaku Tokoh Bercambuk sajalah.

Ruangan itu sesungguhnya sama sekali tak tampak seperti kawasan akademik maupun forum edukasi meski dipenuhi buku-buku & laptop. Abu & puntung rokok bertebaran. Botol-botol minuman beralkohol kosong maupun setengah isi bergelimpangan di sana-sini. Di antara panorama tersebut yg paling mencolokjustru serangkaian puzzle yg yang dibuat dr dus-dus berskala besar. Terserak memenuhi lantai sehingga gambar keseluruhannya tak terlihat dgn terang meski sebagian sudah tertata.

  Punggung | Cerpen Zahra Nurul Liza

Tokoh Bercambuk tampak lelah. ia duduk di suatu dingklik. ia lalu mengucek matanya yg memang kuyu, dgn lengkung hitam di kantung mata yg seperti menjadi penanda bahwa yg bersangkutan sudah berabad-periode tak memejam dlm tidur. ia menggumam gelisah.

“Banyak orang tak tahu betapa sibuknya kami. Ya, kami. Pawang Didik yg diserahi tugas untuk menciptakan kurikulum. Orang-orang yg terdidik untuk bisa menggerakkan massa menjadi gelombang yg siap menerjang kehidupan. Mereka, orang-orang banyak, para intelektual bebas itu, cuma bisa mengkritik. Mereka sungguh tak mengerti dunia pendidikan yg sesungguhnya! Dunia pendidikan itu tak hanya berhadapan dgn insan, tetapi pula angka-angka. Jangan dibalik. Generasi ini harus diperlakukan selaku angka. Tidak manusiawi? Kata siapa? Tengok sono pendidikan di kuil Shaolin. Seorang anak lima tahun dipaksa mengangkangkan kaki. Split. Demi kesempurnaan bentuk tendangan. Si bocah hingga meringis-ringis, bahkan menangis. Tidak manusiawi? Lebih tak manusiawi mana daripada kelak tatkala remaja mereka tak bisa menghadapi kejamnya kehidupan? Manusiawi yg mana? Manusiawi dr Hongkong!? Dan memangnya ukuran manusianya itu manusia kapan? Zaman baheula? Purba? Megalitikum? Pithecanthropus erectus? Mikiiiirr!”

Sampai ketika gerundelan itu bermetamorfosis monolog, tetap tak ada orang lain di ruangan itu.

“Untuk mengawali semuanya, ukuran & data statistik menjadi catatan penting. Ibarat sensus, matrikulasi, silabus, jumlah jam per minggu & kurikulum mesti pasti semoga tak meleset tatkala diterapkan kepada peserta didik. Memangnya mudah menerima tanggung jawab sebagai Pawang Didik di negeri koprol ini? Bukan hanya binatang yg butuh pawang. Para tunas bangsa apalagi.”

Tokoh kita kini berdiri memandangi puzzle yg berserak di sekelilingnya. Menghela napas, kemudian mendekati potongan puzzle yg tergeletak di suatu sudut, memungutnya, & berusaha menatanya sambil bicara.

“Sebenarnya menata semua puzzle ini tak susah. Di luar pencocokan gambar, bergotong-royong saya menandai dgn angka-angka di belakangnya. Hehehe. Hmm, orang sering salah dgn semua ini. Angka-angka ini sungguh penting dlm penataan kurikulum. Jumlah jam dgn angka, urutan dgn angka, hasil penilaian dgn angka, hitungan jumlah murid pula angka. Tidak mungkin tak menggunakan angka. Dan untuk membuat lebih mudah penataan kurikulum, kami senantiasa memakai simbol. Ini penting untuk mendisiplinkan. Daaan……..”

Tokoh kita menghela napas sambil menimang puzzle di tangannya.

“Inilah selingan saya ketika otak penuh dgn kurikulum pendidikan. Permainan puzzle ini merenggangkan saya. Ada pengamat psikologi yg menyampaikan pada saya bahwa puzzle yg sudah terbentuk seharusnya dihancurkan kembali. Kenapa? Katanya, pendidikan itu tak boleh masif, tak boleh cuma repetitif sehingga menjadikan kemacetan atau stagnasi. Maka, ia menghendaki saya berani menantang diri saya sendiri untuk senantiasa merusak, menata kembali, menghancurkan, menata kembali. Supaya saya selalu tertantang pada pembaruan-pembaruan. Karenanya, mereka yg tinggal di sini terpaksa betah. Hihihi…”

Terdiam sejenak, & datang-tiba suara hihi-nya terdengar kembali. Kali ini dgn resonansi yg abnormal, seperti suara perempuan di puncak pohon kelapa pada malam keramat. Dan Tokoh Bercambuk ternyata takjub sendiri dgn kalimatnya yg tak selesai itu. Hihi-nya hilang, berganti haha yg membahana. Tawanya terbahak, namun sarat desis oleh riak ludah kental yg menghuni kerongkongannya. Kemudian tiba-tiba diam & mengasyiki puzzle mainannya. Kelamaan gambar dlm puzzle itu makin terang meski belum selesai seluruhnya. Yakni, bendera Merah Putih yg berkibar. Di bawah gambar itu ada goresan pena yg belum selesai. Ing Madya Mangun Kar…

  Unsur Unsur Cerpen Yang Wajib Diketahui

Mendadak tokoh kita membanting suatu puzzle.

“Tai kucing! Persetan dgn Arthur Combs, David Kolb, Honey, Mumford, Habermas, Abraham Maslow! Fuck Carl Ransom Rogers! Drijarkara! Tidak usah mengajari bagaimana saya mendidik tunas bangsa itu! Menyusun puzzle & menghancurkannya kembali? Omong kosong! Jangan mempersulit diri sendiri. Pendidikan harus dibakukan! Bentuklah insan-insan setangkas mesin & sepasti matematika!”

Dia terus berbicara tak jelas sambil memunguti potongan puzzle lainnya & melihat dinding belakangnya, lantas membantingnya kembali. ia seperti sedang mencari gambar yg pas untuk jodoh puzzle selanjutnya. Tapi, tak pula nemu. ia lakukan berulang-ulang sambil meneruskan senewennya dgn nada jengkel.

“Sebagai pendidik, kita mesti menciptakan sistemnya menjadi praktis demi gampangnya akseptor didik di masa depan. Contohnya ini.”

Tokoh kita mengambil berkas di mejanya.

“Ini yakni Hasil Penataan Ulang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan & Kurikulum Sekolah Menegah Kejuruan yg sudah dibakukan. Nah, struktur penataan spektrum ini berdasar KI-KD, sementara materi ajarnya diletakkan dlm B1, B2, B3, & aplikasinya sebagaimana yg tertera dlm P1, P2, sesuai dgn ancar-ancar C1. Semua itu agar bisa diakses DUDA/DUDI.”

Tiba-datang Tokoh Bercambuk berlari menuju keranjang sampah di sudut ruangan. Terdengar suaranya muntah. Tapi, tak setetes cairan pun keluar dr sana.

“Gila kalau orang menduga bahwa saya pula paham singkatan-singkatan itu. Dikira siapa saja paham dgn singkatan-singkatan ini. Celakanya, meski tak ada yg mengetahui, tetap saja singkatan-singkatan itu dipakai. Gila, dasar negeri abreviasi. Sing-sing-bing-bing; singkat-singkat bikin bingung! Lalu, kenapa saya melakukannya juga? Haah! Memang saya tinggal di mana? Sudah sejak kecil orang renta saya selalu menyampaikan pada saya, mengaumlah di kandang harimau, mengembiklah di sangkar kambing. Nah, itu!”

Tokoh Bercambuk makin bersemangat bermonolog.

“Mentang-mentang saya pimpinan di sini, memangnya itu otomatis membuat saya jadi penentu arah? Saya pun cuma sekrup. Mau apa saya? Akhirnya, saya pun berposisi membela jabatan saya. Apa peduli saya dgn masyarakat? Sekarang saya terpaksa menyampaikan, jangan bilang ini ruwet. Mendidik bangsa memang tak simpel. Jangan memudahkan. Itu akan menghasilkan generasi bangsa yg lembeng!”

Mendadak Tokoh Bercambuk blingsatan. Matanya jelalatan mencari sesuatu, kemudian berteriak ke suatu arah.

“Wooeeeeeee! Siapa mencuri angka-angka di siniiiii!? Kalian mengganggu permainan puzzle-ku tahuuu!? Anak-anak, nggak usah menyuruhku bereksperimen dgn pendidikan. Yang niscaya-pasti saja deehh! Puzzle ini kuberi angka biar seluruhnya jadi mudaaah! Woooeeeee! Lima ratus ribu sampai lima ratus ribu sepuluuuuh! Kalian suka menyusup ke sini, kan? Kalian yg sembunyikan angka-angka di sini yaaa? Wooeee! Di mana kalian lima ratus ribu sampai lima ratus ribu sepuluuuuh!? Nggak usah menampilkan nama. Namamu tak ada guna & fungsi di negeri koprol ini!”

Tiba-tiba terdengar bunyi berkelontang dr ruang sebelah & disusul bunyi pecah awut-awutan. Beruntun. Tokoh kita menengok. Bergegas mengambil cambuknya dr kapstok & meletarkannya ke udara di sela berbicara. Persis gaya pawang harimau sirkus.

“Wooeeeiiii! Siapa menjatuhkan apaaaaaa!? Baru jadi penghuni baru saja sudah berguru menjatuhkan barang, bagaimana kalau jadi penghuni lama kalian? Mau menjatuhkan kekuasaan, ya? Woeee, angka berapa kamuuuuu? Aangkaaaa! Aku tak tanya nama! Di sini tak ada nama. Yang ada angka! Angka berapa kamuuuu?”

  Berkereta ke Surga | Cerpen Teguh Affandi

“Lima juta lima ratus lima puluh limaaa?”

Tokoh Bercambuk membuka sebuah berkas dgn cepat & mencocokkan. ia mengangguk-angguk dalam, seolah menemukan kecocokan antara berkas & fakta.

“Bukankah itu ananda yg kemarin jadi otak demonstrasi yg mengaku pelajar SMP itu? Wuuuu… Apaa… Pelajar Sekolah Menengah Pertama kok bulu kakinya kayak genderuwo! Kamuu! Iyaa, kamuuu! Kamu yg mimpin tawuran pelajar kemarin bersama angka lima ratus lima puluh ribu tiga belas? Oh bukan? Apa? Oooo….ya, ya, ya. Kamu yg menyaru pimpinan BEM tapi gak tahu RUU kitab undang-undang hukum pidana itu ya? Yang getol membela buruh tetapi nggak ngerti persyaratan UMR itu? Halaahh, nurut saja kamu! Orang tuamu di sini lagi sibuk menentukan kurikulum kalian! Kami sibuk memperhitungkan segala sesuatu dlm konsep ini! Sementara kalian di sana malah bikin onar! Bisa tenang tidak!? Ini waktuku menyusun kurikulum! Bisa tenang tidaaak?”

Bahkan, suara gaduh dr ruang sebelah kian bertambah. Kini disertai suara derap ratusan pasang sepatu. Tokoh kita ini meletarkan cambuknya membelah udara. Letaran cambuk di udara & derap ratusan pasang sepatu itu menjadi orkestrasi mempesona, setidaknya seperti derap gegap pasukan dlm klip video The Wall-nya grup band lawasan, Pink Floyd. Bukannya reda, tetapi justru bunyi kemelontang kembali terdengar, disusul suara runtuhan barang, entah apa pun itu, tetapi sungguh riuh.

Tokoh Bercambuk memandang pintu ruang sebelah dgn persepsi yg sukar ditebak. Seperti suatu sikap paham yg cuek atau entahlah.

“Baiklah, harimau sirkus. Binatang memang mesti diajari dgn cara hewan. Mending menghilangkan nyawa satu orang untuk melindungi masa depan jutaan orang. Tak akan ada yg menanyakan kamu, toh ananda cuma sebatang angka. Apa gunanya untuk industri, terlebih hidup ini.”

Tokoh kita mengambil pistol dr lacinya, mengokangnya, & secepatnya masuk ke ruang sebelah. Tak menanti dua menit, terdengar suara, dor! Lalu, terciptalah tenang. Bukan. Bukan tenang. Tepatnya sunyi. Tokoh kita masuk kembali. Menyimpan pistol di laci mejanya dgn acuh taacuh, kemudian ia memencet tombol interphone yg melekat pada salah satu segi dinding.

“Administratir!! Catat, tujuh juta lima ratus enam puluh satu ribu tak pernah ada. Masukkan dlm metode KNKT-DO-tewas alasannya adalah penyakit sampar. Pengurangan angka ini penting untuk menghitung kembali jumlah jam yg diputuskan dlm kurikulum untuk mengajar. Satu guru mengajar lima puluh angka dgn satu guru mengajar lima belas angka sudah beda lagi. Dan ini memengaruhi sistem manajemen serta, saya tak suka ini, membuat defisit! Bangsat! Bangsatlah kalian. Dasar angka-angka! Dikiranya tak terkait pada data ekonomi & inflasi!”

Meletarkan cambuknya sekali ke udara, melemparkan cambuk begitu saja, mencopot sebuah badge angka dr dadanya & meletakkannya di suatu meja.

“Saya kira hari-hari perubahan masih panjang. Apa peduli saya. Toh, dalam waktu dekat saya pensiun. Semua orang berhak menyelamatkan hidupnya sendiri. Ibarat bunglon, di kekuasaan mana bertengger, saya akan berubah menjadi serupa. Hhmm, letih saya. Dan puzzle education game ini usang-usang tak menarik lagi. Terkadang saya menyesal, kenapa dulu saya tak meneruskan perjuangan Rawon Setan saya. Sama-sama ngurusi angka, lebih terang peruntungannya. Uh!”. (*)