Mita masih terduduk di pojok teras perpustakaan yg terletak di potongan belakang kompleks sekolah itu. Hari sudah mulai sore, daun-daun gemerisik seakan berbisik gundah. Suaranya terdengar meringkik menahan tawa lepas. Sesekali terdengar mirip suara merintih di balik benteng sekolah yg menjulang kuat.
Mita terkesiap mendengar bunyi itu, perlahan ia menolehkan pandang ke sumber suara, tetapi yg terlihat tetaplah tembok menjulang melembab & menghijau karena lumut berkembang subur di sana. Bulu kuduknya mulai merinding, duduknya gelisah dlm kesendiriannya. Tiara yg sedari tadi menemaninya beberapa dikala izin untuk ke toilet tetapi hingga di penghujung penantian, Tiara belum pula kembali.
“Terus ke mana anak itu?” gumamnya seraya bangkit dr duduknya & melihat arah jarum jam tangannya seakan memutuskan waktu dikala itu. Gemeretak ranting yg terjatuh ke bumi semakin terasa mistis. Lagi-lagi bulu kuduk Mita berdiri, rasa takut menghantui perasaannya. Suara rintihan itu kembali terdengar dr balik dinding tembok menjulang. Kokohnya dinding itu seakan tak sanggup meredam suara hingga terdengar nyaring menembus susunan bata merah berbalut semen tebal.
Tanpa pikir panjang, Mita segera menghambur ke dlm perpustakaan, tetapi langkahnya terhenti manakala melihat penjaga perpustakaan terduduk tanpa verbal. Pandangannya nanar, kosong tanpa sebuah keceriaan memandang sosok Mita dlm panik. Tapi rautnya begitu datar tak bersahabat.
“Pak, saya mau masuk untuk mencari buku!” ujar Mita seraya menghampiri meja tamu perpustakaan lantas menjangkau pulpen yg berada di atas meja itu.
“Tulis nama & kelasnya!” ujar penjaga perpustakaan itu sambil menyodorkan buku tamu pada Mita.
“Iya, Pak!” jawab Mita, pandangannya lekat tertuju pada pria setengah baya yg terduduk mematung di depannya.
Mita melangkah menyusuri lajur antara rak satu & yang lain. Mita berniat mencari buku sastra untuk menyanggupi tugas Bu Yanti, guru bahasa Indonesia. Namun sesaat Mita berbalik arah kembali ke meja tamu perpustakaan itu.
“Pak jikalau buku sastra di rak berapa ya?” tanya Mita seraya menatap tajam pada pria tanpa mulut itu.
“Kamu mampu cari di rak 13!” jawab laki-laki itu datar sekali.
“Makasih, Pak!”
“Hmm!”
Mita secepatnya menyusuri lorong-lorong yg terbentuk dr gugusan rak buku hingga membentuk mirip labirin. Ternyata tak gampang menemukan rak 13 itu. Letaknya ada di antara lorong paling ujung antara rak 10 & rak 9. Mita menoleh ke kanan rak 9, pada suatu kertas yg sudah lusuh tertulis “Rak 13”. Perlahan langkahnya terayun menuju gugusan buku sastra yg terpajang di rak itu.
Entahlah, kian dekat dgn rak itu, rasa takut menyergap hatinya, bulu kuduknya kian merinding. Mita menyentah lembut formasi buku yg tersusun rapi di rak itu, di ambilnya suatu buku yg terletak paling ujung lantas dibaca jilid depannya berjudul: Misteri Terbunuhnya Gadis Berusia 13.
“Kok, cerita misteri sih?” gumamnya seraya meletakkan buku itu di daerah semula, kemudian Mita ambil lagi buku yg yang lain.
“Astagfirullohaladzim… kok judulnya sama sih,” seru Mita terkejut luar biasa, buku itu terlempar ke lantai. Mita mundur beberapa langkah hingga nyaris menabrak rak 9 persis berhadapan dgn rak 13.
Beberapa dikala keberaniannya muncul di ujung rasa penasarannya. Mita kembali menghampiri rak 13 itu lalu mengambil buku dr ujung yg lain kemudian dibacanya judul buku itu.
“Astaga! Kok semua buku di rak ini memiliki judul yg sama ya? Ada apa ini?” seru Mita, secepat kilat ia berlari menghambur ke arah pintu keluar, pandangannya tetap tertuju pada rak 13 itu. Sontak saja Mita tak memperhatikan benda yg ada di depannya. Di waktu yg berbarengan Tiara bermaksud menyusul Mita ke dlm perpustakaan itu, tak pelak lagi badan Mita menabrak badan Tiara yg berada di ambang pintu itu. “Gedubrak,” kedua tubuh gadis itu terjatuh saling menindih.
“Aduh….kau ini kenapa Mita, lari kayak diburusetan aja?” ujar Tiara seraya bangun, parasnya terlihat memucat. Tiara beberapa kali mengaduh kesakitan, ia memegang sikutnya yg lecet alasannya benturan.
“Anu….anu!” jawab Mita dgn suara terbata-bata terlihat seperti panik sekali.
“Anu apa Mita?” tanya Tiara, kedua tangannya memegang pundak Mita yg sedang dlm keadaan cemas yg amat sangat.
“Tenangkan dahulu Mita! Duduklah, ini minumlah dahulu!” ujar Tiara seraya mengeluarkan sebotol air mineral dr dlm tasnya & memberikannya pada sahabatnya itu. Mita tak serta merta meminum air itu, wajahnya masih memucat, napasnya sesak, keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya. Kini baju seragam pramuka yg dipakainya terlihat membasah.
“Ayo, minumlah Mita, biar kondisimu makin membaik, sesudah itu berceritalah padaku! Ada apa di dlm sana sehingga ananda tampakbegitu panik,” ujar Tiara lagi seraya terduduk di samping Mita.
“Iya, makasih Tiara,” jawab Mita sambil meminum air sumbangan sahabatnya itu. Entah alasannya haus atau hal lain air mineral itu nyaris habis setengah cuilan.
“Gimana, ananda sudah hening kini? Apa yg bergotong-royong terjadi di dlm sana Mit?” tanya Tiara setengah memaksa Mita untuk bereerita.
“Sesuai rencana, kita akan mencari buku sastra yg ditugaskan Bu Yanti, alasannya adalah kelamaan menanti ananda maka gue putuskan masuk duluan,” terperinci Mita dgn nada bicara sedikit terbata alasannya adalah masih dihantui rasa ketakutan ahli.
“Lama gimana? Aku hanya ke toilet tak lebih dr sepuluh menit,” jawab Tiara seraya mengernyitkan dahinya.
“Akhirnya gue memaksakan diri masuk, sebelumnya gue menulis di buku tamu alasannya adalah disuruh Pak Badrun,” terperinci Mita lagi sambil memandang wajah Tiara yg kebingungan.
“Apa? Pak Badrun? Kamu lupa jika ia itu sudah meninggal tiga hari yg kemudian?” ujar Tiara lagi.
“Iya, Pak Badrun, bahkan gue menulis di buku tamu yg terletak di atas meja itu!” kata Mita seraya menoleh ke arah meja di pinggir kanan pintu perpustakaan itu.
“Buku apa? Tidak ada buku apa pun di sana,” kilah Tiara seraya menuntun Mita menuju meja itu.
“Jadi tadi itu?”
“Makara tadi itu cuma halusinasi kamu, Mita!”
“Terus rak 13 itu menyimpan buku dgn judul yg sama ‘Misteri Terbunuhnya Gadis Berusia 13,” jawab Mita meyakinkan sahabatnya ihwal rak 13 itu.
“Masa sih? Ayo kita cek lagi kebenarannya,” ajak Tiara seraya membimbing Mita menuju rak 13. Tanpa banyak berkata Mita secepatnya mengikuti kemauan Tiara menuju rak 13. Sasampainya di rak itu, Tiara segera mengevaluasi judul buku yg berderet satu demi satu dgn teliti.
“Halusinasi ananda betul-betul jago Mita! Buku yg berderet di sini memiliki judul yg berlainan. Coba ananda perhatikan satu demi satu!” ujar Tiara seraya memperlihatkan satu persatu buku yg terletak di rak 13.
“Jadi yg tadi itu….?” kata Mita dlm kebingungan yg amat sangat. Digaruk- garuk kepalanya maski tak terasa gatal.
“Terus suara rintihan itu?” tanya Mita pada Tiara. Pandangannya begitu lekat memandang wajah sahabatnya.
“Kamu pula lupa ya, apa yg dibilang Pak Dudi guru bahasa Sunda? Menurut dongeng penduduk setempat, beberapa bulan kemudian di rumah yg terletak persis di belakang perpustakaan ini ada seorang gadis berusia 13 tahun yg meninggal dengan-cara tragis,” terperinci Tiara seraya menatap wajah Mita yg masih tampakkebingungan.
“Makara semua yg kualami tadi?”
Itu halusinasi terhebat yg pernah gue dengar!” jawab Tiara seraya beranjak meninggalkan Mita yg sedang kebingungan. (*)