Saya & teman-teman yg masih menganggur berupaya untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi, sudah melamar ke sana kemari, pekerjaan itu belum pula didapat. Haji Markum, salah satu tokoh sekaligus imam masjid yg saya & sahabat-teman kagumi menawarkan isyarat , biar kami sering-sering shalat di masjid. Akhirnya saya & ketiga sobat saya rajin shalat berjamaah di masjid. Kami selalu tepat waktu & kompak.
Setiap waktu shalat, setelah selesai berdoa minta dikabulkan cepat dapat pekerjaan, saya & ketiga teman saya duduk-duduk di beranda masjid. Karena tak ada kerjaan, tak jarang kami jadi ngelantur dan ngobrol sana-sini yg tak terperinci. Dan, dialog kami sampai pada salah satu jamaah. ia ialah jamaah yg senantiasa tertinggal ketika shalat. Memang sih bukan hanya ia yg tertinggal dlm shalat berjamaah, jamaah lain pula pernah melakukannya. Tapi, tak mirip dia. ia senantiasa saja tertinggal, dlm setiap waktu shalat berjamaah.
Sebelumnya, saya & teman-sobat tak pernah mengenal namanya. Kami pula tak mengetahui di mana ia tinggal & apa pekerjaannya. Karena setiap kali shalat, lelaki setengah baya itu senantiasa tertinggal beberapa rakaat. Terutama saat shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, & Isya. Sehingga, kami memberi julukan laki-laki itu: Mister Masbuk!
Suatu hari sewaktu salat ashar berjamaah di masjid, Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat. Saya & sahabat-sahabat mengenali dr rakaat yg tertinggal, yg harus dilakukan laki-laki itu sendirian. Salah satu teman saya sempat menyinggung masalah ini, dikala semua jamaah bubar.
“Eh, tadi lihat sendiri kan … Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat,” ucap salah satu sobat itu.
“Iya, yah … gue heran, apa ia nggak denger azan..?!” yg lain menimpali.
“Orang sibuk, kali?” saya menyela.
“Apa mungkin rumahnya jauh dr masjid?”
“Atau jangan-jangan … lelaki itu memang sudah hobi salatnya tertinggal. Masak setiap shalat senantiasa tertinggal? Cuma shalat Subuh aja ia kadang nggak ketinggalan. Kalau shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, atau Isya, perhatiin deh. Pasti ketinggalan!”
“Yaa, namanya pula Mister Masbuk.”
“Hahahaha …” kami semua, si pengangguran sejati, tertawa.
“Ssst…! Tapi kayanya masih mending dia, dibandingkan dengan orang yg nggak pernah ke masjid sama sekali.” ucap saya tiba-tiba, membuat yg lain melongo.
“Jangan-jangan ia emang sengaja terlambat, supaya shalatnya nggak lama. Kan tau sendiri, Haji Markum jika jadi imam suka lama banget.”
“Heheh … bisa saja kamu.”
“Eh, dosa nih kita ngomongin orang!”
“Astaghfirullah…! Iya, ya … habis sih, Mister Masbuk itu yg bikin kita jadi ingin tau”
“Kok menyalahkan Mister Masbuk?”
“Ya, alasannya adalah ia senantiasa ketinggalan jamaah, ia jadi perhatian kita semua.”
Demikianlah. Mister Masbuk memang menjadi perhatian saya & sobat-sahabat di masjid.
Sejak sahabat-teman membicarakan kebiasaan Mister Masbuk, saya pun jadi ikut-ikutan memperhatikannya. Mister Masbuk saya kira seseorang yg terampil & gesit. Cara ia berdoa pun berlainan dr pada umumnya jamaah. Tak jarang Mister Masbuk cuma duduk beberapa saat saja sesudah selesai shalat, lalu tergopoh-gopoh keluar masjid. Gerakannya sungguh cepat sekali. Kalau sudah begitu, saya & sobat-teman yg sedang berdoa kadang saling lirik sebab sikapnya.
“Eh, tadi lihat nggak Mister Masbuk. Kayak dikejar-kejar setan, ya?”
“Mungkin ia emang nggak betahan kali lama-lama di masjid?”
“Udah shalatnya ketinggalan, sehabis selesai buru-buru gitu, ya…?”
“Atau jangan-jangan, menurut ia shalat ketinggalan itu lebih mulia ketimbang shalat sempurna waktu?!”
“Aeh, ngaco kau!”
“Sssttt … istighfar! Mending kita selidiki aja deh. Siapa sih Mister Masbuk? Biar kita nggak penasaran. Kalau kita tanyakan langsung, takutnya tersinggung.”
“Setuju…!”
Akhirnya, saya & ketiga sahabat saya setuju untuk menyelidiki siapa Mister Masbuk. Kami cuma ingin tahu kenapa ia senantiasa datang terlambat ke masjid. Dan kenapa selalu tergesa-gesa sehabis beberapa saat duduk berdoa sewaktu salat selesai, tak mirip kebanyakan jamaah lainnya.
Penyelidikan pun kami kerjakan. Kami berencana mengikuti Mister Masbuk, seperti jasus atau polisi yg hendak memata-matai penjahat. Selepas shalat Zhuhur, kami akan mengendus siapa bantu-membantu Mister Masbuk itu. Kami sempat mendiskusikannya, sebelum melakukan penyelidikan.
“Saya yakin, Mr Masbuk niscaya orang sibuk.”
“Jangan-jangan pimpinan perusahaan kali?”
“Ah, nggak ada potongan! Liat aja penampilannya.”
“Sudah, sudah … nanti saja kita lihat sama-sama.”
Shalat Zhuhur sudah selesai. Para jamaah pun berdoa. Seperti biasa, mirip pada shalat berjamaah di waktu-waktu sebelumnya, cuma Mister Masbuk yg masih menyisihkan rakaat yg tertinggal. Kami kira bukan Mister Masbuk namanya, jikalau tak ketinggalan.
Ketika selesai berdoa, Mister Masbuk masih belum menyelesaikan shalatnya yg tertinggal. Kali ini doa imam masjid Haji Markum memang tak terlalu usang mirip biasanya. Beberapa sahabat mulai berkumpul di sudut masjid. Sementara jamaah yang lain membubarkan diri & beberapa diantaranya melakukan shalat sunah sesudah Zhuhur.
“Eh, lihat tuh Mr Masbuk … masih belum selesai.”
“Kita tunggu saja. Nanti pas ia keluar, kita ikuti dia.”
“Oke, deh….”
Setelah menuntaskan shalatnya, Mister Masbuk berdoa sebentar, lalu tergopoh-gopoh keluar dr masjid. Saya & ketiga sahabat secepatnya menghambur keluar. Kami yg sudah menyiapkan rencana ini segera mengikuti ke mana Mister Masbuk melangkah.
“Jangan hingga mencurigakannya,” bisik salah satu teman saya.
Kami pun mengikuti ke mana Mister Masbuk berjalan. Mister Masbuk memasuki kompleks perumahan dgn langkah tergesa-gesa. Pada salah satu gang, kami terpaksa menghentikan langkah alasannya adalah Mister Masbuk berhenti di tengah jalan. Mister Masbuk berjumpa dgn seseorang & keduanya mengobrol sebentar. Beberapa saat kemudian, orang itu tampaktersenyum & mohon diri untuk berpisah. Mister Masbuk melanjutkan langkah. Kami pun secepatnya mengejarnya. Kami sudah layaknya detektif betulan yg tengah memata-matai penjahat.
Cukup usang kami mengikuti langkah Mister Masbuk. Dan kerap kali kami merasa Mister Masbuk berjalan dgn langkah-langkah pelan, seperti curiga jikalau dirinya kami ikuti. Namun begitu, Mister Masbuk terus berlangsung menuju gang paling ujung. Kami terus mengikutinya, hingga sungguh-sungguh mengenali di mana Mister Masbuk tinggal. Dan, kami tentukan Mister Masbuk menetap di gang kompleks paling ujung alasannya ia melangkah ke sana. Namun, rupanya asumsi kami meleset. Mister Masbuk masih terus melangkah tatkala kami sudah berada di ujung gang kompleks perumahan. Mister Masbuk justru hendak melintasi perbatasan kompleks.
“Dia bukan penghuni kompleks ini,” bisik salah satu teman saya.
“Pantas jika salat ketinggalan, rumahnya jauh.”
“Sudahlah … kita ikuti terus!”
Dan, tibalah Mister Masbuk pada salah satu rumah sederhana. Rumah itu sekaligus toko kelontong. Seorang anak berusia sekitar delapan tahun menggendong balita yg sedang menangis, kemudian menyerahkannya pada Mister Masbuk. Seorang bocah yg lebih kecil lagi ikut mendekati Mister Masbuk. Mister Masbuk secepatnya menggendong balita tersebut & menciumnya. Sementara si anak tadi secepatnya melayani salah satu pembeli yg datang ke warung itu, disertai anak yg lebih kecil. Saya & teman-sahabat saling tatap melihat insiden itu. Karena sudah terlanjur terlihat oleh Mister Masbuk, kami pun secepatnya berpura-pura menjadi pembeli di warung kelontongnya semoga tak mencurigakannya.
Ternyata tatkala kami mengikuti Mister Masbuk pulang, Mister Masbuk mengaku tahu apa yg kami lakukan. Mister Masbuk, yg balasannya kami pahami bernama Pak Markim itu, di waktu berikutnya akrab dgn saya & sahabat-sobat. Oh ya, kenapa Pak Markim sering menjadi masbuk, alasannya beliau memang sibuk sekali. Sejak istrinya meninggal dunia, Mister Masbuk aeh, Pak Markim … yg belum kuat menggaji pembantu itu mengurusi empat anaknya yg masih kecil-kecil, sambil menunggui warung kelontongnya yg tidak mengecewakan mulai ramai pembeli. Pak Markim bilang, kedua anaknya yg paling kecil suka menangis kalau ia hendak ke masjid. Sementara itu, ia tak mungkin menenteng keduanya. Dan, ia harus meyakinkan kedua anaknya tersebut supaya tak ikut sebelum berangkat ke masjid. Hal itulah yg membuat ia selalu ketinggalan.
“Sekarang kami mengetahui, Pak. Kalau kami jadi Pak Markim, kami belum tentu bisa menyempatkan diri shalat di masjid.”
“Sesibuk apa pun, kita harus menyempatkan diri shalat berjamaah di masjid. Bukankah shalat berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian di rumah? Dan, insya Allah, bila sudah dapat pembantu saya tak akan menjadi masbuk lagi,” komitmen Pak Markim, sambil menyunggingkan senyum.
Sejak kejadian itu, kami setuju untuk tak berburuk sangka pada seorang masbuk di masjid. Kami kira shalat berjamaah tertinggal oleh imam bukan merupakan hal yg jelek, daripada tak shalat sama sekali. Dan, jika pada hari selanjutnya ada Mister Masbuk seperti Pak Markim, kami belum tentu sempat lagi menyelidikinya alasannya adalah kami semua baru saja mendapatkan pekerjaan. Kami tak akan lagi melaksanakan hal-hal seperti orang kurang kerjaan itu.
Catatan:
– Masbuk: Sebutan bagi makmum yg tertinggal dlm shalat berjamaah.