Mila Karakas | Cerpen Mashdar Zainal

KALAU tak keliru, saya masuk Sekolah Menengan Atas pada pertengahan tahun 1997. Dalam satu kelas ada dua puluh empat siswa. Sepuluh laki-laki & empat belas perempuan. Pada suatu pagi di permulaan caturwulan dua, kelas kami kehadiran satu murid lagi, seorang perempuan, sehingga jumlahnya genap dua puluh lima. Sepuluh laki-laki & lima belas perempuan.

Murid baru itu namanya Sumilah. Panggilannya Sumi. ia datang dr pedalaman dusun di lereng Gunung Lawu. ia mengaku, dusun tempatnya dilahirkan itu bernama Karakas sehingga kadang anak-anak menjulukinya Bocah Karakas. Dan, hingga detik ini, saya tak pernah mencari tahu apakah dusun bernama Karakas itu betul-betul ada. Bagi saya, Sumi & Karakas bukanlah sesuatu yg penting & tak akan menjadi sesuatu yg penting. Saya sudah nyaris melupakannya.

Tak ada kenangan mempesona waktu Sekolah Menengan Atas. Semua berjalan begitu saja. Seperti suatu adegan yg harus ada & hanya butuh dilewati. Bukan cerita inti. Kendati demikian, kelebat-kelebat ingatan perihal masa-masa SMA masih ada dlm kepala saya meski tak banyak. Salah satunya yakni ingatan wacana Sumi. Mungkin saya tak akan sudi sibuk-sibuk menggali kenangan wacana Sumi, Bocah Karakas itu, bila saja ia tak timbul di televisi.

Beberapa waktu kemudian, saat antre menebus obat untuk anak saya yg kena demam berdarah di apotek rumah sakit, saya memelototi televisi yg menyala di ruang tunggu.

Pada sebuah program lomba dangdut, saya menyaksikan parasnya di televisi untuk pertama kali. Wajah yg terlihat tak asing. Wajah khas bocah gunung, hanya saja penuh polesan. Lantas isi kepala saya meraba-raba, di mana kiranya saya pernah menjumpai wajah itu? Lalu, nama itu timbul, tertulis di layar televisi; Mila Karakas.

Sekarang, yg tak asing di pendengaran saya ialah kata “Karakas”. Ingatan di kepala saya kembali bergerak, melaksanakan pencarian, perlahan sambung-menyambung, hingga kemudian muncullah ingatan wacana Bocah Karakas bernama Sumilah yg berasal dr dusun di lereng Gunung Lawu. Jelas sekali, wajah itu adalah wajah yg sama dgn wajah bocah di bangku sekolah puluhan tahun silam itu. Bocah gunung berjulukan Sumilah.

Di rumah saya tak ada televisi, sebab itu saya ketinggalan informasi, utamanya gosip-informasi tak penting yg kerap timbul di televisi, seperti gosip artis, tergolong berita wacana profil pemenang lomba dangdut di suatu televisi swasta.

  Anjing Pak Gendang | Cerpen Arsyad Salam

Ketika saya menjajal mengetik nama Mila Karakas di mesin pencarian, nama itu bertebaran di seluruh halaman. Begitu pula fotonya. Gadis itu bahwasanya tak elok. Hanya saja, kadang parasnya yg khas bocah gunung itu yummy dipandang. Bahkan, meski ia tak memakai make up paras .

Dulu waktu Sekolah Menengan Atas, gadis itu berjilbab. Alisnya tipis & bibirnya berwarna merah pucat sehingga ia senantiasa terlihat seperti orang yg baru bangun tidur. ia bukan tipe anak pendiam meski ia tetap tahu sopan santun. Nilai-nilainya tak bagus, tapi pula tak jelek. Dan ia suka sekali menyanyi.

Seingat saya, dahulu ia punya tiga buku catatan yg berisi lirik-lirik lagu yg sedang masyhur & digandrungi anak muda tatkala itu. Banyak sekali sahabat kami yg meminjam buku lirik lagunya untuk disalin di buku tulis masing-masing. Dalam hal menyanyi, tatkala itu, ia yakni pandangan baru. Teman-sahabat begitu terpana, tatkala ia menyanyikan lagu “Merinding Bulu Romaku” pada acara pertunjukan seni.

Selanjutnya, tatkala ada penampilan-penampilan menyanyi, ia selalu jadi bintang yg disodorkan ke depan panggung,

Dulu, waktu SMA, ia memang sedikit centil. Tidak malu-malu ketika ngobrol dgn anak laki-laki, yg bahkan gres ia kenal.

Dan seingat saya, ia pernah mengantarsurat pada salah seorang sahabat lelaki kami yg tidak mengecewakan alim di kelas. Namanya Hasan, ia suka sekali menyanyikan lagu kasidah & selawat.

Suatu hari di program pertunjukan hari besar keagaman, ia & Hasan tampil bareng menyanyikan kasidah besutan Nasida Ria berjudul “Perdamaian”. Mungkin alasannya adalah kesempatan itulah Sumi kesengsem dgn ketampanan & kesalehan & kemerduan bunyi Hasan.

Kendati surat demi surat telah diantarkan oleh Sumi, saya tak ingat Hasan pernah membalas surat-surat itu. Sejak masalah surat-surat yg tak pernah dibalas itu, antara Hasan & Sumi mirip terbentang jarak. Meski demikian, Sumi tak terlihat berhenti mengejar-ngejar -ngejar Hasan. Sampai kemudian kami semua lulus. Dan di program perpisahan yg syahdu pada suatu malam, Sumi menyanyikan lagu “Bagaikan Petir di Siang Hari” yg sempat dipopulerkan oleh Nais Larasati.

Mungkin kami semua ingat, Sumi menyanyikan lagu itu sarat penghayatan, bahkan ia sungguh-sungguh menangis. Dan rasanya, kami semua mulai menebak-nebak bahwa sesungguhnya Sumi sedang menangisi Hasan yg dalam waktu dekat bakal diboyong mondok ke Pesantren Lirboyo oleh bapaknya.

  Cerpen: Tulus Mendapatkan Takdir Allah

Ketika kami guyoni perihal tangisan di atas panggung itu, Sumi cuma berseloroh bahwa ia tak cuma menangisi Hasan, ia menangisi semua teman-temannya. Perpisahan memang acara yg menyedihkan, mampu membuat semua orang menangis, & ia bilang belum siap berpisah dgn kami semua.

Dan memang bukan Sumi seorang yg menangis selepas program itu. Hampir semua anak perempuan menangis tatkala itu. Dan satu-satunya ucapan Hasan yg mampu kami dengar seusai program itu adalah suatu khotbah pendek: bahwa kita semua mesti konsentrasi berguru, jangan memikirkan soal cinta-cintaan dulu. Bahwa jodoh itu urusan belakang, urusan Tuhan, bila jodoh niscaya takkan ke mana.

Seusai program kelulusan & perpisahan, kami semua sungguh-sungguh berpisah. Di antara kami ada yg melanjutkan kuliah, ada pula yg pergi mondok seperti Hasan, ada pula yg pergi merantau keluar kota, mirip saya, ada pula yg minggat ke luar negeri jadi TKI, & tidak sedikit pula yg menentukan berdiam di kampung halaman menerima warisan pekerjaan dr orangtua sebagai petani, buruh pabrik, penjaga toko, & lain-lain.

Waktu seperti mencacah belah semua kisah waktu Sekolah Menengan Atas, menjadi pecahan-kepingan kecil, suatu kenangan yg dibawa masing-masing kepala & tak penting untuk diunggah.

Semenjak melihat Sumi di televisi—yang mengubah namanya menjadi Mila Karakas, saya jadi rajin mengikuti info—utamanya perihal Mila Karakas. Hingga beberapa waktu silam, seseorang memasukkan saya ke grup Whatsapp alumni SMA.

Anggota dr grup tersebut tak lebih dr tujuh belas orang. Dan dlm grup tersebut tak ada Sumi meski ikon gambarnya ialah foto Sumi, yg kini sudah bermetamorfosis menjadi Mila Karakas—yang begitu kami banggakan.

Di grup tersebut tak pula ada Hasan, sahabat kami yg alim & pendiam itu. Konon, selepas mondok, ia mengajar di sebuah sekolah di Surabaya, lalu pindah ke Jakarta.

Di antara kami tak ada yg betul-betul tahu seperti apa kabarnya kini. Mungkin Hasan sudah jadi orang sukses di luar sana. Seperti halnya Sumilah alias Sumi alias Mila Karakas, yg kini sudah jadi artis Ibu Kota. Tentu tak gampang menghubungi artis Ibu Kota, alih-alih memasukkan nomor kontaknya ke grup Whatsapp sobat alumni SMA, yg notabenenya yakni sekumpulan rakyat jelata.

  Kenangan Kemerdekaan | Cerpen Junaidi Khab

Konon, untuk menelepon Mila, apa pun itu, mesti melalui manajernya. Dan, menurut salah satu sahabat kami yg pula ada dlm grup tersebut, tarif untuk memanggil Mila Karakas manggung mampu buat DP beli tanah di perumahan yg lumayan elite.

Dalam grup tersebut kami mulai bergunjing. Bahwa benar adanya, sekarang gadis centil itu sudah menjadi artis Ibu Kota. Bakat yg ia bawa sejak kecil, sejak SMA, tidaklah tidak berguna. Dan setelah jadi artis, ia mulai melepas jilbab, kemudian menyemir rambutnya menjadi merah, kadang hijau, kadang biru, & yg paling kerap warna pirang keemasan. Pakaiannya pula seksi-seksi. Dan konon, jikalau beli baju atau sepatu, sekali pakai. Entahlah.

Beberapa sahabat mengobrolkan bahwa untuk menjadi artis seperti itu, ia tak cuma bermodal talenta atau tampang, tapi pula bermodal kemolekan tubuh. Kita semua paham maksudnya.

Beberapa kawan perempuan yg tak setuju dgn pernyataan itu menentukan untuk keluar grup sesudah berkomentar bahwa grup ini tak lebih baik dr apa pun yg dikerjakan Mila Karakas—seandainya ia memang melakukan hal jelek. Di grup ini tak ada karya, tak ada manfaat, cuma bergunjing.

Begitulah, beberapa kawan keluar masuk grup. Keluar lagi. Dimasukkan lagi. Sekali-kali saling mencaci. Hingga mendadak, seorang mitra mengirimkan tautan suatu berita yg tajuknya: Tersebar Video Tidak Senonoh Mila Karakas dgn Salah Satu Artis Senior.

Dalam laman yg sama, terpampang pula isu lain yg masih berhubungan dgn Mila Karakas: Mila Karakas Menggugat Cerai Suaminya, Wahyu, yg Diduga Telah Menyebarkan Video Perselingkuhan Tersebut. Dalam info itu, terpampang foto suami Mila Karakas yg sedang menggendong anak balita, terlihat menunduk menyedihkan. Tentu kami semua tak asing dgn foto lelaki yg sekilas menunduk itu.

Semenjak tersebarnya video tersebut, banyak masyarakat yg gres tahu bahwa Mila Karakas ternyata sudah bersuami & punya seorang anak. Dan nama suaminya yaitu Wahyu Hasan Sobari. Nama yg sama sekali tak asing bagi kami. Mendadak dada saya sebak, dijejali rasa murung yg gila. Kenangan puluhan tahun silam itu pun kembali menyanggupi kepala saya: sebuah panggung, seorang gadis centil bernyanyi dgn seorang pemuda alim yg pendiam.

Perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian…

Banyak yg cinta tenang, tapi perang makin ramai…

Bingung, galau, kumemikirnya….(*)