Metodologi Observasi Kuantitatif

Metodologi Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif, menurut Robert Donmoyer (dalam Given, 2008: 713), yakni pendekatanpendekatan terhadap kajian empiris untuk mengumpulkan, mengecek, dan menampilkan data dalam bentuk numerik daripada naratif. Menurut Cooper & Schindler (2006: 229), riset kuantitatif menjajal melaksanakan pengukuran yang akurat ter-hadap sesuatu. Penelitian kuantitatif sering dipandang sebagai antitesis atau musuh dari observasi kualitatif, walau bantu-membantu pembedaan kualitatif-kuantitatif tersebut agak menyesatkan. 
Donmoyer berdalih, banyak peneliti kuantitatif terpesona mempelajari aspek-faktor kualitatif dari fenomena. Mereka melakukan kuantifikasi gradasi mutu menjadi skala-skala numerik yang memungkinkan analisis statistik. Pelabelan kuantitatif dan kualitataif juga menyesatkan sebab para peneliti kualitatif tidak bisa sama sekali menyingkir dari kuantifikasi. 
Misalnya saat mereka mengguna-kan istilah kadangkadang, sering, jarang, atau tidak pernah, bekerjsama mereka sudah melaksanakan semacam kuantifikasi dalam bentuk yang kurang sempurna. Lebih jauh lagi, ada peneliti kualitatif yang bergerak melampaui bentuk kuantifikasi primitif dengan menyebar-kan kuesioner dan melaporkan hasil observasi dalam bentuk statistik deskriptif. 
Data numerik ini dipakai dalam penelitian kualitatif selaku bagian dari triangulasi atas temuan-temuan kualitatif dan/atau untuk menentukan apakah hasil wawancara mendalam konsisten dengan pandangan mereka yang tidak diwawancarai sebab argumentasi lamanya waktu dan banyaknya tenaga yang dikeluarkan.
Sebagian peneliti kualitatif berkeberatan dengan landasan filosofis desain reliabilitas dan validitas. Misalnya konsep triangulasi yang sering dianggap analog dengan rancangan reliabilitas sebab triangulasi berupaya menggali sumber data berlainan, ternyata sering berlainan makna dengan rancangan reliabilitas.
Peneliti kualitatif yang berasumsi masing-masing orang berlawanan konstruksi maknanya atas kejadian yang sama, tidak mungkin menghendaki hasil wawancara yang konsisten antarindividu atau antarkelompok walau mereka berasal dari organisasi yang sama. Konsep validitas eksternal atau generalisabilitas (generalizability = keberlakuan secara biasa ) dalam pendekatan kuantitatif mustahil berlaku untuk studi satu masalah atau sekelompok kecil perkara. Peneliti kalitataif yang menolak landasan filosofis konsep validitas eksternal, mendasarkan penolakannya pada asumsi bahwa konteks itu idiosin-kratik (tidak biasa, unik) dan senantiasa berubah. Berdasarkan asumsi ini, tidak ada alasan untuk menerapkan konsep generalisabilitas karena temuan-temuan penelitian tidak akan berlaku pada individu atau konteks berbeda. Para peneliti kualitatif menentukan istilah transferabilitas yang lebih psikologis dibandingkan dengan validitas eksternal atau generalisabilitas. 
Tranferablitas beranggapan 
(a) semua temuan observasi hanyalah sekumpulan hipotesis kerja ihwal apa yang mungkin terjadi dikala hal-hal serupa terjadi dalam konteks serupa dan 
(b) cuma para pengguna hasil penelitian yang mampu menentukan apakah suatu temuan transferabel untuk suasana-situasi mereka. 
Ciri khas pendekatan kuantitatif lainnya dalah validitas internal, maksudnya apa-kah instrumen observasi betul-betul mengukur apa yang sebaiknya diukur. 
Validitas internal dapat dikaji dengan beberapa cara: 
(a) dengan mengorelasikan hasil pengukuran instrumen dengan hasil pengukuran instrumen lain yang sudah mantap mengukur fenomena yang serupa (concurrent validity), 
(b) dengan memilih apakah hasil-hasil pengukuran memberikan prediksi sempurna sebagaimana diharapkan (predictive validity), atau 
(c) dengan memilih apakah kajian-kajian empiris mendukung atau gagal mendukung hipotesis-hipotesis perihal konstruk teoritis yang mampu dioperasikan dan diukur oleh instrumen (construct validity). 
Sekali lagi, tidaklah masuk logika memaksakan analisis statistik dalam studi satu kasus atau studi dengan kasus terbatas yang menyebabkan peneliti sebagai instrumen utama. 
Para peneliti kualitatif terpaksa memperoleh mekanisme seperti member checking yang analog dengan prosedur statistik untuk mengkaji validitas konkuren, prediktif, dan konstruk. Konsep validitas internal juga mendapat tantangan dari sebagian peneliti kualitatif. Para peneliti kuantitatif dan kualitatif memang berbeda secara fundamental dalam memandang hakikat fenomena sosial. Para pendukung pendekatan kuantitatif meyakini kausalitas variabel-variabel fenomena sosial, sedangkan para pendukung pendekatan kualitatif tidak selalu demikian.
Para peneliti kuantitatif menjanjikan pengetahuan valid untuk memprediksikan dan mengendalikan insiden-insiden. Tidaklah meherankan jika pendekatan kuantitatif sungguh mengandalkan desain (sistem) penelitian ekperimental dan kuasi-eksperimental. Eksperimentasi yang menerapkan kendali ketat atas serangkaian variabel sungguh susah atau tidak mungkin dilakukan di dunia konkret, karena itu eksperimen sering dikerjakan dalam setting laboratorium. Sayangnya hasil-hasil observasi dalam laboratorium tidak senantiasa berlaku dalam konteks dunia konkret. 
Kondisi ini mendorong Urie Bronfenbrenner, psikolog pertumbuhan, mengagas rancangan validitas ekologis. Banyak peneliti kuantitatif mengoreksi kurangnya validitas ekologis dengan menentukan rancangan atau metode penelitian kuasi-eksperimental. Namun mereka mesti mendapatkan trade-off berupa kurangnya kendali atas variabel-variabel dan standardisasi treatments daripada setting laboratorium (Donmoyer dalam Given, 2008: 715). Lebih jauh Donmoyer menulis, salah seorang raksasa metodologi kuantitatif, Lee Cronbach yang selama beberapa dekade memraktekkan rancangan eksperimental dan kuasi- eksperimental dan meyakini kausalitas kehidupan sosial, pada tahun 1980an berpendapat lain. 
Menurutnya, tindakan dalam dunia sosial itu terkonstruksi, bukan terakibatkan. Dia mengindikasikan, mereka yang mengharapkan ilmu sosial dapat menghasilkan generalisasi alasannya adalah-akhir secara definitif, bagai menunggu Godot, huruf yang ditunggu-tunggu namun tidak pernah timbul dalam naskah drama ciptaan Samuel Beckett. Pandangan Cronbach itu juga diadopsi oleh banyak peneliti kualitatif, tergolong pengusung tradisi interaksionisme simbolik dan etnometodologi dalam sosiologi. Mereka yang terkena sosialisasi tradisi-tradisi ini juga menolak penjelasan kausalitas (alasannya adalah-akhir). 
Mereka berasumsi: 
(a) manusia bertindak berdasarkan makna yang diatribusikan pada peristiwa-kejadian, 
(b) makna itu dikonstruksi dan selalu dikonstruksi ulang selama manusia berinteraksi. 
Mengingat proses rekonstruksi konstan ini, para pengusung inter-aksionalisme simbolik dan etnometodologi berargumen, tidaklah masuk logika untuk mem-perlakukan makna-makna yang terkonstruksi secara sosial selaku intervening variabel (variabel antara) dalam suatu kerangka penjelasan alasannya-balasan Paparan di atas tidak dimaksudkan untuk mendeskreditkan pendekatan kuantitatif. 
Pembandingan riset kualitatif dan kuantitatif yang lebih „netral‟, walau dalam konteks riset bisnis, disuguhkan oleh Cooper & Schindler (2006: 230). Pembandingan pendekatan kuantitatif dan kualitatif juga mampu dilihat dari teori-teori yang mereka hasilkan. Griffin (2011: 22) misalnya, menyeleksi teori-teori komunikasi pada rentang „objective‟ (kuantitatif) dan „interpretive‟ (kualitatif) worldview (persepsi dunia atau paradigma). 
Teori-teori yang diarsir di atas tergolong berparadigma „objektif‟ hasil sistem-tata cara kuantitatif. Salah satu contohnya ialah teori disonansi kognitif. Kognisi yaitu cara mengetahui, mempercayai, menilai, dan berpikir. Disonansi kognitif yakni perasaan tidak nyaman akibat inkonsistensi sikap, pikiran, dan sikap. West & Turner (2010: 112-28) menerangkan teori ini secara ringkas, pengalaman disonansi – ketidakselarasan doktrin-dogma dan tindakan-langkah-langkah atau dua doktrin yang tidak kompatibel – pasti tidak tenteram, dan orang sangat termotivasi untuk menghindarinya. 
Ketika berupaya menghindari perasaan-perasaan disonansi, orang-orang akan mengabaikan pandangan-persepsi yang berlawanan dengan pandangan mere-ka sendiri, mengubah akidah-kepercayaan agar selaras dengan tindakan-tindakan mereka (atau sebaliknya), dan/atau mencari pertolongan sehabis menciptakan suatu keputusan yang sulit.