Bagaimana tata cara pemahaman Al Quran yg benar ? Menurut Pengajaran & Pendidikan, dlm berbagai kajian tafsir banyak didapatkan metode pengertian Alquran yg berasal dr generasi ulama sebelumnya. Mereka sudah berupaya untuk mengetahui isi Al-Qur’an, sehingga lahirlah apa yg kita kenal dgn metode pengertian Al-Qur’an.
Tafsir merupakan satu-satunya ilmu yg bekerjasama eksklusif dgn Nabi, lantaran Nabi sudah diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk memberikan risalah kenabian sebagaimana terbukti dr ayat 44 Surah An-Nahl: “… … sehingga ananda (Muhammad) dapat menjelaskan pada insan apa pun yg diturunkan pada mereka”.
Karena Alquran diturunkan dlm bahasa Arab mengikuti retorika orang Arab, maka orang-orang sezaman Nabi memahami makna ayat Alquran & situasi di mana ayat itu diturunkan.
Ilmu pertama yg lahir di kalangan umat Islam ialah ilmu tafsir. Itu menjadi mungkin & menjadi realita lantaran sifat ilmiah dr struktur bahasa Arab. Ilmu tafsir Al-Qur’an penting karena bekerjsama merupakan ilmu yg di atasnya seluruh struktur, tujuan, pemahaman, persepsi, & budaya Islam dibangun.
Itulah sebabnya At-Thabarî (W. 923 M) menganggapnya sebagai yg terpenting dibandingkan dgn semua ilmu & pengetahuan. Inilah ilmu yg digunakan umat Islam untuk memahami makna & fatwa dr kitab suci Al-Qur’an, aturan & hikmahnya.
Metode Pemahaman Al-Qur’an Metode & Jenisnya
Syekh Muhammad al-Ghazâlî dlm bukunya “Dialogue with the Qur’an” membagi tata cara pengertian Alquran menjadi dua, yaitu tata cara klasik & tata cara terbaru.
Metode Klasik Pemahaman Alquran
Kajian ini berkisar pada upaya menemukan nilai-nilai sastra, fiqh, kalam, aspek filosofis-sufistiknya, pendidikan, & sebagainya. Ada beberapa jenis kecenderungan penggunaan sistem studi yg dijalankan oleh para ulama salaf, diantaranya studi teologis, yakni studi yg cukup radikal & menjamah kasus hukum dgn karakter Asy-Syatibî.
Ada pula yg disebut dgn metode atau kajian tasawuf, yg mengkaji persoalan seputar ketenangan jiwa, ketenangan batin, & terkadang pula menyentuh kasus moral & sikap psikologis serta hubungan dgn Allah SWT.
Ada pula metode filosofis dgn tokoh-tokoh mirip al-Ghazalî & Ibn Rusyd. Meski keduanya pernah terlibat polemik berkepanjangan, namun patut dikenang bahwa keduanya ialah filsuf terkemuka & sama-sama menawarkan argumentasi & visi bagi pemikiran Islam di zaman mereka.
Metode Modern untuk Memahami Alquran
Menurut Syekh Muhammad al-Ghazâlî, ada beberapa studi tentang Al-Quran: ada yg memakai pendekatan Atsariyyîn atau disebut pula tafsir bil Ma’tsûr. Studi semacam ini bisa kita lihat dlm buku tafsir Ibn Kathir. Cara ini digunakan oleh Ibn Jarir Ath-Thabarî.
Ada pula tafsir yg mengkhususkan pada bidang fiqhiyyah yg membahas tentang ayat-ayat hukum untuk menyimpulkan cara-cara pengambilan aturan. Dengan kata lain, cuma konsentrasi pada perkara hukum syar’i.
Ada pula tafsir dialogis, seperti yg dilakukan oleh Ar-Râzî dlm tafsirnya at-Tafsîr al-Kabîr. Tafsir ini mendatangkan banyak tema yg mempesona, namun beberapa tema tafsir ini telah melebihi batas tafsir itu sendiri yg menjadi rujukan bagi sebagian besar penafsir Al-Qur’an.
Az-Zamakhsyarî bareng dgn Abû Su’ud & Al-Baidhâwî mempunyai gaya penafsiran tersendiri.
Metode Pemahaman Alquran ala Al-Tabari
Dalam Jalan Damai dibilang bahwa Jami ‘al-Bayan’ an Tawili Ayi al-Alquran atau Ja’mi ‘al-Bayan fi Tafsir al-Quran ditulis oleh Al-Tabari pada selesai masa ketiga hijriah (sekitar 9 M).
Penamaan karya ini dgn Jami ‘al-Bayan’ an Ta’wili Ayi al-Alquran memperlihatkan bahwa tafsir ini berisi kumpulan pertimbangan tafsir dr generasi sebelumnya. Sedangkan penggunaan perumpamaan “ta’wil” dlm judul tafsir ini pula berarti tafsir.
Kecenderungan keilmuan pada masa itu belum mempunyai pengertian yg berlainan antara ungkapan tafsir & ta’wil. Belakangan, kedua perumpamaan itu dipisahkan dgn definisi yg berbeda.
Interpretasi berarti klarifikasi, pengungkapan, & pengungkapan makna logis menurut kode tertulis. Sedangkan Ta’wil yakni upaya memahami ayat suci dgn menyebabkan teks tersebut teks metaforis.
Ahmad Al Hufi berpendapat bahwa tafsir ini dibuat oleh Al Tabari sebelum ia menulis magnum opus di bidang sejarah Tarikh al-Umam wa al-Mulk.
Al-Tabari mendiktekan pekerjaan ini di depan murid-muridnya dr 283 H hingga 290 H. Komentar ini pertama kali dicetak dengan-cara terbaru pada tahun 1903 di Mesir dlm 30 volume & dicetak ulang lebih dr sekali.
Rosihon Anwar dlm bukunya, Tracking the Elements of Israiliyyat in Tafsir Ath-Tabari and Tafsir Ibn Katsir, mengungkapkan bahwa pada mulanya buku ini berjumlah 30.000 juz & – sambil mengutip pendapat Ibnu As Subkiy – kitab yg sekarang (30 juz). ) adalah ringkasan dr buku aslinya.
Sementara itu, Syekh Kholil Muhyiddin al-Mayyis dlm pengantar karya ini mereproduksi sejarah Khatib Al Baghdadi yg mengatakan bahwa Al-Tabari pernah mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya apakah mereka bersedia mendalami 30.000 buah karyanya (bukan juz mirip dilansir Rosihon. Anwar).
Para siswa kemudian berkomentar bahwa mungkin saja usianya telah habis sebelum interpretasi selesai. Atas dasar inilah pekerjaan ini telah dikurangi menjadi 30 juz.
Pendapat kedua sepertinya lebih masuk akal dr pada pendapat pertama. Sulit membayangkan sebuah karya – betapapun hebatnya – mencapai angka 30.000 juz. Padahal satu juz dlm tafsir ini mencapai sekitar 400 buah.
Mungkin opini pertama lahir sebagai bentuk kekaguman yg luar biasa atas karya ini. Bukankah penduduk Timur Tengah mempunyai kebiasaan memakai hiperbola untuk mengekspresikan kekaguman?
Karya ini merupakan satu-satunya karya tafsir tertua yg dapat diakses sepenuhnya hingga ketika ini. Ini tak mempunyai arti bahwa sebelum Al-Tabariy tak pernah ada karya tafsir. Karena semenjak jaman pertemanan sudah ada kecenderungan untuk mempelajari tafsir & kegiatan penafsiran sudah dijalankan.
Bahkan, dlm massa ‘Umar bin Abdul Aziz (salah satu khalifah dinasti Umayyah) tafsirnya dikodifikasi bersama dgn kitab hadits & menjadi salah satu bab pembahasan dgn judul (Kitab al-Tafsir).
Jami ‘al-Bayan menempati posisi intelektual terbaik di antara Muslim. Para cendekiawan Muslim baiklah untuk menyebut karya ini sebagai tafsir agung sepanjang masa, min ajli al-Tafasir wa a’dzamuha.
Keistimewaan karya ini terletak pada metodologi yg dipakai oleh Al-Tabari. Sistematisasi penulisan & konsistensi dlm penerapan metodologis Al-Tabari merupakan hal yg sama sekali baru pada masa itu. Meskipun catatan kritis atas karya ini telah diungkapkan oleh beberapa cendekiawan Muslim, nyatanya konsensus wacana ciri-ciri buku ini tak pernah goyah.
Ciri lain dr karya ini terletak pada kelengkapan narrative isnad (rangkaian narasi). Meski di segi lain, isnad yg digunakan Al-Tabari kerap dipertanyakan kualitasnya. Seorang ulama, Muhammad Hussein Adz Dzahabi, memberikan catatan kritis perihal jalur yg digunakan oleh Al-Tabari, yg sepanjang 15 halaman.
Ia menilai Al-Tabari kurang berhati-hati saat mendapatkan isnad yg berasal dr tradisi non-Islam (israiliyyat). Kecerobohan ini terlihat lantaran Al-Tabari tak merinci kapasitas, kredibilitas, integritas, & latar belakang kehidupan perawi yg dicantumkannya. Al-Tabari sering “membungkam” laporan-laporan tersebut tanpa menjelaskan validitasnya.
Bagi orang-orang mirip Al Tabari atau yg mengerti seluk-beluk menarasikan hal-hal mirip di atas, tak terlalu mengganggu. Dengan kesanggupan intelektual mereka, mereka mampu memverifikasi & menguji validitasnya dengan-cara berdikari.
Namun, bagi pembaca awam hal ini bisa mempunyai pengaruh berlainan. Diperlukan sikap kehati-hatian dlm membaca sejarah dr sumber selain Islam. Namun, kejujuran intelektual Al Tabari tatkala memasukkan isnad sebagaimana mestinya patut diacungi jempol.
Muhammad Quraish Shihab (komentator andal dr Indonesia) menyoroti pendekatan linguistik yg dipakai oleh para komentator klasik, tergolong Al-Tabari. Menurutnya, pendekatan ini mempunyai dua kekurangan.
Pertama, pendekatan mirip ini sering kali “mewadahi” para penafsir pada uraian panjang lebar bahasa & sastra, sehingga pesan-pesan utama Alquran kerap “kabur” di celah-celah uraian. Dan kedua, seringkali kronologi perikop ayat-ayat – utamanya ayat-ayat aturan yg berhubungan dgn nasikh-mansukh – diabaikan sama sekali.
Sehingga seakan-akan ayat yg turun itu tak sekaligus atau di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Sedangkan di sisi lain, pendekatan linguistik ini mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, aksentuasi pada pentingnya memahami Alquran dr faktor kebahasaan tatkala diturunkan. Kedua, penjelasan ihwal keakuratan editorial yg dipakai dlm penyampaian pesan. Dan ketiga, mengikat penafsir dlm bingkai linguistik, sehingga meminimalkan subjektivitas yg berlebihan.
Penggunaan gaya tafsir bi al-Ma’tsur dlm Jami ‘al-Bayan mendapat kebanggaan serius dr para sarjana Barat. Ibrerry Watt menganggap tafsir Al-Tabari ialah tafsir tradisional terbaik. Sedangkan Noldeke mengatakan jika saja ia mempunyai tafsir yg lengkap, ia tak membutuhkan tafsir lain.
Watt & Noldeke mewakili pemikiran barat dlm karya ini. Menurut mereka, Al-Tabari dinilai sangat berperan dlm mengumpulkan tafsir-tafsir tradisional yg berkembang di dunia Islam.
Upaya metodologis untuk menghadapi berbagai inspirasi penafsiran yaitu salah satu yg sungguh cerdas. Al-Tabari tak cuma menulis uraian tentang tafsir model generasi sebelumnya, tetapi pula menganalisis & memilih opsi tafsir, bahkan pendapatnya sendiri.
Langkah-langkah untuk Memahami Alquran
Menurut Republika, ada banyak sekali langkah yg bisa dilakukan untuk mempelajari & mengetahui isi Kitab Allah.
Pertama, mengerti Alquran dgn Alquran itu sendiri. Ini dikenal selaku tafsir quran bil quran. Alquran ialah penjelasan yg memastikan satu cuilan ke bagian yang lain.
Kedua, memahami Alquran dgn sunnah sahih Nabi SAW. Ibnu Taimiyah berkata, “Cara yg paling valid untuk memahami Alquran adalah dgn menafsirkan Alquran dgn Alquran. Jika Anda tak menemukannya, Anda mengambil sunnah lantaran itu (sunnah) yakni penjelasan Alquran.”
Imam Syafi’i menyampaikan, semua yg dihukum oleh Rasulullah SAW yakni dr apa yg didapatnya dr Alquran. Contoh pengertian Alquran dgn sunnah yakni selaku berikut. Di dlm Alquran, ada beberapa ayat yg memerintahkan shalat. Namun klarifikasi ihwal cara shalat hanya terdapat di sunnah.
Ketiga, memahami al-Qur’an dgn pengertian sobat & tabiin. Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ananda tak memperoleh tafsir dlm suatu ayat Alquran, atau dlm sunnah, maka ananda harus mencarinya dlm kata-kata para teman dekat. Mereka paling tahu itu lantaran mereka menyaksikan (qarain) situasinya yg terjadi pada dikala Alquran diturunkan. Ditambah dgn tingginya kemampuan bahasa mereka & kejelasan pemahaman mereka. “
Demikian klarifikasi ihwal konsep prinsip & cara atau metodelogi studi mengerti Al Qur’an termasuk pendekatan & sistem penafsiran Al-Qur’an.