Mereka lima anak tanggung & hanya Gupris yg perempuan. Kelimanya jarang mandi, & lebih jarang lagi berganti busana. Di antara mereka, Gupris yg paling banyak bergerak & usil, pula banyaomong. Hanya Gupris pula yg pernah bersekolah meski cuma sebentar.
Dan sekarang kelima anak itu telah berlompatan ke atas kolam truk tak berdinding yg mulai bergerak meninggatkan pangkalan. Setiap pagi mereka berkumpul di pangkalan truk yg dikelilingi warung-warung, paling banyak warung nasi. Empat anak laki-laki memang senantiasa tidur di situ, di lantai emper warung yg sudah tutup atau di mana saja sesuka mereka. Di malam hari mereka sudah terbiasa dgn banyaknya nyamuk. Tetapi mereka sering tak mampu tidur tatkala perut keroncongan. Gupris tak ikut tidur jadi gelandangan di pangkalan. ia lain. ia punya rumah kecil di belakang pangkalan. Ada emak, namun tak ada ayah.
Jam tiga pagi adalah waktu yg paling dibenci Gupris. ia sering terbangun oleh bau wangi. ia sering melihat emaknya dini hari sudah mandi, berdandan, pakai bedak, & bergincu. Lalu mengambil keranjang tenteng & bilang mau belanja ke pasar. Pada mulanya Gupris tak peduli. Tapi kemudian ia jadi benci alasannya emaknya senantiasa pulang dgn keranjang kosong. Menornya sudah berantakan. Gupris benci & kian benci. Jadi kini tiap jam setengah tiga pagi ia bangun & pergi ke pangkalan, bergabung dgn empat sobat sebelum emaknya pulang.
Gupris & keempat temannya duduk bersila di atas kolam truk kosong yg meluncur menuju pabrik semen. Truk itu besar sekali, jumlah rodanya empat belas, baknya berlantai baja, tak berdinding. Satu anak main gendang kecil, satu anak main kecrek, & satu lagi main gitar butut. Jadi ada panggung dangdut berlangsung. Para sopir truk tak pernah marah meski pun lima anak jalanan itu sering bikin berisik dgn menghantam-mukul lantai bak. Gupris umumnya nyanyi dangdutan, namun kali ini ia lebih senang asyik dgn HP-nya. ia sudah suka nonton gambar cabul. Rambut Gupris masih dikucir dua.
Mendekati perempatan Karangasu, Gupris bangun & berdiri oleng. ia mengajak keempat temannya bersiap turun. Bila mereka mujur, lampu di perempatan pas menyala merah. Tapi kali ini tidak. Maka seorang anak yg tak sabar menggeluti melalui sisi samping. ia terbanting & eksklusif mengaduh. Gupris lari ke depan untuk menghantam-mukul atap kabin truk. Akhirnya truk berhenti sehabis menyeberang perempatan. Sopirnya melongok ke belakang, tapi tak marah. Empat anak melompat turun. Mereka mau menolong teman yg duduk kesakitan, tetapi kendaraan sangat ramai. Gupris bertindak, bergerak ke tengah jalan. ia mengangkat tangan tinggi-tinggi & minta potensi untuk menyeberang. Panas matahari mulai menyengat.
Lima anak tanggung yg jarang mandi itu berjalan menghindardr perempatan. Yang satu dituntun menuju kawasan yg terlindung & ditinggal sendiri di sana. Gupris mengajak tiga teman kembali ke sudut perempatan. Gendang dr pipa pralon dgn membran karet ban mulai berdebam. Kecrek & gitar butut mulai berbunyi. Gupris siap dangdutan. Tetapi tiba-tiba ia berhenti bergerak. ia menyaksikan sesuatu; ada yg berubah di sudut perempatan itu. Di dekat mereka telah terpancang sebuah papan pengumuman. Tulisannya hitam di atas papan kayu bercat putih. Berbeda dgn teman-temannya yg tak kesengsem sebab tak mampu membaca, Gupris lain. ia ingin membaca tulisan itu. ia mulai mengeja. Teman-temannya mendekat & berdiri di belakangnya untuk menguping.
“Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis & me-ng-a-men… di-pi-da-na… ku-ru-ng-an…”.
Gupris berhenti, lalu berbalik menghadap sobat-sobat.
“Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?” tanyanya.
Keempat anak laki-laki itu nyengir lalu bergantian menggeleng. Semua tak tahu. Mereka hanya saling pandang. Gupris kesal & jadi merasa percuma. Maka Gupris mengajak sobat-temannya pergi. Tetapi mereka mendadak berhenti.
“Nah, baca itu! Kalian anak-anak liar yg kerjanya keluyuran, harus baca itu. Harus!”
Gupris & sobat-temannya bersama-sama menoleh ke samping. Ada seorang hansip keluar dr warung nasi sambil membersihkan verbal dgn punggung tangan. Di atas saku kanan bajunya tersulam jelas nama Karidun. ia bergerak setengah berlari. Dan berhenti, pasang gaya. Suara kerasnya menangani bunyi mobil & motor. Masih ada remah nasi atau ampas kelapa di sudut bibirnya. Sisa makanan terus berjoget mengikuti gerak verbal tatkala hansip itu bicara. Itu panorama yg membuat Gupris menahan tawa.
“Teruskan baca. Harus!” kata hansip Karidun. Tangannya menunjuk ke papan di sana dgn gaya komandan. “Aku petugas keamanan, eh, sekuriti dr Dinas Sosial. Aku yg memasang papan itu tadi pagi. Untuk orang-orang semacam kalian. Tahu? Ingat, gue sekuriti dr Dinas Sosial, tahu?”
Lengang, Gupris berhenti, wajahnya buntu. Lalu menoleh ke belakang ke arah sobat-temannya.
“He, kenapa berhenti. Baca terus. Aku ini sekuriti. Dan menyuruh ananda membaca. Ayo terus,” seru hansip Karidun, kali ini dgn suara lebih keras.
“Di-pi-da-na, itu artinya apa, Pak?” tanya Gupris dgn gaya yg biasa saja. Meskipun masih gadis kecil yg jarang mandi, Gupris berani cengar-cengir pada hansip Karidun yg maunya disebut sekuriti.
Lengang lagi. Hansip Karidun kelihatan tak siap menjawab pertanyaan Gupris.
Wajahnya berganti-ubah. Seperti orang gagap, gundah, namun alisnya mengeras. Kemudian memutar badan sampil mengusap-usap kening. Akhirnya ia kembali tegak menghadap kelima anak jalanan itu. ia pula menggagah-gagahkan diri.
“Aku ini petugas sekuriti. Iya, kan?”
“Ya!” jawab Gupris cepat sekali.
“Kaprikornus, menurut saya, dipidana niscaya tak sama dgn diberi dana. Dipidana mungkin sama dgn dihukum. Ya. Dipidana kurungan sama dgn dieksekusi kurung, dibui, dipenjara. Tahu? Itulah, maka kalian jangan ngemis & ngamen terus. Seharusnya kalian bersekolah. Kaprikornus kalian bisa mirip saya yg sekuriti & tahu dipidana itu artinya apa.”
Gupris diam sejenak. Lalu berbalik lagi menghadap sobat-sobat. “Kalian dengar, kita sebaiknya sekolah.”
“Sekolah mampu uang apa tidak?” potong seorang anak.
“Ah, dasar! Sekolah, ya, tak dapat duit, malah bayar,” jawab Gupris.
“Wah, sukar kalau begitu? Tidak mampu uang? Lalu kita beli makan pakai apa? Enakan ngamen terus, ngemis terus, bisa makan terus.”
“Hai, apa?” seru hansip Karidun dgn paras dibentuk galak. “Kamu sudah saya kasih tahu, mengemis & mengamen dipidana kurungan. Di-pi-da-na ku-ru-ngan 30 hari & didenda 50 juta rupiah! Kamu dengar itu?”
Wajah Gupris ciut. Tapi kemudian tersenyum samar alasannya adalah menyaksikan sisa kuliner di sudut bibir Karidun berjoget-joget lagi.
“Mengapa mampu begitu?” tanggap Gupris lagi. “Mengemis bukan nyopet atau mencuri, kan?”
“Ya, tapi melanggar larangan. Siapa saja yg melanggar larangan niscaya dipidana, ya dihukum.”
“Mengapa mampu begitu? Siapa yg membuat larangan?”
“Nah, saya sekuriti. Maka saya tahu siapa yg membuat larangan mengemis itu: Bapak Wali Kota & para dewan.”
“Wali Kota itu apa?”
“Dasar anak liar. Wali Kota adalah pejabat penting.”
“Para dewan itu orang juga?”
“Iyyya. Nah dengar, saya sekuriti mau membuktikan semua. Dewan itu wakil rakyat, jadi wakil kalian juga.”
Alis Gupris merapat. Bingung dia. Tapi setidaknya ia sudah tahu, dewan itu sejenis insan juga. Dan mereka bersama wali kota menciptakan larangan, siapa mengemis & mengamen dipidana kurungan. “Ya, ya. Kami mengemis & mengamen setiap hari. Tapi kami belum pernah dihukum.” Gupris nyengir. Empat temannya tertawa.
“O, jadi kalian minta dieksekusi. ya?” Karidun sibuk mencari HP di sakunya. Mulutnya komat-kamit & ampas itu belum tanggal pula dr sudut bibirnya. Gupris & keempat temannya tertawa lagi. “Tunggulah, saya akan panggil kendaraan beroda empat satpol PP buat menggaruk kalian. Tunggu saja. Saya sekuriti yg mengundang satpol PP. Jadi mereka akan tiba secepatnya.”
“Satpol PP itu apa?” Gupris memandang Karidun. Tapi tak ada balasan.
Ketika Karidun sibuk ber-HP. Gupris berbalik menghadap ke sahabat-temannya. ia berbisik-bisik. Empat temannya mengangguk bersamaan. Mereka kemudian melirik ke samping. Lampu jalan sedang menyala merah. Dua truk besar yg kosong dgn bak terbuka & satu kendaraan beroda empat elok berhenti. Lampu berganti menyala kuning, lalu hijau. Gupris bergerak paling cepat, dibarengi yg lain. Mereka melompat cekatan seperti munyuk, naik tatkala truk besar dgn kolam tanpa dinding itu mulai bergerak. Mereka kemudian ramai-ramai melambaikan tangan pada hansip Karidun.
“Hai Pak Hansip, kami mau ke Tegal, terus Cirebon. Terus ke…, terus, terus…. Kalau mau menghukum, kejar kami ke sana, ya, Pak?” Gupris berseru sekerasnya sambil tertawa tergelak. Keempat temannya berjoget ria di atas truk yg terus berlari. Suara Gupris terus terdengar, namun kian usang makin samar. Truk pengangkut semen itu menjauh, terus menjauh ke utara menuju Tegal.
Perempatan Karangasu tetap ramai, namun sudah ditinggalkan oleh Gupris & empat orang temannya. Kelima anak jalanan yg masih bocah itu sudah pergi berkelana. Mereka akan keluyuran Tegal, Cirebon, atau entah di mana lagi. Hansip Karidun masih berdiri di sudut perempatan. ia usang menatap papan pengumuman larangan mengemis yg baru dipasangnya tadi pagi. O, begitu dipasang papan berskala enam puluh kali seratus sentimeter itu eksklusif terbukti keampuhannya. Lima anak jalanan sudah menyingkir dr perempatan Karangasu. Hansip Karidun gembira alasannya adalah merasa telah melaksanakan peran dgn baik. Atau, entahlah. Karena bayangan wajah Gupris yg imut-imut dgn dua kepang rambut terus hadir di rongga mata. Suara Gupris tatkala mengeja dgn bunyi terbata-bata, “… dipidana kurungan itu apa?”, pula masih terngiang-ngiang di dlm pendengaran. (*)