Merantau | Cerpen OJ Hara

Marni melirik lagi jam dinding yg terpasang di tiang los pasar tempatnya berdagang. Jam memperlihatkan pukul 11.45. ia menghela napas. Dagangannya belum bisa dibilang laku. Bawang-bawangan, kemiri, bumbu-bumbu, kecap, merica, & sebagainya masih menumpuk, sementara pembeli kian siang kian menyusut.

Omzetnya semenjak Subuh tadi belum sampai seratus lima puluh ribu. Seratus ribunya mesti ia berikan ke Mang Duloh, bandar bawang, untuk pembayaran bawang putih & bawang merah.

Masih tersimpan dlm benaknya bagaimana beratnya ia & Kang Leman, suaminya, mencari utangan ke sana kemari untuk mendapatkan petak di los pasar ini. Lima juta rupiah tunai harus mereka bayarkan ke pengelola pasar untuk menerima petak 2,5×2 meter yg kini ia pakai untuk berjualan. Sementara, Kang Leman tetap menggeluti servis & perakitan komputer di rumah mereka. Ruang tamu mereka korbankan untuk perjuangan komputer itu.

Masih terngiang dlm benak Marni akan ajakan suaminya seminggu ini, pulang kampung ke Aceh untuk memulai perjuangan baru di sana. Kang Leman diajak pamannya untuk sama-sama memegang usaha tambak yg baru ia buka. Beberapa kali Ayah Cek Hasan mengajaknya mengorganisir tambak. ia bilang, sulit cari orang jujur zaman sekarang, apalagi jujur & mau bersusah payah.

Tadi malam sebelum tidur, suaminya meminta lagi pertimbangannya untuk sama-sama sekeluarga boyongan ke Aceh.

“Ni, rasanya abang tak bisa berpikir yg lain wacana nafkah kita selain kita bantu Ayah Cek Hasan. Tambak ia tidak mengecewakan besar, setengah hektare, udang & ikan bandeng. Cek Hasan menjanjikan abang bagi hasil, asal abang bersedia membantunya. Penjualannya naik terus. Memang rezeki di tangan Allah, tetapi menurut perhitungan abang, pendapatan kita akan jauh lebih baik dr apa yg ada sekarang. Sementara, kini ini harga komputer bermerek nyaris sama dgn komputer rakitan. Tak jauh beda. Orang sekarang lebih kesengsem beli barang bermerek ketimbang komputer rakitan kakak. Kau tahu dua bulan dewasa ini kakak tidak punya penghasilan, Dik.”

  Kemarau | Cerpen Andrea Hirata

Dan, seperti hari-hari sebelumnya Marni tetap diam seribu bahasa. Berat rasanya meninggalkan kota ini. Bandung terlalu indah untuk ditinggalkan. Di sini semua tersedia & mudah, teman-temannya banyak, & lebih banyak lagi temannya di medsos. Ada bergrup-grup. Grup pengajian, grup alumni SD hingga SMK, grup arisan, grup canda-canda, & banyak lagi.

Aceh yaitu kawasan yg sangat jauh, di ujung Indonesia. Marni tak bisa membayangkan hidup di sana, pinggir laut Ujong Blang walaupun tah jauh dr Lhokseumawe.

Marni masih teringat bagaimana perjumpaan mereka lima belas tahun kemudian. Sulaiman Abdillah ialah siswa kursus komputer tingkat programmer. ia orang Aceh, sementara dirinya mengambil kelas sekretaris perkantoran. Keduanya sering berjumpa di kawasan parkir ketika tiba maupun saat mau pulang selesai kursus. Mereka sering saling pandang, saling sapa, & risikonya menjalin kasih & selsai di ijab kabul. Akbar si sulung & Fatimah si kecil yaitu buah cinta mereka.

“Aku mau minta pertimbangan orang tuaku dulu, Bang,” kata Marni jadinya malam itu memberikan jawaban.

“Baiklah, Dik, ahad depan kita ke Sumedang. Abang nanti sampaikan niat kakak ke mereka. Semoga mereka bisa menunjukkan pendapat terbaik bagi kita & masa depan anak-anak.”

***

Yang hadir baru Hana, Dewi, Ati, & dirinya di pagi menuju siang itu. Bang Leman mengantarnya ke rumah Dewi & langsung ke pasar buka kios. Jika Marni punya acara pasti Bang Leman menggantikannya berdagang di pasar. Bertahun mereka berjalan pada ritme itu.

Sering Marni merenungi bahwa suaminya adalah orang yg baik. Meskipun tak ganteng & berkulit gelap, hatinya putih higienis. Lima belas tahun mengarungi perahu rumah tangga tak sekali pun suaminya memarahinya. Bang Leman cenderung diam bila ia tak oke atas sesuatu & kemudian mengatakannya ketika situasi telah memungkinkan. Marni benar-benar hafal watak suaminya.

  10+ Acuan Kisah Hantu Positif Menyeramkan Pendek Modern

Dewi menyambutnya di pintu depan.

“Hai, Marni, apa kabar,” seru Dewi sambil cium pipi kanan-kiri.

Mereka kawan-mitra Sekolah Menengah Pertama mau kumpul-kumpul. Acara reuni tak resmi, kumpul-kumpul, makan-makan, ngobrol-ngobrol wacana masa kemudian, & seterusnya, diakhiri dgn foto-foto bareng & diposting di grup medsos, kemudian dibahas canda-canda. Ada kangen lagi, kumpul lagi, demikian seterusnya.

Marni membuka penganan yg dibawanya, ambil piring, & menaruhnya di meja. Makanan kian banyak, bermacam rupa. Ada yg elok, ada yg asin, ada yg berkuah, & sebagainya. Yang datang bertambah banyak; Susi, Intan, Eva, Wahyu, Danang, Agus.

Danang satu kendaraan bareng Wati. Mereka sobat satu kelas semua, kecuali Wati teman satu sekolah, tetapi beda jurusan. Danang punya istri & Wati pula punya suami, namun mereka tiba semobil. Marni sedikit merasa ajaib atas kehadiran mereka. Sikap mereka berdua seakan lebih dr sekadar sahabat. Tapi, Marni tak ambil sakit kepala. Pikirnya, di zaman ini banyak hal yg sulit dimengerti.

Dia mengingat-ingat, rasanya tak pernah dirinya diantar siapa pun atau ke mana pun kecuali oleh suaminya. Suaminya pun demikian sepanjang ingatannya, tak pernah mengantar wanita selain dirinya.

Semua yg tak wajar niscaya memanggil pembahasan. Selesai acara reunian tatkala Marni menanti jemputan Bang Leman, Dewi menghampirinya & menemaninya.

“Ni, tahu, enggak, si Wati itu sudah cerai dgn suaminya.”

“Oh yaa?” Marni merespons.

“Iya, denger dongeng sih gara-gara suaminya keluar dr daerah kerja & ketika ini nganggur.” Dewi mulai bergunjing.

“O ya…”

“Ternyata mereka banyak utang, cicilan-cicilan.” Dewi melanjutkan.

“Cicilan itu kan hal biasa di rumah tangga, kayaknya enggak ada yg enggak punya utang.” Marni menjawab sekenanya.

  Probowo dan Jokowi | Cerpen Matdon

Dewi terus bercerita & Marni sebatas mendengarkan, pikirannya mengalun ke tempat tinggal tangganya sendiri yg saat ini sedang hampir dilanda krisis yg kurang lebih sama. Tapi, satu hal niscaya, ia tak ingin lepas dr Bang Leman. Hal itu tak pernah terlintas dlm pikirannya sedikit pun. Bercerai sama sekali bukan jalan keluar.

***

Sepulang dr Sumedang hatinya tenteram mendengar pesan tersirat ayahnya: Nak, ikutlah dgn suamimu ke mana pun ia mengajakmu mencari nafkah, itu kewajibanmu sebagai istri. Berikan potensi kepadanya untuk mengurus rumah tangganya menurut apa yg terbaik sesuai ukurannya. Jangan lupa selalu berdoa pada Allah supaya suamimu senantiasa dibimbingnya & diberi kelangsungan usaha & rezeki. Bapak & ibumu pula akan tetap mendoakanmu. Semua niat baik akan diberi fasilitas oleh-Nya.

Marni diam, suaminya pula diam. Mesin mobil menderu di jalan tol. Anak-anak di belakang tidur. Marni melirik suaminya & bersyukur dlm hatinya dikaruniai seseorang yg baik sebagai tempat melabuhkan dirinya. Semua niat baik mesti diberi kesempatan. Masa kemudian memang menjadi miliknya, masa kini sedang mereka jalani, tetapi masa depan ialah misteri yg hanya bisa dijalani melalui kesempatan & cita-cita. Marni percaya, dgn berdua, semua dilema akan bisa dihadapi.

Malam itu sebelum tidur Marni memeluk suaminya.

“Bang.”

“Hmm.”

“Abang sayang gue kan….”

“Hmm.”

“Abang cinta gue pula kan….”

“Tak ada yg lain di hati kakak selain kau, Dik,” kata suaminya sambil membalas pelukan istrinya.

“Bawalah gue ke mana pun abang pergi. Semoga di sana nanti kita dimudahkan segalanya oleh Allah, Bang, alasannya adalah niat Abang suci mencari nafkah untuk kita.” Marni lirih berkata.

Suaminya cuma memandang, tak bisa berbicara. Dipeluknya istrinya tambah dekat. Air matanya menetes hangat membasahi bantal.