(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Tulisanku yg dahulu, berjudul “Ya Rabbi, Aku Mencintai Lelaki yg Telah Beristri..” lumayan banyak diapresiasi. Ada yg pro. Ada yg kontra. Malah waktu aku baca di FB, ada yg menegur bila tulisanku condong menjauhkan poligami.
Karnanya kumulai cerita ini dgn meminta maaf bila ada yg kurang berkenan. Ini kisah temanku. Tapi… aku akan membahasakannya selaku diriku 🙂
Kini usiaku udah makin matang. Dalam masyarakatku umurku telah dianggap sangat senior untuk wanita yg belum menikah. Pun dlm keluarga besarku. Tak ada di antara mereka yg seusiaku namun masih lajang.
Hatiku tiba-tiba menjadi tak menentu ketika ada sobat yg mengirim usul ijab kabul. Ka&g air mata menetes membaca un&gan adik kelas yg jauh di bawah usiaku. Tak ada orang yg mengenali itu memang. Aku mencoba tegar. Sabar. Kuyakin Allah cinta hambaNya yg tabah.
“Nita, kapan nich un&gannya?” pertanyaan itu ka&g menciptakan jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tak mampu menjawab. Tapi saya tak mau itu berlangsung lama. Alhamdulillah setelah beberapa detik saya bisa tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaan seperti itu.
Aku ka&g mengajukan pertanyaan, kenapa tak ada lagi ikhwan yg mengajukan ta’aruf kepadaku. Mungkin ini cobaan buatku. Kalau benar… aku ingin pahala ketekunan menjadi milikku sampai Allah mempertemukanku dgn jodohku. Aku sangat berharap ini yaitu cobaan seperti yg dibilang Nabi bahwa cobaan seseorang berbanding dgn tingkat keimanannya.
Tapi akhwat juga manusia kan? Ketika malam tiba, mampu saja beliau bersedih walau siangnya terlihat sangat aktif dlm dakwah. Dalam kesendirian di atas sajadah, aku ka&g berfikir ihwal hadits Nabi & menghubung-hubungkannya dgn penolakanku terhadap seorang ikhwan. Satu-satunya ikhwan yg pernah “melamarku”.
“Jika datang terhadap kalian lelaki yg bagus agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah beliau. Jika kalian tak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah & kerusakan besar di muka bumi” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ikhwan yg tiba itu, saya sebetulnya tahu siapa ia. Karena beliau waktu itu aktif di forum dakwah di kampusku. Aku tahu dia laki-laki yg shalih. Tetapi entah kenapa, waktu itu saya menolaknya. Alasan tampang? Bukan. Aku bukan wanita mirip itu. Kekayaan? Juga bukan. Aku sadar pasangan muda hampir senantiasa mengawali dari nol. Ilmu? Enggak juga. Dia ikhwan yg cukup akil. Agamanya? Shalih kok. Lalu apa? Aku sendiri sukar menjelaskannya. Yang pasti waktu itu aku belum siap menikah dgnnya. Mungkin juga sebab waktu itu saya terlalu idealis, tak maumenikah dgn ikhwan dari kampus yg serupa. Entahlah.
Aku jadi “takut” sendiri membaca hadits itu. Apakah karena kumenolak tanpa argumentasi yg jelas terhadap laki-laki shalih tampaknya sehingga sampai ketika ini saya tak juga menikah? Kalau demikian halnya, saya memohon ampun padaMu ya Allah… [Atik Purnama/Webmuslimah]