IA sudah siap untuk mati. Ibarat kata sebelah kakinya sudah berada di liang kubur. Ia merasa tak ada kewajiban apa-apa lagi dlm hidup ini. Istrinya sudah meninggal lima tahun yg kemudian, & semenjak pengumuman gosip sedih citanya di koran, ia merasa setiap orang bergunjing kapan dirinya akan menyusulnya masuk liang kubur. Ia masih ingat, dua hari sesudah penguburan, info lelayu di kelokan jalan yg ditulis dgn kapur oleh Pak RT belum dihapus. Ia sendirilah yg menghapusnya dgn tangan gemetar. Kebetulan tak ada seorang pun yg melihatnya.
Itu cuma bermakna orang yg sudah renta, terutama tua sekali seperti dirinya, sama sekali tak penting. Seorang bau tanah boleh mati kapan saja, kemarin, hari ini, atau besok, alasannya adalah memang sudah waktunya. Seseorang tak mampu & tak perlu hidup terus & tak kunjung meninggalkan dunia ini. Siapa pun sehabis menjadi renta harus mati. Sama mirip daun suatu tatkala gugur & terbang terbawa angin.
Begitulah, orang tua itu merasa dirinya yaitu selembar daun, yg siap gugur & terbawa angin. Melayang-layang. Melayang-layang. Melayang…
“Kenapa tak cepat mati saja orang bau tanah itu ya? Capek gue denger doi punya pesan tersirat. Waktu doi masih muda, kan, dunianya berlainan! Jangan dibanding-bandingin dong! Kayak dienye paling pendekar aje! Gue kepret dikit ntar pula ngejoprak! Ijazah cuma Sekolah Menengan Atas, gayanya kayak profesor!”
Para cowok bergitar di ujung gang kadang membicarakannya jika ia lewat. Jika tak sedang mabuk, tak sedang menarik hati perempuan, tak sedang berimajinasi sambil minum kopi & menghujat-maki dunia, mereka akan menyadari kehadiran orang tua itu.
“Mau ke mana, Pak?”
“Jalan-jalan sebentar.”
“Hati-hati, Pak.”
“Tenang aje!”
Kadang-kadang para pemuda itu bisa membuat dirinya merasa penting. Dengan tenangnya ia melangkah dgn tongkat, makin lama kian jauh dr rumahnya. Wajah-paras menatapnya dgn hambar. Wajah-muka tak dikenal yg tak mengenalnya. Wajah-tampang & muka-muka yg terus-menerus berganti & terus-menerus berganti. Kadang ada yg dirasanya mirip tersenyum kepadanya, atau tertawa kepadanya, atau dirasakannya seperti menertawakannya. Ia mencoba tak memedulikannya, namun perasaannya kadang terganggu juga.
“Apakah mereka menertawakan gue alasannya adalah diriku sudah bau tanah? Apa salahnya dgn menjadi renta?”
Belum final dgn lamunannya, ternyata ia berada di tengah jalan raya.
“He! Orang tua goblok! Minggir lu!”
Darahnya naik. Ia ingin menunjuk lampu pengatur jalan yg memberikan gambar insan berwarna merah, yg bermakna dirinya tak boleh menyeberang, yg menjadikannya berhenti di tengah jalan. Namun bukan saja gambar insan itu sudah menjadi hijau, melainkan tatkala berwarna hijau pun lalu lintas belum pasti berhenti. Suara klakson membahana di telinganya, ditambah suara-bunyi yg menghujat tanpa hati.
“Pikun!”
Di tengah jalanan ia memang gundah.
“Mengapa tak di rumah saja gue tadi?”
Ia teringat ibu-ibu berdaster yg masih selalu menghormatinya. Mungkin pula mengasihaninya. Ia tak peduli. Pokoknya mereka sopan, pikirnya lagi.
“He! Pikun! Mau mati lu!”
Di tengah jalan raya tatkala lampu pengatur kemudian lintas menjadi hijau. Di bawah terik matahari, di antara jalan layang berseliweran, tak ada yg bisa dilakukannya selain megap-megap kepanasan dgn persepsi kabur.
Bumi menderum.
“Apa yg kulakukan di sini?”
Namun seorang perempuan memegang kedua lengannya & membimbingnya ke tepi. Parfumnya menusuk hidung, namun wanita itu pun segera menghilang masuk bis kota yg segera berlalu.
Bis kota yg lain mendadak berhenti di depannya. Menumpahkan banyak penumpang, & orang-orang yg menunggu di tepi jalan itu pula berebutan naik. Ia pun ikut masuk ke dlm bis.
Ke manakah ia pergi? Ia tak tahu. Ia hanya merasa masih tetap berada di bumi.
***
Apakah yg bisa dijalankan seorang tua dlm bis kota? Ia terdesak ke sana & terdesak ke sini oleh orang-orang yg berkeringat & bau. “Generasi bacin,” pikirnya.
Namun tiada bis kota pada masa mudanya, hanya trem dgn bel berkeleneng tempat ia berjumpa istrinya, yg waktu itu dirasanya begitu cantik, & baginya tiada menyusut sedikit pun kecantikannya sampai pergi meninggalkannya sebatang kara.
Waktu itu ia merasa duduk berhadapan dgn seorang wanita tercantik di dunia. Begitu melihatnya, ia merasa ingin mempersembahkan dunia ini kepadanya. Seorang perempuan yg duduk dlm trem dgn hening, tersenyum penuh yakin diri sambil melihat ke luar jendela. Di luar hanyalah jalanan yg terlalu lengang dibanding sekarang. Perempuan yg bersanggul & berkain kebaya. Betapa bisa naik trem & tersenyum ria.
“Nona….”
Ia mencoba menegurnya. Tak tidak berguna. Lima tahun kemudian wanita itu menjadi istrinya. Orang renta itu tersenyum-senyum mengingatnya. Memang lupa waktu sudah limapuluh tahun berlalu & kini dirinya berada dlm bis kota. Terdesak ke sana, terdesak ke sini, seperti terapung dlm lautan waktu.
“Lihat orang renta itu tersenyum-senyum sendiri,” ujar seseorang, berbisik pada sahabat di sebelahnya.
“Ah, itu sih ajaib.”
Tapi telinga tuanya ternyata mendengar juga, & hilanglah pula senyumnya. Bersama dgn itu air matanya mengalir meski ia secepatnya menghapusnya. Seharusnya ia mengenang semua ini tak di dlm bis kota. Namun apakah yg masih bisa pantas dlm sebuah kota yg lingkungannya sudah rusak & tak peduli kenyamanan orangnya? Tidak ada kursi di taman, tak ada sungai tanpa sampah di atasnya, jangan pula bertanya tentang angsa & bunga-bunga. Segalanya serba celaka.
Maka ia hanya bisa pergi ke masa lalu untuk memberi tempat pada kenangannya. Itulah ketika air matanya mengalir alasannya adalah merasa sudah banyak mengecewakan istrinya.
“Nah, sekarang menangis beliau,” ujar seseorang yg memperhatikannya semenjak tadi.
“Pasti kebanyakan dosa!”
“Dosa apa?”
“Mene ketehek!”
Bis itu sudah kosong waktu ia turun pada malam hari. Jalanan pula kosong & kini tampaknya gampang saja ia menyusuri jalan kembali ke rumah. Para cowok bergitar memang tak pernah beranjak dr ujung gang menuju ke rumahnya itu. Barangkali saja berubah orang, namun senantiasa ada, seolah-olah gitar memang diciptakan untuk para penganggur.
“Tumben malam-malam, Pak? Busyet! Lecek amat?”
Ia tinggalkan saja mereka, mirip telinganya benar-bener tuli.
“He-he, budeg tuh orang….”
Namun mereka secepatnya menyanyi kembali, mabuk & patah hati, walaupun sama sekali belum pernah berkencan dgn seorang perempuan dlm hidup mereka yg malang itu. Memang bukanlah urusan mereka bahwa tatkala membuka pintu pagar, orang tua itu melihat pintu rumahnya terbuka & lampu bagaikan lebih terperinci dr biasa. Terlalu terang, sangat amat terperinci, bagaikan tiada lagi yg bisa lebih terang. Bahkan segenap langit & bumi terlihat sungguh amat terperinci benderangnya.
Dengan tertatih ia melangkah masuk dgn tongkatnya, menyeret sepatu sandalnya, & barulah ia sadar betapa seharian itu ia naik bis kota & mengelilingi kota mengenakan piyama. Benaknya mengajukan pertanyaan-tanya, dgn terang cahaya seperti itu, kenapa para tetangga mirip tak melihatnya?
Sampai di depan pintu, terdengar suara yg menyapanya. “Dari mana saja? Enak jalan-jalannya?”
Suara itu sangat dikenalnya, mirip bunyi istrinya!
Ia tertegun. Sejenak. Lantas mengerti.
“Kaprikornus gue tak usah menanti lagi,” pikirnya.
Malam itu juga, sementara Pak RT menuliskan nama orang renta itu dgn kapur pada papan tulis, para peronda memasang bendera kertas minyak berwarna kuning di ujung gang.
“Eh, padahal baru saja doi melalui sini tadi,” kata salah seorang dr para cowok yg berjongkok sambil merokok & main gitar di ujung gang.
”Kalau doi baru saja lewat, emangnye lantas kenape?” Ujar salah seorang peronda, sambil menguap panjang sekali, “Busyet. Ngantuk banget euy!” ***