Menulis itu Pekerjaan Mabuk | Cerpen Mashdar Zainal


Saya sedang duduk di ruang kosong, entah di mana, mungkin di luar angkasa. Di antara galaksi-galaksi, biliunan bintang, serta gumpalan kabut di kejauhan.

Di hadapan saya—tepat di depan tampang saya: suatu meja kecil yg di atasnya terduduk sebuah laptop yg sedang terbuka & menyala. Kaprikornus, mampu dibilang, isi dunia ini hanya ruang kosong, saya, & suatu laptop. Di layar monitor di hadapan saya terpapar sebuah halaman putih higienis dgn garis lurus vertikal, tipis, mungil, & berkedip-kedip. Saya bisa menuliskan apa saja di sana.

Ketika jemari saya bergerak & menuliskan: Hamburger. Maka, di ruang kosong, di hadapan saya eksklusif timbul hamburger raksasa. Begitu konkret. Dua buah roti yg ditangkupkan. Dengan tutulan wijen di bab atas. Selembar tebal daging cacah, daun selada, irisan tomat, saus, serta mayones yg meleleh. Semuanya dlm takaran raksasa. Saya menelan ludah sebelum risikonya menekan tombol backspace.

Saya berpikir sejenak, kemudian jemari saya bergerak lagi & menuliskan kata “Naga terbang” di layar. Lalu, di hadapan saya timbul hewan raksasa berkaki, berwarna gelap, bersisik, berkumis, bersayap, beterbangan ke sana-kemari. Seperti menari. Lalu saya menyertakan kata “menyemburkan api”. Dan naga terbang itu memandang saya, ia mendengus & dr hidungnya muncul asap, sebelum karenanya mulutnya terbuka lebar, & kobaran api menyembur dr sana. Ruang kosong dgn warna gelap itu segera jadi terang benderang oleh cahaya api kuning kemerah-merahan. Berkilap-kilap. Saya merasakan udara panas menyelimuti badan saya, terutama wajah saya. Lantas saya menghapus “Naga terbang menyemburkan api”, & seluruhnya kembali menjadi hening. Ruang kosong yg hening. Hanya ada biliunan bintang serta gumpaan kabut di mana-mana, di kejauhan.

Saya berpikir lagi, sambil memandang ke ruang kosong mahaluas di hadapan saya. Jemari saya kembali bergerak, & saya terus menatap ruang kosong di hadapan saya. Saya melihat sebuah bus raksasa warna biru muda, bus yg melayang-layang di udara, lalu menghilang. Digantikan wajah dua pemain drama India yg anggun & ganteng. Mereka tersenyum. Aku bisa melihat dgn jelas bulu mata yg lentik serta kerudung warna keemasan dgn sulaman benang yg berkilauan. Juga hidung mancung dgn lesung pipi yg melebar di atas rahang. Benar-benar anggun & tampan. Saya kenal baik mereka, Rahul & Anjeli.

  Keadilan | Cerpen Putu Wijaya

Beberapa detik kemudian, Rahul & Anjeli menghilang, digantikan dgn pemandangan sebuah meja makan raksasa. Berbentuk lonjong. Taplaknya berwarna putih tulang dgn corak garis-garis biru yg lurus & berkelok, yg bersentuhan di satu titik di tiap tepinya. Di tepi meja itu ada dua belas kursi dgn sandaran tidak mengecewakan tinggi, dua dingklik di masing-masing ujung, lima dingklik di sayap kiri, lima dingklik di sayap kanan. Kursi-dingklik dgn warna yg senada dgn warna taplak. Di tengah meja ada sebuah vas besar yg terbuat dr kaca, bening, berisi air. Dalam vas itu ada tiga potongan bunga amarilys berwarna merah darah yg sepertinya belum lama dipetik. Dua buah nampan beling yg serupa, berisi buah yg pula serupa, bahkan tatanannya: pisang, apel merah, jeruk, anggur hijau, serta rambutan. Dalam nampan lain, suatu nampan keramik, terlihat satu ingkung kalkun panggang, berwarna kecokelatan, mengeluarkan aroma rempah & kecap. Di sisinya, aneka sayur ditata sedemikian rupa, wortel, tomat, seledri, daun selada…. Di sisi lain, sebuah kue tar berwarna biru, berukir gula-gula berupa rangkaian mawar berwarna putih, tiga buah ceri yg mengkilap. Entahlah, isi meja raksasa itu cuma itu. Tak ada nasi, sendok, ataupun piring. Tak pula lilin. Dan yg jelas, meja makan itu sangat sepi. Seperti suatu meja makan yg melayang-layang di tengah ruang kosong, di luar angkasa. Dan memang itulah yg terjadi. Saya tak menggemari meja makan yg sepi. Meja makan yg sepi senantiasa membuat saya duka.

Maka meja makan itu pun menghilang dlm beberapa menit. Dan digantikan dgn suasana suatu peternakan. Saya melihat kandang kuda berjajar. Kuda-kuda meringkik. Jerami yg bertumpuk membentuk gunungan kecil. Saya melihat terlalu banyak serangga kecil beterbangan. Dan saya mencium aroma tahi kuda. Saya tak menyukai suasana ini, apalagi di ruang angkasa seperti ini. Dan segera, situasi peternakan itu pun bermetamorfosis taman bunga yg terang benderang di bawah sinar matahari. Bunga-bunga itu ditanam dengan-cara berkelompok, mirip kumpulan warna di piringan warna raksasa. Warna kuning oleh kumpulan bunga matahari. Warna merah oleh kumpulan mawar berduri. Warna ungu & biru dr lavender. Aromanya semerbak. Warna jingga dr bunga bakung. Wama putih dr kacapiring. Merah muda dr kamboja. Serta hijau dr semua daun. Tawon-tawon mendengung. Beterbangan di mana-mana. Saya ingin panorama ini bertahan lama. Tapi tetap saja, taman bunga ini sepi sekali. Dan selain meja makan yg sepi, saya pula tak menyukai taman bunga yg sepi. Taman bunga yg sepi akan seperti sebuah pemakaman. Dua hal yg betul-betul sama dr taman bunga & pemakaman adalah bunga, & sepi.

  Batu | Cerpen Humam S. Chudori

Taman bunga di hadapan saya menghilang, digantikan paparan gunung yg yang berwarna biru kehijauan, kemudian pohon-pohon, persawahan, sungai, hutan. Semuanya timbul satu per satu dgn sangat cepat, di ruang kosong di hadapan saya, sehingga ruang kosong itu mulai terisi oleh sebuah panorama serbahijau. Pemandangan yg terlihat begitu megah dr ketinggian. Dan entah mengapa, pemandangan serbahijau itu pun secara tiba-tiba menipis lalu menghilang satu per satu, mirip lukisan dlm lembar skema yg dihapus perlahan-lahan tetapi niscaya. Hingga ruang kosong di hadapan saya kembali menjadi ruang kosong yg sempurna. Seperti semula. Dengan biliunan bintang & gumpalan kabut di kejauhan.

Saya berkata pada diri saya sendiri, kata-kata yg tak mengeluarkan suara, “Ayolah! Tulislah sesuatu yg serius. Sesuatu yg kompleks. Hidupkanlah seseorang atau beberapa orang di depan sana. Buatlah mereka bercakap-cakap. Tentang apa saja. Tapi tentu kamu mesti menciptakan suatu tempat bagi mereka. Tentu tak pas mereka bercakap-cakap sambil bangun & melayang-layang di ruang angkasa. Mereka orang biasa. Bukan astronot. Maka ciptakan sebuah ruangan di dlm suatu rumah. Ciptakanlah bangku-bangku, meja, ranjang, teras. Bukankah barusan kau sudah menciptakan suasana suatu meja makan. Mengapa tak kaudatangkan saja mereka ke sana. Ke meja makan yg sepi tadi. Biarkan mereka makan malam di sana sambil bercakap-piawai. Dan jangan lupa, tambahkan bakul nasi, sendok, piring, aneka sayur, & lauk pauk. Meski di sana ada dua belas kursi, kamu tak perlu mendatangkan dua belas orang. Itu terlalu, kamu akan kesulitan membuat suatu percakapan yg terdiri dr dua belas orang sekaligus. Maka cukup empat orang saja, ayah, ibu, satu anak pria, & satu anak perempuan. Jangan lupa, tentukan usia mereka.

  Sabda Tuhan di Kepala Orang Gila | Cerpen Ken Hanggara

Si anak laki-laki berusia tujuh belas tahun, & si adik, si anak perempuan, gres berusia tujuh tahun, misalnya. Jauh sekali perbedaan usia mereka. Tak duduk perkara. Itu bisa saja terjadi, & sangat mungkin terjadi.

“Lalu? Apa yg pantas untuk mereka bicarakan sambil menyelesaikan makan malam? Apa saja. Misalnya? Misalnya mulailah dgn pertanya ringan dr sang ibu, ‘Apa kabar kalian di sekolah hari ini?’, & si anak pria menjawab dgn nada datar, ‘Tak ada yg mempesona, bahkan membosankan.’ Lalu sang ayah menimpali, ‘Mengapa mampu begitu?’, & si anak laki-laki menjawab lagi, ‘Sudahlah, Ayah! Aku tak ingin membicarakan sesuatu yg menjemukan.’, kemudian sang ayah memalingkan wajah pada anak perempuan & bertanya, ‘Bagaimana denganmu?’, & dgn senyum ceria, si anak perempuan menjawab, ‘Hari Ini gue mendapat lima bintang pada pelajaran Bahasa Inggris. Bintangku genap empat lima, lima bintang lagi, genap lima puluh, & gue mampu menukarnya dgn suatu buku dongeng baru.’ Sang ayah bersorak, ‘Wow, itu keren sekali.’ Sang ibu mulai menatakan piring & mencidukkan nasi.

“Demi Tuhan, percakapan yg datar, miskin plot, penuh basa-basi.”

Dan semuanya menghilang. Bahkan ruang kosong, biliunan bintang & gumpalan kabut di kejauhan pun menghilang. Digantikan panorama positif sebuah kamar, langit-langit, dinding-dinding, lantai, ranjang, kasur, gantungan baju, pintu, meja, bangku, lampu yg menyala, serta suatu laptop yg terbuka, menyala, tepat di hadapan saya. Laptop yg memamerkan layar monitor warna putih dgn kursor berkedip-kedip. Dan semua itu bisa saya sentuh. Dari arah dapur, saya mendengar bunyi kulkas mendengung. Di ruangan lain, melalui pintu yg sedikit terbuka, saya bisa menyaksikan istri saya sedang tertidur memeluk anak saya yg nomor tiga. Sementara itu, dua anak saya yg lain telah tidur dgn posisi tak keruan.

Saya melihat jam di dinding, pukul dua seperempat dini hari. Saya mengerjapkan mata. Mata yg kelewat sepat. Seseorang baru saja siuman dr mabuk. Dan cerita—atau apa pun namanya—yang sedang Anda baca ini yakni suatu hasil dr pekerjaan mabuk. Semoga Anda tak ikut mabuk. (*)