Menggerakan Jari Telunjuk Saat Tasyahud/Tahiyat

<Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud/Tahiyat> Mengapa menggerak-gerakkan jari telunjuk naik turun ke atas dan ke bawah saat tasyahhud dibilang bid’ah? Karena pekerjaan itu tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW sama sekali! Adapun yang dijalankan Rasulullah SAW yakni “cuma menggerakan jari telunjuk” bukan menggerak-gerakannya!
Tidak ada satupun imam mazhab atau ulama fikih ternama yang mengatakan Rasulullah SAW menggerak-gerakkan jari telunjuknya saat tasyahhud dalam shalat, yang ada yaitu Rasulullah SAW hanya menggerakkan jari telunjuknya dalam tasyahhud. (Lihat penjelasan ulama-ulama fikih perihal tahrîk (menggerakkan) telunjuk dalam kitab-kitab fikih terkenal mereka, mirip: Fikih Mazhab Imam Abu Hanifah semisal: Kitab al-Mabsûth, al-Jami’ al-Kabir, az-Ziyâdât, Mukhtashar at-Thahawi, Fathul Qadir, Bada’i ash-Shana’, atau Fikih Mazhab Imam Malik semisal: Kitab al-Muwaththa, al-Mudawwanah al-Kubra, al-Muntaqa, adz-Dzkhîrah, Fathul Jalîl, Bidayatul Mujtahid, ar-Risalah lil Qairuwâni, atau Fikih Mazhab Imam Syafii semisal: Kitab al-Umm, ar-Risalah, al-Muhadzdzab, al-Majumu, Mughni al-Muhtaj, Hasyiatul Bijûri, atau Fikih Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal semisal al-Mughni, al-Kafi libni Qudamah, Mukhtashar al-Khiraqi, al-Hidayah lil-Kalûdzâni, Kasysyâf al-Qanna’, Ghayatul Muntaha, al-Muharrar, atau Kitab Fikih 4 Mazhab semisal: al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib al-Arba’ah dan Bidâyatul Mujtahid. Begitu juga dengan kitab-kitab hadis-fikih semisal Subulussalam, dll.
Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud/Tahiyat
Yang dimaksud menggerakkan jari telunjuk oleh para ulama fikih tersebut yaitu menggerakkan dari kondisi menggenggam kepada keadaan lurus ke depan atau isyârah (menunjuk), ialah menunjuk dengan telunjuknya lurus ke depan menghadap ke arah kiblat. Kata isyârah atau instruksi artinya memberi isyarat yaitu menunjuk, tidak ada arti lain, apalagi dikala kalimatnya dibarengi dengan kata jari (ushbu’) “asyâra bi ushbu’ihi” (menunjuk dengan jarinya). Perbuatan mentauhidkan Allah SWT dengan mengucapkan tasyahhud (syahadat) dibarengi isyârah/isyarat (menunjuk) itulah yang ditakuti setan, bukan menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah atau ke kiri dan ke kanan yang berarti arah telunjuknya itu menyimpang dari arah kiblat!
Ini diperkuat dengan usulan para ulama mazhab dan ulama fikih, dalil-dalil Hadis yang shahih, pengukuhan para sobat, pendekatan secara bahasa, dan pendekatan secara sanad hadis. Mari kita kaji lebih dalam berdasarkan dalil-dalil shahih dengan memakai nalar/otak/rasio dan akal budi kita untuk niat menerima kebenaran alasannya Allah SWT, secara objektif, nrimo dan terbuka, bukan mengedepankan ego.
Disunnahkan bagi orang yang shalat, saat dia duduk tasyahhud/tahiyyat menaruh tangan kanannya di atas paha kanannya dan menaruh tangan kirinya di atas paha kirinya. Lalu menunjuk dengan jari telunjuknya saat mengucapkan kalimat syahadat “Asyhadu allâ ilâha illallâh wa asyhadu anna muhammadar rasûlullâh”, dan tidak menggerak-gerakkannya jari telunjuknya alasannya adalah perbuatan itu makruh (dibenci). Cukup dengan memberikan isyarat tauhid ialah menunjuk dengan telunjuknya lurus ke arah kiblat, tidak dengan menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah atau ke kanan dan ke kiri. Kondisi menunjuk itu terus berlanjut hingga dia mengucapkan salam untuk mengakhiri shalatnya. Seperti itulah yang telah dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalatnya. Ibnu Umar r.a. berkata:
“كان رسول الله صلي الله عليه وسلم إذا قعد في التشهد وضع يده اليسري علي ركبته اليسري، ووضع يده اليمني علي ركبته اليمني، وعقد ثلاثا وخمسين، وأشار بالسبابة” (رواه مسلم في الصحيح)[1]
“Rasulullah SAW jika duduk dalam tasyahhud menaruh tangan kirinya di atas lutut kirinya dan menaruh tangan kanannya di atas lutut kanannya, lalu ia menggenggam membentuk lima puluh tiga, lalu menunjuk dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya).
Maksud menggenggam membentuk 53 ialah ia menggenggam 3 jari tangan kanannya sedangkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk bulatan menyerupai angka 5 Arab, maka menjadi 53, mirip yang umum kita kerjakan sebelum menunjuk dalam tasyahhud, lihat gambar.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lain juga diterangkan:

عن علي بن عبد الرحمن المعاوي قال: “رآني عبد الله بن عمر وأنا أعبث بالحصي في الصلاة، فلما انصرف نهاني فقال: اصنع كما كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصنع، فقلت: وكيف كان يصنع؟ قال: كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمني علي فخذه اليمني، وقبض أصابعه كلها، وأشار بإصبعه التي تلي الإبهام “إلي القبلة”، و وضع كفه اليسري علي فخذه اليسري.” (رواه مسلم في الصحيح)
Dari Ali bin Abdurrahman al-Muawi berkata, “Abdullah bin Umar melihatku tidak menunjuk dalam shalat. Ketika saya hendak pergi ia menahanku sambil berkata: Lakukanlah seperti apa yang sudah Rasulullah lakukan (dalam tasyahhud). Lalu saya mengajukan pertanyaan: Bagaimana Rasulullah SAW melakukannya? Ibnu Umar menjawab: Rasulullah SAW bila duduk dalam shalat, ia meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya, lalu menggenggam seluruh jarinya, kemudian menunjuk dengan jari telunjuknya “ke arah kiblat”, dan beliau menaruh telapak tangan kirinya di atas paha kirinya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
Dengan adanya kata asyâra (menunjuk) dalam kedua hadis tersebut dan puluhan hadis shahih lain termasuk di bawah ini yang tidak menyinggung sama sekali perkataan menggerak-gerakkan jari telunjuk, bermakna menafikan penggerak-gerekan jari dalam tasyahhud shalat. Sangat gila jika Sahabat hingga lupa menyinggung menggerak-gerakkan tangan padahal sedang membicarakan metode tasyahhud. Yang ditakuti setan bukan menggerak-gerakkan jari telunjuk, melainkan menggerakan dari posisi menggenggam 53 ke arah kiblat yaitu menunjuk dengan satu jari. Karena itu adalah simbol tauhid mengesakan Allah SWT.
Sahabat Rasulullah SAW, Numair al-Khuza’i r.a. berkata, “Aku melihat Nabi SAW meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya

عَنْ نُمَيْرٍ الْخُزَاعِيِّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى رَافِعًا إِصْبَعَهُ السَّبَّابَةَ قَدْ حَنَاهَا شَيْئًا وَهُوَ يَدْعُوْ [2]
Dari Numair al-Khuza’i berkata, “Aku menyaksikan Nabi SAW sedang menaruh lengan kanannya di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya agak merunduk, dan ia berdoa.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/471), Abu Daud (1/260), an-Nasa’`i (3/39), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (1/354), Ibnu Hajar al-Asqalani mempertegas keshahihan hadis ini dalam kitabnya al-Ishabah no. 8807, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5/273), Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/131), dan perawi-perawi lain yang kesemuanya yakni hadis shahih).
Malik bin Numair al-Khuza’i ialah anak seorang Sahabat Rasulullah SAW, Numair al-Khuza’i, beliau seorang yang tsiqah (jujur) tidak pernah dikenal celanya dalam riwayat Hadis. Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang jujur dalam kitabnya ats-Tsiqaat (para perawi yang jujur) (5/386, 7/460), seorang yang jujur bernama ‘Isham bin Qudamah al-Jadali meriwayat hadis-hadis dari Malik bin Numair al-Khuza’i.
Hadis Shahih yang kasatmata-nyata dan secara tegas melarang menggerak-gerakkan tangan yakni hadis yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat, Abdullah bin Zubair r.a:

عن عبد الله بن زبير رضي الله عنهما قال: أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا (رواه أبو داود 2/226 رقم: 989، النسائي 3/38، البيهقي 2/132، أبو عوانة في صحيحه 2/226، البغوي في شرح السنة بإسناد صحيح 3/178)
Dari Abdullah bin Zubair r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW selalu menunjuk dengan jarinya jikalau dia berdoa (adalah mengucapkan syahadat) tidak menggerakan tangannya.” (HR. Abu Daud 2/226, an-Nasa’i 3/38, al-Baihaqi 2/132, Abu Uwanah dalam kitab Shahihnya 2/226, al-Bighawi dalam kitabnya Syarhu as-Sunnah dengan sanad Shahih 3/178)
Adapun hadis yang diklaim atau diaku selaku hadis menggerak-gerakkan tangan ke atas dan ke bawah adalah satu hadis yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr di bawah ini:

عَنْ زَائِدَةَ بْنِ قُدَامَة عَنْ عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ، فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا
Dari ‘Ashim bin Kulaib berkata, “Ayahku sudah mengabarkanku bahwa, Wa`il bin Hujr sudah mengabarkannya. Ayahnya (ialah Kulaib bin Syihab) berkata, “ Aku ingin sekali melihat shalat Rasulullah SAW, bagaimana cara ia shalat? Maka saya melihat Wail berdiri (menghadap ke kiblat), lalu bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dengan kedua telinganya. Kemudian beliau menaruh tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan (dari tangan kirinya). Ketika beliau hendak ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi.
Kulaib bin Syihab berkata, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian, saat beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi. Kemudian ia sujud, dia menaruh kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian ia duduk dengan cara menghamparkan kaki kirinya (adalah duduk iftirasy), kemudian dia menaruh telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, lalu ia menggenggam menciptakan satu bulat dari dua jarinya (ialah jari tengah dan ibu jarinya), kemudian dia mengangkat jari (telunjuk)nya. Maka (pada dikala itu) aku menyaksikan dia (dalam mengangkat jarinya) menggerakkannya (dari posisi menggenggam terhadap menunjuk), ia berdo’a dengannya.
(Berkata Wail), ‘Kemudian, sehabis itu saya datang lagi pada ekspresi dominan dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat saat mendirikan shalat bareng nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat masbodoh (yaitu mereka mengangkat kedua tangan mereka dikala takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka sebab udara sungguh acuh taacuh)’.”
Jika pun hadis ini shahih, maksudnya adalah mirip teks hadis tersebut di atas yang redaksinya ialah ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ، فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا yang artinya: “lalu beliau mengangkat jari (telunjuk)nya. Maka (pada ketika itu) aku menyaksikan beliau (dalam mengangkat jarinya) menggerakkannya (dari posisi menggenggam kepada menunjuk), ia berdo’a dengannya.” Ini bisa kita lihat dari redaksi hadis tersebut yang menggunakan kata ثُمَّ (lalu) kemudian memakai kata فَ (maka), mengapa perawi tidak memakai kata ثُمّ lagi? Padahal kalimat-kalimat sebelumnya memakai kata ثُمّ sebagai kata peralihan ke pekerjaan selanjutnya. Ini menerangkan hal itu ialah satu insiden atau satu keadaan, bukan pekerjaan berikutnya, yang mempunyai arti maksud menggerakkan di sini yakni menggerakkan dari posisi menggenggam kepada menunjuk, tidak lebih!
Lalu dalam hadis Wail bin Hujr ini, pada bab karenanya dibilang: (Berkata Wail), ‘Kemudian, sehabis itu saya datang lagi pada ekspresi dominan cuek, maka aku lihat manusia (para teman dikala mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka karena sungguh dingin (adalah mereka mengangkat kedua tangan mereka saat takbir bangun dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sungguh masbodoh)’.” Jika pun benar para sahabat menggerakkan tangan, ini bukan penggerakan yang disengaja, melainkan karena udara dingin, dan ini bukan kondisi wajar alias pengecualian, adalah alasannya menahan rasa acuh taacuh. Pengecualian atau kondisi darurat tidak mampu dijadikan dalil. Seperti humuk boleh mengkonsumsi daging babi pada ketika tidak ditemukan masakan lain sama sekali alias dalam kondisi darurat.
Para ulama hadis menyatakan bahwa hadis dari jalur Za’idah bin Qudamah ini yang ada kalimat “yuharrikuha (menggerakannya)” tidak shahih alias syadz (ajaib), mengapa? Karena hadis yang sama juga telah diriwayatkan oleh 22 orang yang tsiqah (jujur/terpercaya), namun tidak terdapat kalimat “menggerakkannya”. Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Orang yang mengklaim bahwa satu perawi lebih utama dari sebelas perawi adalah orang aneh, karena ia tidak menggunakan akalnya dengan baik. Hadis-hadis yang menafikan menggerak-gerakkan tangan sungguh banyak dan terperinci. Apalagi tidak ada imam-imam mazhab yang melakukan itu hingga ulama mazhab Maliki sekalipun. Menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud tidak pernah dilaksanakan oleh Imam Malik, tidak juga dengan imam-imam mazhab yang lainnya. Tidak mirip apa yang diklaim oleh pengarang buku Sifat Shalat Nabi. Al-Hafiz Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya “Âridhatul Ahwadzy Syarhu at-Tirmidzi” juz 2 hal. 85 mengatakan:
“Jauhilah oleh kalian pekerjaan menggerak-gerakkan jari telunjuk dalam tasyahhud. Jangan ikuti riwayat Utaibah, bahwasanya dia itu baliyyah (dungu). Sungguh gila bila ada orang yang menyampaikan bahwa itu menciptakan setan takut. Ketahuilah, jika kalian menggerak-gerakkan tangan sekali maka setan akan mengerak-gerakkannya untuk kalian sepuluh kali. Adapun yang menciptakan setan takut adalah keikhlasan, kekhusyuan, dzikir kepada Allah, dan mohon pinjaman-Nya. Adapun menggerak-gerakkan tangan, tidak sama sekali.
Imam Ibnu Hajib al-Maliki dalam kitabnya Mukhtashar al-Fikhi memastikan bahwa, tidak menggerak-gerakkan jari tangan ialah Mazhab Imam Malik yang masyhur.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Fatâwâ hal 54 dan kitab Syarh al-Muhadzdzab juz 3 hal 454 menyampaikan bahwa menggerak-gerakkan jari tangan dalam tasyahhud ialah makruh (dibenci) alasannya tindakan itu tidak berguna dalam shalat dan menghilangkan kekhusyuan dalam shalat.
Adapun hadis yang berbunyi:
تَحْرِيكُ الْأُصْبُعِ فِي الصَّلَاةِ مَذْعَرَةٌ لِلشَّيْطَانِ
“Menggerakkan jari telunjuk dalam shalat pengusir setan”
Hadis ini yaitu hadis Maudhu’. Ibnu Adiy meriwayatkannya dalam kitabnya al-Kâmil fi Dhu’afâ juz 6 hal 2247. Imam Baihaqi menyampaikan, al-Waqidi sendirian dalam meriwayatkan hadis itu dan ia yakni orang lemah.
Sangat asing rasanya, saat Rasulullah SAW shalat dalam sehari semalam lima kali, belum lagi shalat sunnahnya yang puluhan kali, yang bila dihitung, bermakna dalam satu ahad beliau shalat ratusan kali, dalam sebulan ribuan kali, dalam setahun jutaan kali, lalu dalam 12 tahun selama dia hidup, dia shalat disaksikan para Sahabat jutaan kali, yang bermakna jutaan kali juga beliau Tahiyyat. Mengapa tidak ada satupun riwayat shahih dan jelas yang menyampaikan Rasulullah SAW dan para sahabatnya menggerak-gerakkan jari tangannya ke atas dan ke bawah atau ke kanan dan ke kiri?! Afalâ tatafakkarûn? Wallahu a’lam bishowâb!
[1] HR. Muslim dalam Shahihnya , 1/408.
[2][2] HR. Ahmad (3/471), Abu Daud (1/260), an-Nasa’`i (3/39), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (1/354), Ibnu Hajar al-Asqalani mempertegas keshahihan hadis ini dalam kitabnya al-Ishabah nomor 8807, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5/273), Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/131), dan perawi-perawi lain yang kesemuanya yaitu hadis shahih.