close

Mengetahui Dan Menanggapi Perbedaan Pertimbangan Dalam Islam

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pertimbangan bukanlah hal yang baru, terlebih dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai persepsi yang berlawanan-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Dalam bidang aturan Islam contohnya, Kita mampu melihat kitab (buku) Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini mampu dianggap selaku ensiklopedi aneka macam pandangan dalam bidang aturan Islam dalam banyak sekali mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak menghalangi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi, ia juga merekam pendapat-usulan ulama lain yang hidup semenjak kurun teman, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu aturan saja, mirip yang biasanya kita kenal, tetapi juga pada tafsir, ulumul Qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, permintaan fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang mampu disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan ihwal pandangan-persepsi ulama yang bermacam-macam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni dibidangnya.
kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum Memahami dan Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam
Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat
Yang menawan, dalam mengemukakan banyak sekali pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, bisa memperlihatkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan usulan mereka dibawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan usulan, dan selalu siap mendapatkan kebenaran dari siapa pun hadirnya. Dapat dibilang, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan insan. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk disertai.
“Pendapatku benar, tetapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pertimbangan orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat terkenal dari Imam Syafi’i.
Dalam kerangka yang serupa, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa supaya imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini berlawanan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang direkomendasikan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi pemikiran tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang menatap sebaliknya. Sebab, berdasarkan ulama-ulama Madinah itu,  orang yang shalat lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.
Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah
Penting untuk segera digaris bawahi bahwa perbedaan pertimbangan sebagaimana dipaparkan di atas yaitu perbedaan usulan dalam persoalan-problem furu’iyah belaka. Atau dalam perumpamaan Umar Sulaiman Al Asyqar, dirinci selaku Al khilaf Al Maqbul dan Al khilaf As Sa’igh Al Maqbul.
Contoh-contoh al khilaf al maqbul ialah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang disarankan dalam shalat ‘ied, dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam problem-problem tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan kondisi dan keadaan kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pertimbangan dari banyak sekali usulan yang ada sama sekali tidak meminimalisir nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat kepada keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.
Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul,  yaitu perbedaan pertimbangan yang tidak mampu dikompromikan, tetapi tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang diketahui ulama. Perbedaan pertimbangan perihal najisnya air yang kurang dari dua qullah kalau terkena najis sedangkan tidak terjadi pergantian rasa, warna atau amis; hukum mandi jumat, aturan membaca al Fatihah bagi makmum, aturan qunut shubuh, dll merupakan teladan-contoh perkara yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan usulan yang kedua ini.
Muhammad bin Husain Al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya menemukan yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis wacana perilaku islami terhadap problem ijtihad sebagai berikut:  
  • Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang bertikai paham; 
  • Melakukan dialog yang sehat dengan memprioritaskan dalil dan argumentasi;
  • Tidak memaksakan kehendak atau paham terhadap pihak lain;
  • Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.
Namun demikian, pantas disertakan pula bahwa kendati saling menghormati perbedaan usulan, ulama-ulama itu tetap sepakat ihwal keharusan untuk senantiasa merujuk terhadap Al Qur’an dan Hadits.
Imam Abu Hanifah menegaskan, “Bila satu hadits dalam satu masalah telah shahih, kandungan hadits itulah mazhabku.” Ia juga mengungkapkan, “Tidak halal bagi siapapun untuk menganut usulan kami jika dia tidak tahu dasar pengambilannya.”
Imam Malik tidak kalah tegasnya. “Aku ini hanyalah manusia biasa,” tukas Malik, “yang mampu benar dan mampu salah. Maka pertimbangkanlah usulan-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan AlQur’an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkan.”
“Setiap persoalan yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan pertimbangan ulama Hadits; yang bertentangan dengan pendapatku, saya ruju’ (terhadap Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku.” Demikian Imam Syafi’i menyatakan sikapnya.
Khilafiyah yang Tercela
Di samping khilafiyah dalam persoalan furu’iyah diatas, terdapat pula perbedaan pendapat selanjutnya. Perbedaan usulan ini, masih meminjam istilah Al Asyqar, ialah Al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pertimbangan yang tercela mirip pertimbangan -usulan atau paham yang berseberangan dengan  pokok-pokok pemikiran agama (lazimdisebut tsawabit atau ma’lum minad diin bid dharurah atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).
Paham-paham serta pemikiran yang berseberangan dengan pokok-pokok pemikiran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan kepada pokok-pokok pemikiran agama ini, secara menyesatkan, umumnya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun bergotong-royong inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap fatwa- anutan agama yang sudah tetap serta sangat terperinci landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang asli.
Gugatan terhadap pokok ajaran agama yang mapan ini biasanya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab dia menyelisihi pengertian yang mendasar dan dianut secara biasa oleh umat. Terkait dengan paham nyeleneh ini, mempesona untuk mendengarkanperkataan Ali berikut.
Imam Ali berkata, “Akan timbul pada kiamat sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah diketahui oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain terhadap pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah.” (Riwayat Al Harawi)
Pernyataan Imam Ali tidak berlebihan. Khalifah sebelumnya, Imam Umar bin Khattab, bahkan telah mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur wacana seorang pria yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma sampai mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat Ad Darimi)
Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela
Al Khilaf al Madzmum sangat berlainan dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam problem furu’ tadi kita melihat toleransi dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda persepsi; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru memperlihatkan perilaku tegas dan tanpa kompromi.
Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa dia pernah mengajukan pertanyaan terhadap Ibnu Umar, seorang ulama besar dari kalangan teman, wacana sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia mempunyai hasratmutlak terhadap perbuatannya.
Jawab Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, jikalau mereka berzakat dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)
Ini adalah teladan perilaku ulama sobat, yang diperankan oleh Ibnu Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya mengatakan tentang rukun dogma, menambah atau meminimalkan. Tidak jauh berlainan dengan itu ialah upaya mengkaji iktikad Islam dengan mengandalkan tata cara mantiq atau filsafat, atau lebih diketahui dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i, yang tadi terkenal dengan toleransinya terhadap dilema ijtihad, berkata, “Mazhabku kepada pengikut ilmu kalam ialah dieksekusi dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.”
Untuk orang mirip Al khilaf Al Madzmum ini, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran. Tapi dengan perilaku tegas. Sebab, problem-problem kepercayaan dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari pedoman Islam. Persoalan-duduk perkara tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas anutan Islam. Sehingga penodaan kepada esensi tersebut sama dengan menggugat keberadaan Islam itu sendiri.
Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan keyakinan terhadap kesesatan agama-agama lain, yakni pedoman yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannya serta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber sahih fatwa Islam. Bila hal-hal yang fundamental mirip ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari pedoman Islam?
Demikian yang mampu penulis sampaikan perihal Memahami dan Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam. Semoga berguna.