Mengapa Orang Gila Membunuh Ustaz? | Cerpen Faris Al Faisal

Kali ini, untuk mempertahankan ustaz Zamzani dr gangguan orang gila, jamaah masjid al-Manar, terutama remajanya setuju bergantian untuk berjaga utamanya malam hari di sekitar masjid & rumah ustaz Zamzani selama waktu yg belum mampu ditentukan. Mereka tak menginginkan, peristiwa jelek yg terjadi pada beberapa ustaz mirip dlm pemberitaan—dianiaya, dipukuli bahkan sampai terbunuh—terjadi pada ustaz Zamzani atau ustaz-ustaz lainnya—orang yg telah mengajari mereka membaca karakter-aksara hijaiah, menuntunnya melafalkan ayat-ayat suci dgn tartil & mengajarkan supaya senantiasa salat tepat waktu.

Kala itu, sesudah turun shalat Subuh—dikala jamaah sudah pulang ke rumah masing-masing—ustaz Zamzani yg senantiasa pulang akhir lantaran lebih lama berzikir didekati seorang laki-laki yg berpenampilan mirip orang yg terganggu kejiwaannya. Namun nahas, laki-laki berpakaian kumal itu eksklusif mencekik leher ustaz Zamzani sambil mengancam, “Kamu ustaz? Saya bunuh!”

Beruntung ustaz Zamzani mempunyai sedikit tabungan bela diri sehingga upaya pembunuhan itu dapat digagalkan. Bersamaan itu, marbot masjid, pak Imin, ikut membantu menangkapnya. Tetapi sayangnya, orang gila itu dilepas bebas oleh laki-laki yg menjadi imam rawatib masjid al-Manar itu.

“Kenapa tak ditangkap saja ustaz?” tanya salah seorang jamaah yg mendengar cerita itu dgn heran. “Betul, jangan-jangan ia akan mengulangi perbuatannya itu,” sahut yg lain. “Sekarang banyak pemberitaan, ustaz dibunuh orang gila,” timpalnya kemudian.

“Semoga itu tak terjadi lagi,” ucap ustaz Zamzani menenangkan situasi.

“Bagaimana jika kita adakan pengawalan untuk melindungi ustaz Zamzani & ustaz-ustaz lainnya,” seru Ziyad. Ketua remaja masjid itu terlihat sekali kesungguhannya.

“Setuju,” ucap Saefudin. Lelaki berperawakan tegap yg membawahi kegiatan seni bela diri untuk para cukup umur masjid itu menyatakan bundar dukungannya.

“MENGAPA orang gila membunuh ustaz?” tanya Ziyad pada Rafi.

“Betul, kenapa hanya ustaz & pelakunya lagi-lagi orang gila?” Rama pun turut mengerutkan keningnya memikirkan tanggapan dr pertanyaannya itu. Kedua pemuda itu bertetangga & berkawan baik dgn Ziyad.

“Ustaz adalah ulama. Mustahil Allah akan membiarkan orang-orang gila itu membunuhi hambanya yg menjadi pewaris dr rasul-Nya,” terperinci Ziyad.

“Bukankah dulu orang-orang Yahudi gemar menghilangkan nyawa para Nabi & kini orang gila kegemaran membunuh ustaz?” Rafi menukas klarifikasi Ziyad.

“Apakah akhir zaman makin akrab sehingga Allah mematikan orang-orang saleh mirip ustaz-ustaz itu? Suatu kebetulan ataukah ada desain dgn pelaku & korban yg senantiasa sama? Masih saja ada orang-orang yg tak menghendaki bangsa ini aman & sejahtera?” ujar Rama memperluas perbincangan.

“Entahlah,” jawab Ziyad. “Sementara, ini kita baru bisa berbuat untuk membela ulama & kitab suci dr para penista. Seperti dulu kaum Hawariyun membela Nabi Isa AS atau kaum Anshar yg melindungi Nabi Muhammad SAW. Biarlah untuk penyelidikannya menjadi kewenangan pihak kepolisian. Apa yg menimpa ustaz Zamzani pun sudah ditanganinya.”

  Sebatang Beringin | Cerpen Dody Wardy Manalu

“Semoga akan secepatnya dimengerti misteri pembunuhan ustaz oleh orang-orang gila itu.”


*****


MALAM makin kelam. Pekat merayap manakala bulan disungut awan. Bunyi kentong sesekali ditabuh seirama dgn tubuh-tubuh yg lalu-lalang dgn bayang hitam dr jamaah yg hilir mudik di sekeliling masjid & rumah ustaz Zain yg bersebelahan.

Di dlm rumahnya, ustaz Zain tak bisa tidur apalagi sampai mendengkur. Ia terpekur mempertimbangkan kondisi yg demikian mencekam. Diraihnya suatu kitab bacaan untuk menghilangkan pikiran yg tidak-tidak. Beberapa lamanya ia karam dlm lautan ilmu. Meneguk pengetahuan & mendapatkan mutiara yg tersebar di dalamnya.

“Sudahlah Abi, sudah malam,” ucap istrinya pelan. Tangannya yg lembut memijit-mijit punggung suaminya yg masih menekuri kitab bacaannya. “Bukankah sudah ada yg mempertahankan rumah ini?”

Lelaki yg rambutnya mulai berjuntai uban itu menutup bukunya & menaruh di meja kerjanya. Ia tersenyum, memandangi wajah istrinya yg sarat dgn guratan ketekunan. Wajah yg tak pernah letih menemaninya sekalipun keringat di tubuh berpeluh.

“Apa bawah umur sudah tidur, Umi?”

“Sudah, Zain & Zallumy tidur di kamar depan.”

“Sebenarnya Abi bukan tak mampu tidur karena mencemaskan kejadian kemarin, Umi.”

“Lantas?”

“Kasihan mereka, tak tidur & mesti terus berjaga-jaga. Makan & minum pun duit mereka sendiri, tak ada yg menanggung.”

“Bukankah itu atas kesadaran & keikhlasan mereka. Itu bukti masih ada kecintaan umat pada ustaz mirip Abi.”

“Betul, tetapi mereka pula punya keluarga yg pula mesti dijaga & dilindungi. Abi tak mau menjadi sebab tanggung jawab mereka selaku kepala keluarga & anggota keluarga ceroboh & terbengkalai.”

Cukup usang percakapan itu senyap. Hanya bunyi detak jarum jam yg kian terdengar ketika keduanya membisu. “Terus kita dapat berbuat apa, Abi?”

Lelaki itu berdiri dr kawasan duduknya. Ia terlihat berkemas, di depan cermin dirapihkan pakaiannya. “Abi akan keluar & membubarkan mereka untuk pulang ke rumah. Kasihan, sudah seminggu lebih mereka berjaga. Keamanan keluarga kita biarlah menjadi tanggung jawab kita sendiri. Kita pun tetap berikhtiar semoga waspada & berhati-hati. Tawakal menyerahkan urusan ini pada Allah—Tuhan yg membangkitkan & mematikan.”

Umi Salamah—istri ustaz Zain—termenung. Kepalanya mengangguk tanda setuju. Dalam hatinya ia tetap merasa cemas atas keamanan suaminya. Namun, apa yg diucapkannya lelaki yg dipanggil Abi itu pula memang benar.

  Tertindas Waktu | Cerpen Jihan Nabilah Yusmi

“Abi pamit sebentar, Umi.”

Tak ada yg diucapkannya kemudian, kecuali sebaris doa di dlm hati agar kondisi semacam ini segera berlalu. Ia teringat beberapa masalah yg menimpa kiai-kiai di negeri yg lebih banyak didominasi Muslim ini bertahun-tahun silam. Sebutlah pembunuhan kiai berkedok isu ninja atau dukun santet di Banyuwangi, pembantaian kepada guru ngaji di tujuh kabupaten di Jawa Timur, teror tanda silang merah memakai cat semprot di sejumlah rumah kiai di Demak, & jauh sebelumnya adalah pembantaian ulama-ulama oleh PKI dlm banyak sekali kejadian pemberontakannya di Tanah Air. Beberapa masalah, misalnya, selalu diawali dgn banyak berkeliaran gelandangan & orang gila. Ini tak jauh berlainan dgn pembunuhan kepada beberapa ustaz kini ini. Adakah kekerabatan atas semua peristiwa itu. Batinnya meraih-jangkau sampai jauh & jauh.

“KITA bunuh saja! Bunuh! Bunuh!”

Terdengar teriakan & lontaran kata orang-orang di seberang jalan depan masjid. Suasana malam yg damai mendadak bising dgn bunyi kentong yg ditabuh bertalu-talu.

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Semua ucapan seperti satu suara.

“Jangan dibunuh! Jangan! Kita tangkap saja & kita tanya kebenarannya!” teriak Ziyad. Ia & dua kawannya datang berlarian.

“Bodoh kamu! Orang gila mau ditanya, apa otakmu pula tak waras!” hardik Saefudin dgn bunyi keras, ia memang populer jawara. Dua tangannya sudah mengepal & darahnya mirip sudah menggumpal. Dipukulnya lelaki berpakaian kumal itu sehingga terpental & terdengar jeritannya mengaduh-aduh.

“Sebentar! Sebentar! Di mana kau peroleh orang gila ini?” tanya Rafi.

“Betul, jangan sampai kita salah menghakimi orang,” imbuh Rama.

“Dia tepergok masuk pelataran masjid & hendak menuju rumah ustaz Zamzani,” dongeng Saefudin.

“Betul, seperti itu ceritanya,” timpal Yasin yg saat itu bareng Saefudin.

“Berarti ini baru dugaan. Belum cukup bukti untuk menuduh laki-laki ini akan berbuat buruk pada ustaz Zamzani,” terperinci Ziyad.

Suasana makin ketat. Dan orang-orang makin panas berdebat. Namun, di saat demikian terdengar suara jeritan.

“Bukankah itu bunyi umi Salamah, istri ustaz Zamzani?” seru Ziyad memberi analisis.

“Benar! Apa yg terjadi?”

“Coba beberapa orang untuk menengok ke sana!” perintah Saefudin yg masih mengunci tangan & kaki orang gila itu agar tak bergerak.

Orang-orang berlarian ke rumah ustaz Zamzani. Mereka menemukan umi Salamah tengah mendekap suaminya di depan beranda rumahnya.

“Apa kubilang, orang gila tadi telah berbuat jelek pada ustaz Zamzani,” seru Yasin geram.

“Ada apa, Umi?” tanya Ziyad.

Sambil terisak wanita berpakaian hijab memberi klarifikasi. “Abi tak bisa tidur, kemudian pamit sebentar ingin berjumpa kalian tapi sudah satu jam belum pula kembali. Lalu Umi bermaksud untuk untuk menemuinya & terkejut mendapatkan sudah Abi tergeletak di sini.”

  Azan Terakhir | Cerpen Ahmad Faisal

“Maaf Umi, saya ingin menyaksikan kondisi ustaz,” pinta Ziyad.

Disentuhnya detak jantung & pergelangan tangan guru mengajinya itu. Mukanya terlihat tegang, namun kemudian mengendur mirip ada rasa syukur yg tak terukur.

“Ustaz masih hidup,” katanya.

“Alhamdulillah!” Serentak orang-orang yg hadir di situ mengucap.

Di saat itu, ustaz Zamzani siuman. Kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit & menyaksikan sudah banyak orang mengerumuninya. “Ada apa ini? Apa yg terjadi di atasku?”

“Maafkan kami ustaz, kami berkumpul di sini untuk mempertahankan ustaz & keluarga. Tetapi, rupanya kami kecolongan.”

“Ini orang gilanya sudah kami tangkap. Terserah ustaz, kami menanti perintah,” ucap Saefudin menggelandangnya.

“Lho, apa relevansinya? Tadi ketika keluar rumah, rupanya saya terpeleset karena lantainya licin berembun.”

“Kaprikornus orang gila ini?” tanya Saefudin.

“Lepaskan saja, ia ingin bebas. Apa kalian menganiayanya?” tukasnya.

“Maafkan kami ustaz, kami telanjur menuduhnya telah berbuat jelek.”

“Ziyad, Rama, & Rafi bantu Umi, tolong beri makan dia. Kemudian obati luka lebamnya. ia tak bersalah.”

“Dan kalian saya ucapkan terima kasih atas perhatian & kecintaan kalian pada ulama. Namun, pulanglah ke rumah kalian masing-masing. Anak, istri, & keluarga kalian pun memerlukan penjagaan & perlindungan dgn tetap memedulikan keamanan & ketentraman lingkungan sekitar. Jangan lupa untuk memakmurkan masjid dgn salat berjamaah sempurna waktu.”

“Baiklah, Ustaz.”

Azan subuh berkumandang. Ustaz Zamzani berlinang ketika masuk masjid, orang-orang sudah berkumpul bershaf-shaf menunggunya memimpin shalat. Tiba-tiba ia teringat sabda Nabi, “Barang siapa yg melakukan shalat Subuh, maka ia berada dlm jaminan Allah.”

*****

Faris Al Faisal lahir & tinggal di Indramayu. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu. Karya fiksinya ialah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), & Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), sedangkan karya nonfiksinya, yakni Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan & Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan & Kebudayaan (2017). Puisi, cerma, cernak, cerpen, & resensinya tersiar banyak sekali media koran, mirip Kompas, Tempo, Republika, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Radar Cirebon, Radar Surabaya, Radar Sulbar, Radar Banyuwangi, Minggu Pagi, Bali Post, Bangka Pos, Magelang Ekspres, Solopos, Suara NTB, Joglosemar, Tribun Jabar, Bhirawa, Koran Pantura, Riau Pos, Majalah Hadila, Tabloid Nova & Jurnal Asia.